ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Salah satu konglomerat Indonesia Sudono Salim namalain Liem Sioe Liong jatuh bangun dalam mendirikan upaya di tanah air. Sebelum berjaya, dia nan dikenal dekat dengan Presiden Soeharto saat tetap menjabat sebagai kolonel apalagi melewati rangkaian peristiwa memilukan.
Sudono Salim namalain Liem Sioe Liong merupakan konglomerat ternama di Indonesia, dia mempunyai catatan perjalanan upaya panjang, hingga dikenal dekat dengan Presiden Soeharto saat tetap menjabat sebagai kolonel.
Pada masa-masa awal terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara, Sudono Salim dikenal sebagai pengusaha impor cengkeh dan logistik tentara. Jaringan bisnisnya nan luas membikin Kolonel Soeharto mau bekerja sama dengannya.
Jalinan perkenalan pun terjadi setelah sepupu Soeharto, Sulardi menjadi perantara pertemuan keduanya. Salim kemudian menjadi penyuplai logistik pasukan Kolonel Soeharto semasa Perang Kemerdekaan (1945-1949).
"Setelah Soeharto meraih kekuasaan di Indonesia pada pertengahan 1960-an dan menjadi presiden, dia didukung oleh golongan kroni pengusaha, nan terbesar dan terkuat adalah Liem Sioe Liong," tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), dikutip Minggu (9/3/2025).
Keduanya terlibat dalam relasi saling menguntungkan selama tiga dekade. Soeharto melindungi Liem dan memastikan bisnisnya melangkah lancar. Liem lewat kerajaan upaya Salim Group menyalurkan biaya kepada Soeharto, keluarga, dan kroni lainnya.
Alhasil, kedua pihak pun berhasil di jalannya masing-masing. Salim sukses terdaftar sebagai orang terkaya di Indonesia. Sedangkan Soeharto juga sukses memegang kuasa di Tanah Air. Namun, kejayaan keduanya tiba-tiba hancur sekejap dalam waktu beberapa hari saja pada Mei 1998.
Salim sukses membangun tiga kerajaan upaya di tiga sektor, antara lain perbankan (Bank Central Asia, BCA), gedung (Indocement), dan makanan (Bogasari dan Indofood). Namun, itu semua perlahan rontok saat memasuki krisis 1998. BCA menjadi nan terparah.
Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebut, selama masa krisis pengguna menarik biaya secara massal dan besar-besaran. Ratusan orang rela antre berjam-jam untuk menguras seluruh tabungannya. Kondisi ini membikin BCA nan tidak lagi dipercaya masyarakat terancam bangkrut. Rangkaian krisis ini mencapai puncak pada Mei 1998.
Kedekatan dengan Soeharto rupanya menjadi malapetaka bagi Salim saat itu. Munculnya sentimen anti-Soeharto buntut meluasnya krisis ekonomi ke kemelut politik menjadi pukulan telak bagi Salim.
Rakyat nan mengetahui kedekatan keduanya menjadikan Salim sebagai sasaran sasaran. Ini terjadi usai unjuk rasa beranjak menjadi kerusuhan rasial pada 13 Mei 1998.
Hari itu, Jakarta dan sekitarnya dilanda kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran terhadap rumah, gedung pertokoan dan banyak kendaraan (Kompas, 14 Mei 1998). Aksi ini dilakukan oleh massa nan sudah terprovokasi.
Mereka menyasar gedung dan kendaraan milik orang Tionghoa, apalagi menargetkan orang Tionghoa itu sendiri.
Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013) menjelaskan munculnya sentimen rasial terhadap Tionghoa disebabkan lantaran ada stereotip bahwa mereka patut dibenci hanya lantaran kaya raya dan dekat dengan penguasa Soeharto. Tokoh sentral nan melekat dengan penjelasan itu adalah Sudono Salim.
"Perusahaan para bos dan family Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia milik Liem Sioe Liong merupakan objek serangan utama," tulis Ricklefs.
Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), mengungkapkan meski dijadikan sasaran amukan massa, Sudono Salim, istri, dan beberapa anaknya sedang berada di Amerika Serikat menemani Salim nan bakal operasi mata. Di Jakarta, hanya ada Anthony Salim nan bekerja di Wisma Indocement, Jl. Sudirman.
Anthony kala itu sampai tidak berani pulang ke rumah bapaknya di area Roxy. Sebab, kerusuhan massa juga menyasar permukiman penduduk Tionghoa. Dikhawatirkan, jika Salim berdiam diri di rumahnya, dia bisa terbunuh.
Prediksi itu kemudian betul terjadi. Pagi hari pada 14 Mei, Anthony menerima berita jika rumah bapaknya didatangi sekelompok pemuda bertampang mengancam, bersenjatakan jerigen bahan bakar, dan perkakas. Mereka mau masuk ke rumah mewah Liem.
Anthony tak berkutik. Dia segera memerintahkan satpam untuk mempersilahkan massa masuk merusak rumahnya, daripada dihadang dan terjadi pertumpahan darah.
"Dalam sekejap, seluruh mobil di kandang mobil terbakar, termasuk juga seisi rumah. Mereka membakar furniture, mencopot lukisan dan mengobrak-abrik kamar. Bahkan mereka mencoret-coret rumah dengan kata-kata tidak pantas," tutur Anthony kepada Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Setelah beberapa menit melakukan itu, asap hitam dengan sigap membumbung tinggi dari kediaman Salim. Di jalanan, foto Salim dilempari batu dan dibakar oleh massa nan marah. (Kompas, 15 Mei 1998).
Melihat situasi Jakarta nan sangat parah, Anthony langsung berpikir untuk pergi meninggalkan kantornya. Dia takut jika kantornya bakal bernasib sama seperti rumahnya.
Dia lantas pergi ke Bandara Halim untuk menuju Singapura memakai pesawat jet pribadi. Dari sanalah, Anthony memantau perkembangan bisnisnya setelah masa-masa susah itu.
Setelah kerusuhan mereda dan Soeharto akhirnya lengser, BCA mengalami kerugian paling parah. Tercatat ada 122 bagian rusak nan terdiri dari 17 instansi terbakar habis, 26 bagian dirusak dan dijarah, dan 75 bagian rusak tetapi tidak dijarah. Lalu, ada 150 ATM nan dirusak dan diambil duit tunainya hingga menelan kerugian Rp 3 miliar.
Selain BCA, Indofood juga mendapat serangan. Pabriknya di Solo dijarah dan dibakar hingga menelan kerugian Rp 42 miliar. Pusat distribusinya di Tangerang juga hancur dijarah massa. Hanya Indocement nan tetap bisa bertahan.
Meski begitu, pukulan telak terjadi di kerajaan upaya sektor perbankan. Seminggu setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, BCA diambil alih oleh pemerintah lantaran kondisi keuangannya semakin berdarah-darah tak tertolong. Pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi menjadikan BCA sebagai BTO (Bank Taken Over). Pengambilalihan ini bermaksud untuk menolong BCA agar tidak jatuh terlalu dalam.
Sejak itulah, BCA tidak lagi menjadi milik family Salim. Richard Borsuk dan Nancy Chng menyebut untuk menghidupi kembali mesin-mesin kekayaannya, Salim hanya mengandalkan Indofood.
Kini, 25 tahun setelah kejadian memilukan itu, upaya family Salim mulai berjaya. Bisnisnya pun tidak hanya Indofood, tetapi juga merambah sektor migas, konstruksi, dan perbankan.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Simak! Proyeksi IHSG & Rupiah Minggu Depan
Next Article Gurita Bisnis Salim Kuasai Ritel, Data Center Hingga Tambang RI