Kejagung Tangkap Bos Sritex Iwan Lukminto, Buntut Kasus Phk Massal?

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Gerak gerik Iwan Setiawan Lukminto menjadi objek intaian Tim interogator Kejagung dalam beberapa kurun waktu. Tim terus melakukan pengamatan terhadap Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) 2014-2023 nan sekarang menjabat sebagai Komisaris Utama itu.

Keberadaan sang bos perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu pun sempat terdeteksi di banyak titik. "Pencarian dan pendeteksian perangkat komunikasi nan terindikasi milik nan berkepentingan itu ada di beberapa tempat," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar di Jakarta, Rabu 21 Mei 2025.

Hasilnya, interogator menemukan letak Iwan Lukminto di Solo. Dia pun langsung ditangkap pada Selasa malam, 20 Mei 2025. Ada sekira empat orang dari Kejaksaan Agung nan ikut dalam operasi ini.

Usai ditangkap, Iwan digelandang ke Kejaksaan Negeri Solo sebelum diterbangkan ke Jakarta. Di tempat ini, dia transit sekira tujuh jam, sejak Selasa (20/5/2025) pukul 22.00 WIB hingga Rabu (21/5/2025) pukul 05.00 WIB. Sekitar pukul 07.00 WIB, baru kemudian dia diberangkatkan ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Batik Air dari Bandara Adi Soemarmo.

Di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menegaskan, Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Kejagung mengaku telah menemukan perangkat bukti nan cukup.

Ketiga tersangka adalah DS (Dicky Syahbandinata) selaku Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) Tahun 2020, Zainuddin Mappa (ZM) selaku Direktur Utama PT Bank DKI Tahun 2020, dan Iwan Setiawan Lukminto (ISL) selaku Direktur Utama PT Sritex Tahun 2005–2022.

"Terhadap tiga tersangka mulai malam ini dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan," kata Qohar di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Rabu 21 Mei 2025 malam.

Akibat adanya perbuatan melawan norma tersebut, negara diduga mengalami kerugian finansial sebesar Rp692.987.592.188,00 dari total nilai outstanding alias tagihan nan belum dilunasi sebesar Rp3.588.650.880.028,57.

Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai langkah Kejaksaan nan menetapkan kasus angsuran macet PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) sebagai perkara korupsi sudah tepat. Pasalnya, angsuran nan dikucurkan berasal dari bank-bank milik negara dan daerah, sehingga penggunaan biaya tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari finansial negara.

“Kalau dia angsuran macet, mestinya bisa diselesaikan secara perdata, disita asetnya untuk dikembalikan ke bank. Tapi ini lantaran banknya bank negara, bank daerah—Bank DKI dan BJB—maka kejaksaan memandang ini sebagai duit negara,” kata Fickar saat dihubungi detikai.com, Kamis (22/5/2025).

Fickar menjelaskan, dalam praktik umum, sengketa angsuran antara perusahaan dan bank swasta biasanya diselesaikan lewat jalur perdata. Dalam sistem norma perdata, perusahaan peminjam membikin gross acte alias pengakuan utang nan bisa langsung dieksekusi jika wanprestasi terjadi.

“Kalau swasta itu biasanya diikat oleh perjanjian nan bisa langsung dieksekusi. Namanya gross acte, pengakuan hutang. Begitu nilainya tembus nomor perjanjian, misalnya utang Rp2 miliar naik jadi Rp3,5 miliar lantaran bunga, bank bisa minta eksekusi langsung ke pengadilan,” jelasnya.

Namun, dalam kasus Sritex, Kejaksaan memandang bahwa telah terjadi penyimpangan nan melibatkan pejabat internal bank, sehingga masuk ke ranah pidana. Fickar menyebut bahwa keputusan untuk menetapkan dua kepala bank sebagai tersangka adalah langkah nan tepat.

“Kalau kepala banknya tidak dituntut, kejaksaan tidak punya argumen kuat untuk menjerat Sritex dengan pasal korupsi. Tapi lantaran ada permainan antara dewan bank dan Sritex—perusahaan nan sebenarnya tidak layak angsuran kok dikasih pinjaman besar—maka masuklah unsur pidana di situ,” ujar Fickar.

Menurutnya, penuntutan terhadap pejabat bank menunjukkan bahwa proses pencairan angsuran nan diberikan kepada Sritex tidak melangkah sebagaimana mestinya. Hal inilah nan membuka celah bagi penerapan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tipikor.

“Makanya, jika tidak ada permainan, penyelesaiannya cukup eksekusi aset. Tapi lantaran ada kolusi, maka wajar diproses sebagai tindak pidana korupsi,” pungkas Fickar.

Adapun Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, menilai kasus dugaan korupsi nan menjerat petinggi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) patut disesalkan. Ia menyebut persoalan ini tak lepas dari persaingan nan tidak seimbang antara industri tekstil Indonesia dan produk impor asal Tiongkok.

"Kalau betul dia melakukan korupsi, tentu sangat disayangkan. Menurut kami, ini akibat dari persaingan antara China dengan Indonesia. Kita memandang bahwa persaingan dengan China itu sangat tidak fair," ujar Aloysius dalam keterangannya, Rabu (22/5).

Menurutnya, banjirnya produk tekstil dari Cina membikin industri dalam negeri tertekan, termasuk Sritex. Ia mengingatkan bahwa sudah sejak lama para pengamat dan pelaku industri meminta pemerintah membatasi impor produk tekstil dari negeri Tirai Bambu tersebut.

"Kami waktu itu mengusulkan agar pemerintah mengurangi impor dari China, agar jangan sampai ada persaingan-persaingan nan tidak seimbang dengan Indonesia," tegasnya.

Dalam kasus Sritex, diketahui bahwa ketua perusahaan diduga menyalahgunakan angsuran dari sejumlah bank wilayah dan bank milik negara. Dana pinjaman itu disebut tidak digunakan sebagaimana mestinya.

"Ya, itu kemungkinan juga bisa terjadi di perusahaan-perusahaan nan lain. Artinya, pinjaman dari bank tidak digunakan sesuai dengan tujuannya," jelas Aloysius.

Ia juga menilai dugaan korupsi tersebut berakibat langsung pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal nan terjadi di tubuh perusahaan tekstil raksasa itu.

"Saya kira itu akibat dari korupsi. Keuangan Sritex menjadi terbentur lantaran uangnya tidak digunakan untuk kebutuhan perusahaan, tapi untuk hal-hal lain nan menyimpang dari tujuan perusahaan," ucapnya.

Aloysius berambisi proses norma terhadap petinggi Sritex ini bisa membuka praktik-praktik manajemen nan selama ini mungkin ditutupi oleh pihak internal perusahaan.

"Ya, kemungkinan juga begitu. Kecurangan-kecurangan nan terjadi di perusahaan-perusahaan itu bisa jadi terjadi juga di tempat lain. Gulung tikarnya perusahaan sering kali akibat dari korupsi bos-bosnya," tandasnya.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar menyatakan bakal terus mendalami kasus dugaan rasuah dari pemberian angsuran perbankan kepada PT Sritex. Semua pihak nan diduga terlibat bakal diperiksa.

"Tadi saya sampaikan ya, bahwa ini dua bank, gimana bank sindikasi alias bank wilayah nan lain tetap dalam proses pendalaman. Perkembangannya tentu bakal kami sampaikan," kata Qohar dalam keterangan diterima, seperti dikutip Kamis (22/5/2025).

Terkait potensi keterlibatan bank lain, Qohar memastikan jika ada maka pihaknya tidak bakal pandang bulu. Menurut dia, saat ada perangkat bukti nan cukup maka pihaknya bakal mengejar pertanggungjawaban nan bersangkutan.

"Saya jawab, siapa pun nan terlibat dalam perihal ini, ya, tanpa bulu pandang, andaikan perangkat bukti cukup, bakal kita mintai pertanggung jawaban hukum," tegas Qohar.

Qohar menjelaskan, pihaknya sudah mempelajari semua prosedur nan ada. Dia meminta awak media bersabar untuk perkembangan berikutnya.

"Jadi, kawan-kawan sabar, ini kan baru ditetapkan tersangka. Ya, kelak pasti bakal kita buka seluas-luasnya," dia menandasi.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni berambisi Kejagung dapat mengusut aliran biaya dugaan korupsi itu. PPATK dapat dilibatkan untuk melacak siapa saja yang menikmati duit tersebut.  

"Selanjutnya saya juga minta Kejagung dan PPATK buka semua aliran dananya, lacak siapa saja nan terlibat. Karena akibat kepentingan pribadi mereka, akibat mau selamat sendiri, ribuan tenaga kerja jadi kehilangan pekerjaan," jelas dia.

Sahroni juga menyoroti tindakan korupsi dewan Sritex nan mengingkari kepercayaan ribuan pekerja nan bekerja di sana selama ini.

"Kejahatan korporasi seperti ini kudu ditindak tegas. Akibat keserakahan mereka, dewan Sritex, ribuan rantai kehidupan masyarakat jadi terputus. Pabrik tutup, pekerja kehilangan penghasilan, family jadi kesulitan, anak-anaknya putus sekolah. Ini luka sosial nan nyata," ungkap dia.

"Mereka mengingkari para pekerja nan telah memberi mereka untung bertahun-tahun. Selama ini berpura-pura sedih padahal mereka sendiri pelakunya. Drama nan memalukan," pungkasnya.

Dukungan juga datang dari Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo. Dia menilai langkah Kejagung sebagai sikap nan berani dalam membongkar korupsi korporasi.   

“Kita menghormati  langkah berani Kejagung untuk membongkar praktik kejahatan korupsi di sektor Perbankan, lantaran dia mendapafkan akomodasi angsuran nilai dahsyat tapi perusahaan pailit,” kata saat dikonfirmasi, Kamis (22/5/2025).

Rudianto menyebut kebangkrutan PT Sritex janggal karena telah menerima banyak support kredit.

“Apalagi kasus Sttiex banyak tenaga kerja menggantungkan nasib di sana. Tiba-tiba ambruk padahal ada banyak Bank memberi akomodasi istimewa. Kita sebagai mitra Kejaksaan menyambut positid langkah berani Kejagung.  Ini kudu dilakukan penegak norma untuk memonitor menyisir korupsi di sektor Perbankan,” tegasnya.

Politikus NasDem itu meminta Kejagung mendalami apakah pailitnya PT Sritex benar murni ambruk alias ada kesengajaan.

“Apakah murni bangrut alias jangan jangan ada kesengajaan untuk pailit ini oerlu didalami, apalagi  ada kewenangan tenaga kerja nan belum diberikan ini kudu jadi konsen pemerintah. Jangan sampai ini jadi modus baru menggerogoti kas bank kita,” pungkasnya.

Selengkapnya