Barak Militer Untuk Siswa Nakal, Solusi Atau Masalah Baru?

Sedang Trending 13 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta Satu per satu, puluhan siswa SMP turun dari bus dan truk TNI. Mereka tiba di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, Purwakarta, Kamis, 1 Mei 2025. Berkemeja putih, celana hitam dan topi biru, membawa tas ransel.

Ada juga nan menenteng koper dan kantong belanja. Kedatangan mereka disambut puluhan prajurit berseragam loreng.

Setelah menurunkan semua peralatan bawaan, anak-anak remaja itu disuruh baris berbanjar di laman markas. Tak ada waktu santai. Mereka bertepuk tangan mengikuti petunjuk prajurit TNI.

Sampai di satu momen, anak-anak itu diberikan kesempatan berpamitan dengan orangtuanya nan memang turut mengantar ke markas TNI nan berada di Jalan Raya Sadang-Subang.

Babak baru perjalanan hidup mereka pun dimulai. Sebanyak 39 anak nan dianggap orangtuanya bandel dan susah diatur itu dititipkan ke barak TNI untuk ditempa kedisiplinan ala militer.

Mereka bakal menjalani program Pendidikan Karakter, Disiplin dan Bela Negara Kekhususan nan dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

"Kriterianya adalah anak-anak nan sudah mengarah ke tindakan-tindakan kriminal. Dan orangtuanya tidak punya kesanggupan untuk mendidik. Artinya bahwa nan diserahkan itu adalah siswa nan orang-orangtuanya sudah tidak sanggup lagi, sudah tidak bisa lagi untuk mendidik. Jadi jika orangtuanya tidak menyerahkan, kita tidak bakal menerima," ujar Dedi Mulyadi usai menjadi Pembina upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Rindam III Siliwangi, Jalan Manado, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat, 2 Mei 2025.

Lalu, gimana dengan siswa nan gemulai, apakah bakal dibina di barak militer?

"Ya kita satu-satu dulu deh. Memang ada tuh komentar di media sosial, 'Pak Gubernur, Pak Gubernur, anak-anak nan gemulai suruh pendidikan militer biar tegap'. Ya bisa saja. nan krusial ini kita konsentrasi dulu deh nan bikin resah. Karena kriminalnya sudah pembunuhan, bagaimana," kata Dedi.

Saat ini, kata Dedi, siswa nan mengikuti program pembinaan sebanyak 39 siswa SMP di Purwakarta dan 30 siswa SMP/SMA di Kota Bandung. Di Purwakarta sudah melangkah sejak Kamis, 1 Mei 2025. Sementara di Kota Bandung dimulai bertepatan dengan Hardiknas, Jumat, 2 Mei 2025.

"Mereka sangat hepi saya lihat. Bagaimana enggak hepi, mereka gizinya cukup, istirahatnya cukup, olahraganya cukup, sistem pembelajaran di sekolahnya cukup. Kan mereka juga belajar. Cuma gurunya aja ngajarnya di sana," ujar Dedi.

Untuk pembiayaan program pembinaan anak nakal, menurut Dedi, saat ini tetap menggunakan biaya operasional gubernur Jawa Barat dan bupati Purwakarta.

"Sementara ini saya support, bupati juga support dari biaya operasional mereka ya. Bupati Purwakarta dari biaya operasional, dia support. Tetapi kelak di perubahan anggaran mungkin dimasukin dalam sistem. Kan nan krusial jalan dulu," jelasnya.

Baca juga Dedi Mulyadi Beberkan Kriteria Siswa Nakal nan Bakal Dimasukkan ke Barak Militer

Pendidikan Militer Solusi untuk Anak-anak Nakal

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi alias biasa disapa Kak Seto mengapresiasi program nan digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Menurut Kak Seto, program pembinaan disiplin dan karakter nan bekerja sama dengan TNI-Polri ini merupakan solusi bagi masa depan anak-anak bermasalah.

"Saya kira tepat untuk membangun karakter anak pendidikan dasar dan menengah sesuai karakter profil pelajar Pancasila yakni, adab mulia, gotong royong, kebhinekaan lobal, menghargai perbedaan, disiplin, kreativitas, juga kritis," ujar Kak Seto saat berbincang dengan detikai.com, Jumat, 2 Mei 2025.

Meski begitu, Kak Seto memberikan penekanan agar dalam penyelenggaraan program ini kudu tetap ramah anak dan tidak menggunakan kekerasan bentuk nan justru bakal berakibat negatif pada ilmu jiwa anak.

"Itu semua pendidikan nan bagus, tetapi tidak dengan cara-cara keras, dipukul. Tetap kudu ramah anak. Ini tetap adalah anak, jadi minta dengan tidak dengan cara-cara militer. Kedisiplinannya boleh diambil, tetap kudu ramah anak alias layak anak," kata Kak Seto.

Kak Seto menyarankan agar program ini tidak berakhir sampai para siswa selesai menjalani aktivitas di barak. Potensi alias talenta para siswa nan selama ini terpendam dan akhirnya bisa terlihat saat mengikuti program, kudu dapat disalurkan ke depannya.

"Harus ada kelanjutannya ialah potensi setiap siswa kudu ada penyalurannya. nan mau teriak-teriak, kasih nyanyi, main band. Main lagu metal, teriak-teriak. nan suka nendang-nendang, ya main bola. nan suka berantem, tawuran, kasih sarana bela diri. Seperti era Pak Ali Sadikin, menyediakan gelanggang remaja. Itu salah satu untuk menangani anak-anak bandel, susah diatur. Harus ada sarana," ujar Kak Seto.

"Kami mengapresiasi terhadap langkah nan sudah dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Pak Dedi Mulyadi. Artinya, sejauh ini demi kebaikan untuk anak, masa depan anak, itu baik," ucap Kak Seto.

Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein, menjelaskan pendidikan semimiliter untuk para pelajar diterapkan paling sigap selama enam bulan dan paling lama selama satu tahun. Harapannya, para siswa nan biasa melakukan tidak baik, bisa mengubah perilakunya menjadi lebih baik.

"Semoga dengan pendidikan militer ini, para siswa bisa mengubah kebiasaan jelek menjadi berperilaku baik. Menghormati orang tuanya, tidak melawan dan tidak bandel lagi," kata Saepul.

Dalam pelaksanaannya, kata Saepul, masing-masing siswa nakal akan dibawa ke markas TNI dengan ditemani orang tuanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Purwakarta, Purwanto, mengatakan pada tahap awal program pembinaan alias pendidikan semimiliter ini diikuti sekitar 30-40 pelajar. "Mereka dibina langsung oleh personil TNI dari Resimen Armed," kata Saepul.

Purwanto menjelaskan aktivitas ini terlaksana atas kesepakatan antara Dinas Pendidikan Purwakarta, Kantor Cabang Dinas Wilayah IV Disdik Jawa Barat, Kementerian Agama, hingga Dewan Pendidikan.

Menurut Saepul, semua pihak sepakat dan sepaham jika pendekatan militer diperlukan untuk menanamkan kembali nilai-nilai disiplin di kalangan pelajar. Termasuk menanamkan rasa tanggung jawab dan nasionalisme nan dinilai mulai luntur di kalangan generasi muda.

Barak Militer untuk Anak Nakal Harus Dikaji Ulang

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan, program pembinaan bagi siswa bandel di barak militer nan digagas Gubernur Dedi Mulyadi kudu dikaji ulang.

"Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan civic education (pendidikan kewarganegaraan). Mungkin perlu ditinjau kembali rencana itu, maksudnya apa," ujar Atnike, Jumat, 2 Mei 2025.

Menurut Atnike, membujuk siswa untuk mengunjungi lembaga alias lembaga tertentu dalam rangka mengajarkan langkah kerja, tugas, dan kegunaan lembaga maupun lembaga tersebut sejatinya tidak menjadi masalah.

Namun, andaikan siswa diminta mengikuti pendidikan tertentu, termasuk nan berasosiasi dengan kemiliteran, kebijakan itu menjadi tidak tepat dan keliru. Apalagi, menurut Atnike, pendidikan itu dilakukan sebagai sebuah corak balasan lantaran siswa dicap sebagai anak nakal.

"Oh, iya dong (keliru). Itu proses di luar norma jika tidak berasas norma pidana bagi anak di bawah umur," kata Atnike.

Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menilai, penanganan anak bermasalah dengan dimasukkan alias dididik dalam barak militer kudu melibatkan master dan mahir di bidangnya.

"Jadi saran saja, disiapkan, dikonsepkan dengan hati-hati. Melibatkan juga tentunya para pakar, pemerhati keluarga, mahir pengetahuan keluarga, psikolog, dan tentu kudu diajak bicara juga keluarganya," kata Bima Arya di Balai Kota Malang, Jawa Timur.

Meski memasukkan siswa nakal ke barak militer bermaksud untuk pendidikan, tetapi sebisa mungkin lebih dulu dilakukan pengkajian mendalam terhadap konsep pelaksanaannya.

"Catatannya adalah kudu hati-hati, nan namanya mendidik itu bukan hanya sekadar melatih kedisiplinan, tetapi ada unsur psikologis dan kepribadian nan juga kudu diperhatikan," ujar Bima.

Pola pendidikan kudu lebih menekankan pada pendekatan kekeluargaan, membangun hubungan antara peserta, pemerintah wilayah pemilik kebijakan, dan pihak nan bekerja menangani anak-anak tersebut.

"Betul-betul dimatangkan gimana konsepnya, unsur pendekatan nan sifatnya kekeluargaan. Selain melengkapi pembinaan disiplin itu tadi," kata Bima Arya.

Berpotensi Melanggar HAM

Anggota Komisi II DPR RI, Giri Ramanda Kiemas, menilai program nan digagas Dedi Mulyadi berpotensi melanggar kewenangan asasi manusia.

Giri menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek kewenangan anak, kewenangan asasi manusia, psikologi, dan kajian mendalam sebelum kebijakan tersebut dilaksanakan.

"Jika ada masalah perilaku pada remaja, sebaiknya dilakukan kajian komplit tentang profil anak, termasuk aspek kejiwaan. Treatment kedisiplinan nan diterapkan belum tentu efektif dalam menangani perilaku menyimpang. Oleh lantaran itu dibutuhkan kajian ilmu jiwa nan mendalam untuk memahami setiap perseorangan dengan lebih baik," kata Giri dalam keterangannya.

Politikus PDIP ini menuturkan, penjemputan paksa tanpa putusan norma nan jelas bisa melanggar kewenangan asasi anak, meskipun program pendidikan militer ini disebut tetap bakal melalui persetujuan orang tua.

"Pendidikan karakter pelajar sebaiknya dibentuk dalam lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal mereka, bukan dengan langkah memaksa mereka masuk ke barak militer tanpa dasar norma nan kuat," jelas Giri.

Menurutnya, pemerintah wilayah kudu mempertimbangkan aspek perbedaan budaya, sistem aparat, dan lembaga nan ada di masing-masing negara.

"Kepala wilayah kudu kreatif, tapi penemuan nan diambil kudu melalui kajian nan matang dan terukur. Bukan sekadar sensasi nan menciptakan kesan 'mem-bully' pelajar," kata Giri.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco menyatakan kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi itu adalah perihal baru dan butuh pengkajian nan mendalam terlebih dulu.

"Hal nan disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat mungkin adalah hal-hal baru nan memang perlu dikaji terlebih dulu secara matang," kata Dasco di Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025.

Tak hanya itu, menurut Dasco, kebijakan itu juga tidak bisa diterapkan wilayah lain. Sebab, setiap wilayah mempunyai karakter nan berbeda.

Solusi Lain Selain Pendidikan Militer

Pengamat Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai, program wajib militer bagi anak bermasalah berseberangan dengan konsep pedagogi nan mengedepankan kebutuhan dan karakter peserta didik.

"Dalam bumi pendidikan, jika ada masalah itu tidak kudu kemudian diserahkan kepada lembaga lain dulu. Anak bandel itu kan tidak bisa diseragamkan, masalahnya kan bisa beda-beda. Dan TNI bukan obat segala masalah," ujar Cecep dilansir Antara.

Cecep memandang kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi mungkin bermaksud baik, agar anak-anak bandel di wilayahnya dapat dibina. Namun, menurut Cecep, lebih baik nan diusung bukan konsep wajib militer, melainkan pendidikan pembukaan bela negara nan memang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

"Ini niatnya mungkin baik ya, kudu kita hargailah Pak Dedi itu. Kalau saya konsepnya bukan pendidikan militer seperti wamil, tetapi pendidikan pembukaan bela negara," kata Cecep.

Dalam beleid tersebut, lanjut Cecep, dijelaskan mengenai Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), nan levelnya bukan pendidikan militer tapi pendahuluannya seperti Resimen Mahasiswa (Menwa) di kampus-kampus.

Jika memang betul maksud dari kebijakan Dedi Mulyadi merupakan PPBN, Cecep menegaskan sangat setuju apalagi mendukung jika program tersebut dilaksanakan.

Menurut Cecep, program PPBN bakal lebih baik jika diberlakukan bagi seluruh siswa, dan bukan hanya bagi siswa bermasalah saja. Program itu pun kudu betul-betul terencana secara matang.

"Nah terus dibuat kurikulumnya, dan sesekali mungkin di sekolah kegiatannya. Lalu sekali di kamp-kamp militer, sesekali di luar, gitu ya. Ada kurikulumnya. Tidak hanya TNI nan dilibatkan, misalnya, kaum pendidik, terus spiritualnya dari tokoh-tokoh agama, dilibatkan di situ psikolog, pembimbing BP, pembina OSIS dan lain-lainnya dilibatkan, termasuk pemerintah," jelasnya.

Berbeda dengan Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menyatakan daerahnya punya sistem sendiri untuk menangani anak nakal. Ia menilai anak di bawah umur lebih baik dididik di sekolah dan orang tua masing-masing.

"Jawa Tengah, ya jika anak di bawah umur, kita kembalikan ke orangtuanya," kata Luthfi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 30 April 2025.

"Kalau di bawah umur, tetap ada kewenangan. Di sekolah tetap ada namanya guru, kembalikan ke orangtuanya," tambahnya.

Sementara untuk anak cukup umur andaikan melanggar hukum, kata Luthfi, maka perlu diusut tuntas tindak pidananya. Menurutnya, semua perihal tersebut sudah ada aturannya, tanpa perlu patokan baru.

"Kalau anak-anak sudah di atas umur, melakukan tindak pidana, kita sidik tuntas mengenai dengan tindak pidananya. Kan begitu. Ada patokan hukumnya, kenapa harus ngarang-ngarang gitu. Enggak usah. Sesuai ketentuan saja," kata Luthfi.

"Kalau sudah cukup umur antara 12-18 tahun, di atas itu ya pidana. Kita lakukan pidananya, biar pengaruh juga. Dan pentingnya di Jawa Tengah bisa untuk atasi itu semua," sambungnya. 

Infografis Kontroversi Siswa Nakal Masuk Barak Militer

Selengkapnya