ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com- Sudah bukan perihal baru lagi bahwa Everest menjadi tujuan angan para pendaki dan fans petualangan dari seluruh dunia. Gunung Everest terletak di perbatasan antara Nepal dan Tibet, China.
Pesona gunung tertinggi di bumi ini begitu menonjol dengan hamparan pemandangan spektakuler nan ditawarkannya. Namun di kembali keindahannya, gunung ini juga menjadi area kematian dan pemakaman terbuka terbesar nan pernah ada.
Para pendaki seolah kudu siap menantang maut dalam perjalanan selama berhari-hari demi mencapai titik tertinggi di bumi. Hingga Desember 2024, lebih dari 335 orang tewas saat berupaya mencapai puncak Gunung Everest. Jumlah ini termasuk mereka nan sukses mencapai puncak dan mereka nan berupaya untuk turun.
Saking banyaknya pendaki nan meninggal, pemandangan mayit di Everest merupakan perihal sangat mudah ditemui.
"Sulit percaya apa nan saya lihat di atas sana," tulis kreator movie Everest, Elia Saikaly. "Kematian. Pembantaian. Kekacauan. Antrean. Mayat dalam perjalanan."
Ketika pendaki meninggal di Everest, susah untuk memulangkan jenazahnya. Menurut laporan Business Insider, mayit pendaki terakhir nan dipulangkan menghabiskan biaya puluhan ribu dolar (dalam beberapa kasus, sekitar US$70.000) alias hingga Rp1 miliar lebih.
Tak hanya biayanya nan sangat mahal, prosesnya juga rawan dan bisa berakibat fatal. Dua pendaki asal Nepal tewas saat mencoba mengambil jenazah dari Everest pada tahun 1984.
Lantaran argumen inilah, jenazah sering kali dibiarkan tergeletak di gunung. Lhakpa Sherpa, pemegang rekor sebagai wanita nan paling banyak mencapai puncak Everest, mengatakan dia memandang tujuh mayit dalam perjalanan ke puncak gunung pada tahun 2018.
Selama bertahun-tahun, ada kisah legenda nan sering diceritakan para pendaki Everest. Mereka bercerita tentang seorang laki-laki meninggal nan mereka sebut "Sepatu Boots Hijau" nan beberapa kali terlihat tergeletak di sebuah gua sekitar 1.130 kaki dari puncak Everest.
(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini: