ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kripto diklaim menjadi sasaran investasi di tengah situasi panas timur tengah nan mempengaruhi ekonomi dunia. Salah satunya adalah Bitcoin.
Vice President INDODAX, Antony Kusuma mengatakan di tengah memanasnya bentrok geopolitik antara Iran dan Israel serta kebijakan moneter ketat dari Federal Reserve (The Fed), Bitcoin tetap memperkuat di level US$ 104.000.
Sementara itu, nilai emas dunia justru tergelincir 2,5% dari nilai US$ 3.420 pada 13 Juni 2025 turun ke US$ 3.335 pada 20 Juni 2025, setelah The Fed memutuskan mempertahankan suku kembang tinggi dan memperlambat laju pemangkasan dalam beberapa tahun ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bitcoin (BTC) mencatat nilai penutupan di kisaran US$ 104.000 dalam beberapa hari terakhir, apalagi saat indeks saham dunia seperti Nasdaq mengalami tekanan dan inflasi kembali menjadi kekhawatiran utama. Ketegangan meningkat setelah mantan Presiden AS Donald Trump menyatakan mendukung rencana serangan ke akomodasi nuklir Iran, meskipun belum mengeluarkan keputusan final," terangnya dalam keterangan tertulis, Jumat (20/6/2025).
Antony menyebut, pelaku pasar condong mencari aset pengganti nan bisa memperkuat dari tekanan makro. Namun nan mengejutkan, nilai emas nan selama ini dikenal sebagai instrumen lindung nilai justru melemah.
Hal ini terjadi setelah The Fed mempertahankan suku kembang referensi di kisaran 4,25%-4,50% dan memberi sinyal bahwa penurunan suku kembang bakal dilakukan secara berjenjang hingga 2027, tergantung perkembangan info ekonomi dan inflasi.
Menurut dia, ketahanan Bitcoin dalam situasi penuh tekanan ini menunjukkan transformasi besar dalam pola pikir penanammodal dunia terhadap aset digital.
"Ini bukan sekadar soal harga. Ini tentang gimana pasar dunia sekarang mulai menempatkan Bitcoin sebagai salah satu poros dalam peta strategi aset dunia. Ketika bank sentral semakin bersikap ketat dan geopolitik makin tidak pasti, penanammodal mencari instrumen nan netral secara politik, terbuka, dan tidak bisa dimanipulasi. Bitcoin menjawab semua itu," ujar Antony.
Ia menambahkan bahwa tren investasi terhadap Bitcoin sekarang mulai menunjukkan pendekatan nan lebih matang.
"Kami memandang adanya peningkatan minat dari investor, termasuk sebagian institusi, nan tidak lagi hanya memandang Bitcoin sebagai instrumen spekulatif, tetapi juga sebagai pengganti lindung nilai di tengah ketidakpastian global," jelasnya.
Antony menekankan bahwa nilai Bitcoin tetap bisa dipengaruhi oleh sentimen pasar nan muncul akibat kebijakan moneter dunia alias ketegangan geopolitik.
"Namun, berbeda dengan mata duit fiat nan peredarannya bisa ditambah sesuai keputusan bank sentral, suplai Bitcoin berkarakter tetap, sehingga memberi nilai protektif terhadap inflasi jangka panjang," tambahnya.
Kondisi saat ini memperlihatkan realita bahwa instrumen-instrumen tradisional seperti emas bisa tertekan oleh kebijakan suku bunga, sementara Bitcoin justru bisa menunjukkan ketahanan dalam tekanan nan sama.
(hns/hns)