Merasa Tak Bisa Pulih Dari Bipolar, Pria 28 Tahun Memilih 'bunuh Diri Medis'

Sedang Trending 12 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

CATATAN: Depresi dan munculnya kemauan bunuh diri bukanlah perihal sepele. Kesehatan jiwa merupakan perihal nan sama pentingnya dengan kesehatan tubuh alias fisik. Jika indikasi depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berbincang dengan ahli seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya ialah www.pdskji.org. Melalui laman organisasi pekerjaan tersebut disediakan pemeriksaan secara berdikari untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

Seorang laki-laki di Belanda berumur 28 tahun memilih mengakhiri hidupnya dengan euthanasia alias bunuh diri medis. Ia memilih euthanasia daripada kudu terus hidup dengan penyakit mental.

Diberitakan People, Joseph Awuah-Darko nan merupakan seorang seniman Inggris-Ghana, didiagnosis gangguan bipolar dan telah mendokumentasikan perjuangannya selama puluhan tahun dengan masalah mental di media sosial.

Setelah perawatannya kandas dan tidak ada kesembuhan, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kini, dia sedang menunggu persetujuan untuk euthanasia, nan bisa menghabiskan waktu hingga empat tahun.

"Hai, saya Joseph, saya bipolar dan pindah ke Belanda untuk mengakhiri hidup saya secara medis," tutur Joseph.

Gangguan bipolar merupakan kondisi manik-depresif pada otak nan menyebabkan perubahan ekstrem pada suasana hati dan tingkat energi. Ada empat jenis dasar gangguan ini, nan ditandai dengan periode kegembiraan dan hiperaktif nan dikenal sebagai bagian manik, nan kemudian diikuti tahap depresif saat pasien mengalami emosi sedih dan depresi.

Dalam video nan diunggah di Instagram, Joseph mengatakan bahwa dia setiap hari bangun dengan rasa sakit nan hebat. Hal itulah nan membuatnya memilih kematian nan dibantu secara medis.

Dia menghabiskan waktu lima tahun untuk merenungkan keputusannya sebelum mengusulkan permintaan resmi ke Euthanasia Expert Centre di Belanda.

"Saya tidak mengatakan bahwa hidup (sebagai sebuah fenomena) nan tidak layak dijalani. nan mau saya katakan adalah beban mental saya sudah betul-betul tidak tertahankan," jelas Joseph.

"Saya tidak istimewa, seperti banyak orang berumur 20-an. Kelelahan nan terus-menerus, beban hutang, depresi nan melumpuhkan, siklus media nan penuh kekerasan, dan realitas distopia AI... semua terasa berat. Realitas nan saya hadapi sebagai bipolar memperburuk semuanya," lanjutnya.

Kondisi tersebut nan membikin Joseph merasa siap untuk meninggalkan kehidupannya dengan euthanasia.

Di Belanda, euthanasia menjadi legal saat Undang-Undang Pengakhiran Hidup atas permeintaan dan bunuh diri dengan support (prosedur peninjauan) disahkan pada April 2001. Dan mulai bertindak pada April 2002.

Dengan disahkannya undang-undang tersebut, Belanda menjadi negara pertama di bumi nan melegalkan euthanasia. Situs web resmi pemerintah negara tersebut menyatakan bahwa prosedur tersebut dilakukan oleh master nan memberikan 'dosis fatal obat nan sesuai kepada pasien atas permintaannya sendiri'.

"Ada martabat nan melekat dalam melakukannya dengan langkah ini, dengan banyak ketenangan, kesabaran, dan pengertian lantaran mengetahui bahwa Anda tidak bakal ditemukan tak bernyawa oleh orang lain, bukan kondektur kereta, bukan kerabat Anda, bukan teman-teman Anda," terang Joseph.

"Anda bakal mengakhiri hidup tanpa kekerasan dengan support medis, dengan dukungan, dengan ketenangan dari orang-orang nan mencintai Anda."

Setelah membagikan kisahnya kepada publik, Joseph menerima tanggapan dengan emosi nan kombinasi aduk. Ada nan menghormati keputusannya dan ada nan memohon untuk mengubah pikirannya.

Selain itu, Joseph menerima lebih dari 100 pesan dari orang asing nan mengundangnya untuk makan malam bersama. Ia menyebutnya sebagai 'The Last Supper Project', nan bakal dilakukan dengan berjalan dan makan berbareng orang asing sembari menunggu persetujuan permintaan euthanasianya.

Sejauh ini, Joseph telah berjalan ke Paris, Milan, Brussels, dan Berlin untuk 57 kali makan malam, nan didokumentasikannya di media sosial. Dia telah merencanakan lebih dari 120 kali makan malam lagi hingga bulan Agustus.

"Saya mempunyai hubungan nan sangat emosional dengan makanan, mulai dari kenangan bakal bawang goreng dan nasi jollof buatan ibu saya, menyantap prosciutto nan lezat di Venesia, hingga daging nan lezat di Argentina saat saya biasa menonton ayah saya bermain polo," kata Joseph.

"Saya berpikir, saat saya menjalani transisi tanpa kekerasan dalam hidup saya, kenapa saya tidak berasosiasi dengan orang lain untuk makan bersama?" sambungnya.

Meski sudah menjalani projek tersebut, Joseph tetap terbangun dengan napas tersengal-sengal dan rasa sakit nan dalam mengenai dengan bipolarnya. Ia berharap, orang dengan penyakit mental kronis kudu diperhatikan dengan baik.


(sao/kna)

Selengkapnya