ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Industri perbankan Indonesia mencatatkan keahlian nan kurang menggembirakan sepanjang 2024. Bank-bank besar hanya bisa mencatatkan pertumbuhan untung nan minim.
Kondisi tersebut terjadi lantaran perbankan RI kudu bersaing memperebutkan likuiditas antara satu sama lain dan juga dengan pemerintah. Hal ini sebagai konsekuensi, beban kembang melonjak tinggi.
Sementara itu, bank-bank mini menengah menjadi korban nan paling terdampak dari kondisi ini. Mereka kudu berupaya keras bersaing dengan bank-bank besar.
Meskipun sebagian besar tetap bisa mencetak untung dan biaya pihak ketiga (DPK), beban kembang melonjak banget tinggi dan efisiensi tergerus.
Seperti bank pelat merah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) nan mencatatkan penurunan untung sebesar 14,1% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 3 triliun pada tahun ini. Beban kembang tercatat melonjak 22% yoy.
Kemudian, efisiensi kerja bank itu juga menurun dengan rasio Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) membengkak menjadi 88,70%. Rasio BOPO digunakan untuk mengukur efisiensi dan keahlian sebuah bank dengan membandingkan beban operasional dan pendapatan operasional. Semakin besar besaran BOPO, semakin menurun keahlian finansial bank.
Efisiensi BTN juga menurun pada parameter lainnya, ialah rasio beban operasional terhadap pendapatan kembang bersih alias cost to income ratio (CIR) nan membengkak menjadi 57,15% tahun lalu. Umumnya, bank nan sehat mempunyai rasio CIR di bawah 50%.
PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jakarta namalain Bank DKI juga mencatatkan penurunan untung sebesar 23,62% yoy menjadi Rp779,09 miliar pada akhir tahun lalu. DPK Bank DKI pun hanya bisa tumbuh di bawah 1%, ialah 0,71% yoy menjadi Rp64,08 triliun.
Walaupun beban kembang Bank DKI dapat terjaga dengan kenaikan 0,60% yoy, efisiensi keahlian menurun dengan BOPO dan CIR naik, masing-masing menjadi 84,98% dan 62,27%.
Kondisi serupa juga dialami oleh bank wilayah lainnya, ialah PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara namalain Bank Sumut, dengan pertumbuhan untung hanya sebesar 0,09% yoy menjadi Rp740,72 miliar pada tahun 2024. Pertumbuhan DPK juga seret, hanya 1,76% yoy menjadi Rp33,20 triliun, dengan beban kembang melonjak 15,51% yoy.
Sekalipun, PT Bank Capital Tbk. (BACA) sukses menurunkan beban bunganya sebesar 0,42% yoy, DPK hanya bisa tumbuh 0,42% yoy menjadi Rp12,57 triliun pada 2024. Bank itu memang mencetak kenaikan untung 7,48% menjadi Rp109,38 miliar, namun efisiensi keahlian bank itu tetap buruk. Dengan BOPO dan CIR tercatat di posisi masing-masing 97,13% dan 97,21%.
Bank-bank berukuran menengah nan bisa mencetak pertumbuhan double digit pada bottom line dan pendanaan, juga kudu mengorbankan efisiensi kinerjanya.
Seperti PT Bank OCBC NISP Tbk. (NISP) nan bisa mencatatkan untung naik 18,9% menjadi Rp 4,86 triliun di tahun 2024. Sementara DPK bertumbuh melampaui industri, sebesar 11,46% yoyo menjadi Rp205,93 triliun.
Namun, pertumbuhan beban kembang OCBC Indonesia sebesar 16,68% yoy, melampaui besaran pertumbuhan DPK dan nyaris mendekati besaran pertumbuhan laba. BOPO dan CIR juga tetap bengkak, masing-masing 70,97% dan 50,87%.
Hal serupa juga dialami oleh bank syariah terbesar RI, PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS), nan saat ini tetap menguasai market share perbankan syariah nasional. Laba BSI tercatat sebesar Rp7,01 triliun pada tahun 2024, melesat 22,83% yoy jauh melampaui ketiga bank BUMN pengendalinya.
Kendati begitu, beban bagi hasil BSI melesat lebih tinggi lagi, sebesar 31,73% yoy. Kinerja BSI juga tetap tidak efisien dengan rasio BOPO dan CIR masing-masing 69,93% dan 50,89%.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono memaparkan info Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa jumlah angsuran nan sudah disetujui tetapi belum ditarik (dicairkan) alias undisbursed loan (UL) bank umum tampak naik 6,6% (yoy) per November 2024. Hal itu menjadi salah satu parameter bahwa pendapatan dari kembang angsuran kurang optimal.
Belum lagi ditambah ketika rasio BOPO nan juga naik. Menurut Paul, periode pemisah BOPO adalah 70%-80%.
"Tetapi bank saat ini memang sedang bersaing ketat dalam menghimpun biaya masyarakat dengan surat utang alias obligasi pemerintah. Mengapa? Karena kembang obligasi seperti ORI (obligasi negara ritel) nan sekitar 6% itu jauh lebih besar daripada kembang simpanan bank," kata Paul.
Maka demikian, biaya pendanaan bank untuk dapat menyaingi imbal hasil obligasi pemerintah jadi mahal. Menurut Paul, bank umum bakal menggenjot pendapatan non operasional namalain fee-based income guna mengimbangi pendapatan kembang angsuran nan menipis.
(ven/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: "Berebut" Likuiditas Era Trump Jilid II, Perbankan Harus Apa?
Next Article Ketakutan Jokowi di Akhir Jabatan Makin Nyata, Sudah Disorot DPR