ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Sepanjang sejarah, sejumlah penelitian medis nan jahat dilakukan atas nama kebutuhan pengetahuan pengetahuan alias sains. Tetapi, sains juga sering menyelamatkan nyawa, meski kudu melakukan kejahatan nan mengerikan untuk mendapatkan hasil nan maksimal.
Beberapa di antaranya adalah adanya kesalahan etika, kelalaian penilaian nan dilakukan orang-orang nan percaya bahwa mereka melakukan perihal nan benar. Di sisi lain, itu adalah murni sebuah kejahatan nan sadis.
Dikutip dari Live Science, berikut sederet penelitian medis sadis nan pernah terjadi di dunia:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Eksperimen Medis Nazi
Mungkin penelitian jahat paling terkenal sepanjang masa adalah nan dilakukan oleh Josef Mengele, seorang master SS di Auschwitz selama Holocaust. Mengele menyisir kereta nan datang menjadi anak kembar untuk dijadikan bahan eksperimen.
Hal ini dilakukannya demi membuktikan teorinya tentang supremasi ras Arya. Banyak juga nan tewas dalam prosesnya. Ia juga mengumpulkan mata 'pasien-pasiennya' nan telah meninggal.
Nazi menggunakan tahanan untuk menguji pengobatan penyakit menular dan perang kimia. Tahanan lainnya dipaksa masuk ke dalam suhu kaku dan ruang bertekanan rendah untuk penelitian penerbangan.
Tahanan nan tak terhitung jumlahnya itu menjadi sasaran prosedur sterilisasi eksperimental. Seorang wanita, Ruth Elias, payudaranya diikat dengan tali sehingga master SS dapat memandang berapa lama waktu nan dibutuhkan bayinya untuk merasa kelaparan. Dalam sejarah lisan di Museum Holocaust, dia akhirnya menyuntikkan anak itu dengan dosis morfin nan mematikan agar tidak menderita lebih lama.
2. Unit 731 Jepang
Sepanjang tahun 1930-an dan 1940-an, Tentara Kekaisaran Jepang melakukan perang biologis dan pengetesan medis terhadap penduduk sipil, sebagian besar di China. Dipimpin oleh Jenderal Shiro Ishii, master utama di UNIT 731, jumlah korban tewas dari penelitian sadis ini diperkirakan mencapai 200.000 orang nan mungkin telah meninggal.
Banyak penyakit dipelajari untuk menentukan potensi penggunaannya dalam peperangan. Di antaranya adalah wabah, antraks, disentri, tifus, paratifus, dan kolera.
Menurut makalah dari Dr Robert K D Peterson untuk Montana University, banyak kekejaman dilakukan termasuk menginfeksi sumur dengan kolera dan tifus hingga menyebarkan kutu nan membawa pandemi di seluruh kota China.
Menurut Peterson, kutu dijatuhkan dalam peledak tanah liat pada ketinggian 200-300 meter dan tidak menunjukkan jejak apapun. Para tahanan diarak dalam cuaca dingin dan kemudian diuji cobakan untuk menentukan pengobatan terbaik untuk radang dingin.
Mantan personil unit tersebut memberikan kesaksian bahwa para tahanan diberi gas beracun, dimasukkan ke dalam ruang bertekanan hingga mata mereka keluar, dan apalagi dibedah saat tetap hidup dan sadar.
3. Eksperimen Bedah pada Budak
Tokoh ginekologi modern, J Marion Sims, memperoleh banyak ketenaran dengan melakukan operasi eksperimental pada budak wanita. Sims menjadi tokoh kontroversial lantaran kondisi nan dia tangani pada wanita, fistula vesikovagina, nan menyebabkan penderitaan nan mengerikan.
Wanita dengan fistula alias robekan antara memek dan kandung kemih itu mengalami inkontinensia dan sering ditolak oleh masyarakat.
Sims juga melakukan operasi tanpa anestesi, sebagian lantaran anestesi baru saja ditemukan. Selain itu, dia juga percaya bahwa operasi itu tidak terlalu menyakitkan.
4. Studi Sifilis Guatemala
Banyak orang nan keliru percaya bahwa pemerintah sengaja menginfeksi peserta Tuskegee dengan sifilis, padahal kenyataannya tidak demikian. Tetapi, penelitian guru besar Susan Reverby baru-baru ini mengungkap masa saat para peneliti jasa kesehatan masyarakat Amerika Serikat (AS) melakukan perihal itu.
Pada tahun 1946 dan 1948, Reverby menemukan pemerintah AS dan Guatemala bersama-sama mensponsori sebuah penelitian nan melibatkan jangkitan nan disengaja pada 1.500 pria, wanita, dan anak-anak Guatemala dengan sifilis.
Penelitian tersebut dimaksudkan untuk menguji bahan kimia guna mencegah penyebaran penyakit tersebut.
"Eksperimen tersebut tidak dilakukan dalam lingkungan klinis nan steril, di mana kuman penyebab PMS diberikan dalam corak vaksinasi tusuk jarum alias pil nan diminum secara oral," terang Michael A. Rodriguez dalam sebuah makalah tahun 2013.
"Para peneliti secara sistematis dan berulang kali melanggar kewenangan perseorangan nan sangat rentan. Beberapa di antaranya dalam kondisi paling menyedihkan, putus asa, dan sangat memperburuk penderitaan mereka," sambungnya.
Menurut Reverby, mereka nan terkena sifilis diberikan penisilin sebagai pengobatan. Tetapi, catatan nan dia temukan menunjukkan tidak ada tindak lanjut alias persetujuan nan diinformasikan oleh para peserta.
5. Studi Tuskegee
Kesalahan paling terkenal dalam etika medis di AS berjalan selama 40 tahun. Pada tahun 1932, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), jasa kesehatan masyarakat AS meluncurkan sebuah studi tentang akibat kesehatan dari sifilis nan tidak diobati pada laki-laki kulit hitam.
Para peneliti melacak perkembangan penyakit pada 399 laki-laki kulit hitam di Alabama dan juga mempelajari 201 laki-laki sehat, serta menunjukkan mereka bahwa mereka sedang dirawat lantaran kondisi 'darah buruk'.
Faktanya, para laki-laki tersebut tidak pernah mendapatkan perawatan nan memadai, apalagi pada tahun 1947 saat penisilin telah menjadi obat pilihan untuk mengobati sifilis. Baru dalam sebuah tulisan surat berita tahun 1972 nan mengungkap studi tersebut ke publik.
(sao/kna)