ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Politisi di Bali mengkritisi Surat Edaran (SE) Gubernur Bali I Wayan Koster Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah nan memuat larangan produksi dan penjualan air minum bungkusan berukuran kurang dari satu liter. Kebijakan ini dinilai mengganggu penyelenggaraan aktivitas budaya di Bali dan juga perekonomian masyarakat Bali.
Hal itu seperti disampaikan Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali I Gede Harja Astawa. Dia dengan tegas menolak SE Gubernur I Wayan Koster nan melarang produksi dan penjualan air minum bungkusan berukuran kurang dari satu liter ini.
"Peniadaan bungkusan air minum tersebut bakal memberatkan saat penyelenggaraan upacara budaya di Bali," ujar I Gede Harja Astawa melalui keterangan tertulis, Senin (21/4/2025).
Menurut Gede Harja Astawa nan juga Ketua DPD Pemuda Hindu Kabupaten Buleleng ini, peniadaaan air minum kemasan di bawah satu liter itu bakal memunculkan beban baru bagi masyarakat budaya ketika melaksanakan aktivitas budaya nan melibatkan penduduk banjar.
"Karena, baik dari aktivitas di Pura, Pitra Yadnya alias manusia Yadnya, semua memerlukan air nan dikemas plastik dalam jumlah besar. Keberadaan air nan dikemas plastik itu membikin banyak orang menjadi sangat simple saat menjalankan kegaiatan tersebut. Nah, jika itu dilarang solusinya apa," papar dia.
Gede Harja Astawa mengatakan, dengan melarang bungkusan air minum plastik sekali pakai dibawah satu liter, masyarakat terpaksa kudu menggantikannya dengan bungkusan gelas nan harganya mahal dan memerlukan tenaga bentuk nan relatif lebih tinggi.
"Jadi, nan gawe juga bakal sangat repot jika kudu menyiapkan gelas nan sangat banyak untuk penyelenggaraan upacara budaya dan tentu sama sekali tidak efisien juga kemasannya," ucap dia.
Jelang KTT G20 di Nusa Dua, Bali, pengamanan di pintu keluar masuk Pulau Dewata diperketat. Salah satunya, Pelabuhan Ketapang , Banyuwangi, Jawa Timur, ratusan personil TNI-Polri bersiaga.
Permasalahan Sampah di Bali
Gede Harja Astawa menyebut, solusi penyelesaian persoalan sampah di Bali sebenarnya bisa dilakukan melalui sistem tanggung jawab berbareng dan disertai hukuman tegas.
Hal itu, kata dia, bermaksud agar kebijakan perlindungan lingkungan tetap melangkah tanpa mengorbankan kebudayaan masyarakat adat. Untuk itu, dia menegaskan perlunya keterlibatan semua stakeholder dalam menyusun ketentuan agar tidak kembali ke masa lalu.
"Masakan kita kembali lagi ke masa lampau nan tidak ada plastik? Apakah kita mau kembali ke era primitif. Kita tidak boleh anti teknologi, tetapi gimana setiap orang itu bisa mempertanggungjawabkan sampah-sampah plastik dari aktivitas mereka," ucap Gede Harja Astawa.
Oleh lantaran itu, dia membujuk agar tanggung jawab pengolahan sampah tidak hanya difokuskan pada larangan air kemasan, melainkan penyelesaian pengelolaan sampah secara menyeluruh.
"Itu kudu diatur dengan hukuman tegas termasuk melibatkan semua stakeholder. Apalagi, sampah di Bali itu kan tidak hanya berasal dari bungkusan air mineral semata tapi banyak juga dari nan lain," terang Gede Harja Astawa.
Selain itu, menurut dia, Pemerintah Provinsi alias Pemprov Bali juga bisa membangun area industri daur ulang membantu produsen mengelola sampah plastik.
Penolakan Lainnya
Penolakan serupa juga disampaikan politisi Bali lainnya dari Partai Kebangkitan Nusantara, I Gede Pasek Suardika. Dia mengatakan, larangan produksi dan pengedaran air minum dalam bungkusan (AMDK) di bawah satu liter di Bali ini juga bagian dari menggerogoti perekonomian regional nan ujungnya berakibat secara nasional.
"Apalagi di masa krisis ekonomi seperti saat ini maka kontraksi ekonomi sedikit saja bisa berkontribusi besar bagi makin tergoncangnya perekonomian nasional," ucap Suardika.
Menurutnya, dari 28 persen sampah non organik di Bali hanya 5 persen saja berasal dari AMDK dan sebagian besar obyek utama pemulung untuk bisa dijual kembali.
"Jadi, beda dengan produk produk plastik lainnya. Sebenarnya nan kudu dilakukan di Bali untuk mengatasi masalah sampah bukan melarang produksi plastiknya, tapi dengan mengatur siklus daur ulangnya lantaran susah terurai dan diatur jumlah penggunaannya agar tidak berlebihan," papar Suardika.
Dia mengingatkan, kisah kelahiran dan temuan plastik menemani manusia adalah sebagai temuan pengganti ketika manusia royal melahap pohon nan dipakai sebagai sarana untuk kertas, pembungkus, dan kebutuhan lainnya.
"Tanpa plastik maka rimba makin banyak dibabat untuk memenuhi kebutuhan manusia pengganti plastik," kata Suardika.
Jadi, lanjutnya, pemaksaan kebijakan nan berakibat pada terganggunya pertumbuhan ekonomi ini sangat berbahaya.
"Silakan dibayangkan jika helm plastik diganti aluminium alias besi, tempat plastik infus diganti dengan bahan lain, ember, jas hujan, plastik balut beras dilakukan larangan, ditambah lagi AMDK, maka pertumbuhan ekonomi bakal terganggu dan pengangguran makin banyak," terang dia.
"Lalu, siapa nan bakal bertanggung jawab jika pengaruh dominonya menyusahkan kita semua? Bangun kesadaran, kendalikan penggunaan plastik tetap jaga pertumbuhan ekonomi," pungkas Suardika.