ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta Psikolog klinis Rini Hapsari Santosa ikut memberikan pandangannya mengenai kasus tawuran nan belakangan marak di Jakarta.
Menurut dia, tawuran terjadi bukan hanya corak pelampiasan emosi remaja.
Di banyak kasus, motivasi dibalik perilaku itu jauh lebih kompleks seperti jalan pintas remaja untuk pencarian identitas dan mendapatkan pengakuan di lingkungannya.
"Saat remaja, anak mulai konsentrasi pada penerimaan lingkungan terutama nan umurnya sebaya (teman). Kalau seseorang tumbuh di lingkungan alias sekolah nan sering tawuran ada kemungkinan dia terdorong untuk konform dengan lingkungannya," ujar dia saat dihubungi, Rabu (14/5/2025).
Dalam banyak kasus, golongan menjadi sandaran identitas. Ketika kekerasan menjadi bahasa nan digunakan untuk menunjukkan loyalitas dan eksistensi, maka keterlibatan dalam tawuran terlebih di Jakarta bisa menjadi semacam tiket masuknya.
"Biasa dalam tawuran ada kelompok-kelompok. Terbangun sense of belonging di dalamnya atas nama sekolah /geng, dan sebagainya. Di momen itu krusial bagi remaja untuk merasa diterima/menjadi bagian dalam golongan tempat dia berada," ujar dia.
Ketidakhadiran Bimbingan Orang Dewasa
Pada titik ini, dia menjelaskan ketidakhadiran pengarahan orang dewasa menjadi celah nan berbahaya.
Bukan tanpa alasan, pengaruh golongan sebaya sangat besar dalam membentuk persepsi remaja terhadap kekerasan. Saat kekerasan menjadi bahasa sehari-hari dalam lingkungan sosial, maka itulah nan dianggap sebagai normal.
"Besar sekali (peran kawan sebaya), lantaran remaja fokusnya di kawan sebaya. Kalau lingkungan sekitar penuh kekerasan maka terbentuk realitas bahwa begitulah hidup nan normal/keren/eksis, dan sebagainya," ujar dia.
Selain itu, kemajuan teknologi digital juga ikut berkedudukan memperluas ruang ekspresi remaja, termasuk dalam menyebarluaskan kekerasan. Aksi tawuran tak lagi berjalan diam-diam, tetapi direkam, dibagikan, apalagi dipamerkan di media sosial.
"Pada dasarnya bumi maya memperluas realitas tempat kita hidup. Jadi sarana mendokumentasikan, menyebarkan, dan sekaligus mendapat pengakuan. Di sisi lain konten kekerasan nan viral juga sering kali menarik perhatian beragam pihak sehingga banyak juga nan mengkritik. Konten dapat dijadikan bukti tindak kekerasan," ujar dia.
Pentingnya Pedekatan Preventif
Rini menggarisbawahi pentingnya pendekatan preventif. Remaja, kata dia, adalah golongan usia dengan daya sangat besar.
Jika tidak diberi ruang nan positif dan bermakna, daya itu bisa tumpah dalam corak negatif.
"Misalnya ada aktivitas sekolah, lampau olahraga, kumpul bermain musik, organisasi, dan sebagainya. Kegiatan itu nan memberi tujuan sekaligus makna dalam keseharian mereka," ujar dia.
Dia mengatakan, peran keluarga, sekolah, dan lingkungan menjadi krusial dalam membentuk ruang kondusif tempat remaja tumbuh. Jika mereka punya terlalu banyak waktu luang, akses info nan tak terbatas, dan minim bimbingan, maka akibat mereka terpapar kekerasan bakal meningkat.
"Usia remaja tetap memerlukan pengarahan orang dewasa lantaran otaknya belum sepenuhnya matang untuk menilai dan memilah situasi. Dalam perihal ini aktivitas juga bisa dilakukan secara kolektif di sekolah / lingkungan sebagai komunitas," tandas dia.