Cerita Remaja Palestina Hidup Dengan Peluru Di Kepalanya Akibat Serangan Israel

Sedang Trending 5 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Peluru di kepala seorang remaja Palestina di Jalur Gaza akhirnya sukses dikeluarkan setelah 'nyangkut' selama empat bulan pasca kejadian penembakan oleh pasukan Israel pada Oktober 2024.

Remaja berjulukan Sarah Al-Awady (18) tahun itu mengaku bahwa dia mendapat peluru nan bercokol di kepalanya saat dia sedang duduk berbareng keluarganya pada pagi hari, 22 Oktober 2024. Saat itu, kamp pengungsian mereka di Al-Zawaida diberondong oleh drone quadcopter Israel.

"Tiba-tiba saya merasakan sakit di kepala saya, seperti dipukul dengan batang besi alias semacamnya," katanya kepada CBS News.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Keluarga saya mulai berteriak, 'peluru, peluru!' Semua orang panik dan mereka menggendong saya dan membawa saya ke Rumah Sakit Shuhada al-Aqsa," ucapnya.

Pasca kejadian itu, Al-Awady dan keluarganya berupaya mencari pertolongan medis. Namun, lantaran kondisi perang nan mengakibatkan pasokan medis betul-betul menipis, para master hanya bisa melakukan apa nan mereka bisa dengan sisa-sisa peralatan nan ada.

Mereka bisa memandang bahwa ada peluru nan bersarang di tengkorak Al-Awady di belakang mata kanannya, namun mereka tak punya kapabilitas untuk mengeluarkannya.

Al-Awady akhirnya diberitahu bahwa tidak ada lagi nan bisa dilakukan oleh para master di Gaza untuk membantunya. Namun, dia menolak untuk menyerah dan bersikeras tetap tinggal di rumah sakit. Setidaknya, pikirnya, di dalam rumah sakit, matanya nan terluka parah bakal terlindungi dari debu di rumah sementara keluarganya.

Ia akhirnya tetap dirawat di rumah sakit dan mengandalkan obat penghilang rasa sakit untuk mengatasi sakit nan dialaminya di kepala.

Pada awal November 2024, tim relawan medis menemukan Al-Awady dan percaya dapat membantu mengeluarkan peluru di kepalanya. Seorang master Mesir, Mohamed Tawfik, saat itu menelepon ayahnya nan merupakan master mata untuk meminta bantuan.

Ayah Dokter Tawfik, Ahmed Tawfik, mengatakan kepada CBS News bahwa dia mau pergi ke Gaza untuk membantu namun tak bisa lantaran perbatasan Rafah ditutup. Perbatasan Rafah menghubungkan antara Mesir dan Palestina.

"Saya mengikuti kasus ini nyaris setiap hari. Saya merasa ini adalah kasus saya," kata Tawfik.

Waktu terus melangkah dan agresi Israel terus membara. Pada akhirnya Tawfik tak pernah bisa ke Gaza, dan putranya pun kembali ke Mesir.

Melihat kepergian dr Tawfik, Al-Awady mulai menyerah. Selama berbulan-bulan dia hidup dalam ketakutan bahwa dia bakal kehilangan penglihatan di mata kanannya secara permanen.

"Saya mengusulkan untuk dirawat di luar negeri, seperti nan dilakukan banyak orang lain. Ketika orang bertanya kepada saya, 'Sudah berapa lama Anda menunggu?' Saya jawab satu bulan, dan mereka bakal merespons 'Lupakan saja, kami sudah menunggu lebih lama," ucapnya.

Secercah angan akhirnya datang sekitar tiga bulan kemudian. Hamas dan Israel sepakat untuk gencatan senjata nan mulai bertindak efektif pada 19 Januari 2024.

Pada 8 Februari, ketika Al-Awady telah kembali ke rumahnya di utara Gaza, dia menerima telepon dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa dia bakal berangkat keesokan harinya ke Mesir.

Ia pun berangkat dan tiba di Mesir keesokan harinya. dr Tawfik membawanya ke rumah sakit tempatnya bekerja di Al-Sharqia Governorate. Tiga tim nan terdiri dari master mata, master bedah saraf, dan radiologi bekerja sama dan mendiskusikan gimana langkah mengeluarkan peluru tanpa mengenai saraf optik.

"Kami menjalankan beberapa simulasi untuk menemukan rute terbaik demi menghindari saraf optik," kata dr Mohamed Khaled Shawky, dari Pusat Radiologi Al Nour,

"Peluru itu mendarat di tempat terbaik untuk pasien, tetapi tempat terburuk untuk tim medis," kata Shawky.

Shawky berujar jika saja peluru itu bergerak satu milimeter ke arah mana pun, itu bakal mengakibatkan kerusakan besar.

Para master pun sepakat untuk mencoba mencapai peluru dengan masuk melalui rongga mata Al-Awady, demi menghindari kerusakan otaknya.

dr Tawfik berterus terang kepada Al-Awady bahwa ada 50 persen kemungkinan operasi berhasil, akibat pendarahan internal, hingga akibat Al-Awady kehilangan penglihatannya sepenuhnya.

"Saya menangis. Saya sangat takut, tetapi saya bermohon dan menerima risikonya," katanya.

"Tim medis nan luar biasa mencoba nan terbaik untuk meningkatkan semangat saya, untuk membikin saya siap secara psikologis, dan mereka melakukannya. Saya memasuki ruang operasi sembari tertawa dan penuh kegembiraan," kata Al-Awady.

Operasi akhirya dilakukan minggu lalu, dan berjalan sukses. Tawfik mengaku banget terkejut dengan jumlah jangkitan dan bisul nan disebabkan oleh peluru, nan telah karatan dari waktu ke waktu di dalam kepala Al-Awady.

"Dia sangat stabil sekarang, dan dia minum obatnya dan menjadi lebih baik," kata Tawfik.

"Tujuan saya adalah pertama untuk mengakhiri rasa sakit nan disebabkan oleh jangkitan dan, kedua, untuk mempertahankan tingkat penglihatannya saat ini. Saya berambisi setelah kami menangani ablasi retina, penglihatannya bakal membaik," lanjutnya.

Simak Video "Video: Anak Nggak Mau Makan, Apakah Bisa Diganti Susu?"
[Gambas:Video 20detik]

Selengkapnya