Catatan Lsi Denny Ja Untuk Prabowo: Bisa Jadi Bapak Pemberantasan Korupsi Indonesia

Sedang Trending 6 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com - LSI Denny JA memberikan catatan kepada Presiden Prabowo Subianto agar dikenang sebagai Bapak Pemberantasan Korupsi Indonesia. Menurut dia, Presiden Prabowo berulang kali berjanji bakal mengejar koruptor hingga ke Antartika hingga membangun penjara di pulau terpencil.

Tentunya, Denny JA mengatakan publik bakal menunggu langkah nyata Presiden Prabowo untuk menjalankan komitmennya itu dalam menindak tegas para koruptor. Adapun, Denny JA menyebut ada beberapa catatan nan kudu dilakukan Presiden Prabowo untuk mewujudkan komitmennya tersebut.

Pertama, kata dia, merevisi Undang-undangn agar balasan koruptor lebih berat ialah minimal 20 tahun penjara tanpa remisi hingga penjara seumur hidup. Kedua, menyita seluruh aset hasil korupsi, mengembalikannya kepada rakyat melalui disahkannya UU Perampasan Aset.

Ketiga, membangun sistem digitalisasi penuh dalam birokrasi, menutup celah suap dan permainan proyek. Keempat, memulai dengan kasus korupsi nan sekarang sedang nampak di depan mata seperti Pertamina. Tentu saja, kata dia, mafia minyak kudu diberantas hingga ke akarnya, termasuk politik oligarki nan selama ini ikut menerima untung dan melindungi mereka. 

“Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, dia mencuri masa depan bangsa. Jika Prabowo mau dikenang sebagai presiden nan membawa Indonesia melompat ke negara maju, maka Prabowo disyaratkan juga menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia,” kata Denny JA di Jakarta pada Senin, 17 Maret 2025.

Denny JA mengatakan ada beberapa perihal nan menghalang Indonesia, sehingga ada sejumlah catatan utama nan kudu diperbaiki dalam indeks tata kelola pemerintahan. Menurut dia, Prabowo bakal sukses membawa Indonesia menjadi negara maju jika dalam 5 tahun ini (2025-2029) dapat menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia, dan meningkatkan indeks tata kelola pemerintahan (GGI) dari 53,17 ke 70,00.

Pertama, korupsi merupakan luka nan tak kunjung sembuh. Sebab, kata dia, korupsi bukan sekedar kejahatan finansial tapi penyakit kronis nan merusak moral birokrasi dan perekonomian. Saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63). 

“Dari kasus mafia migas di Pertamina, suap dalam proyek infrastruktur, hingga skandal impor, korupsi telah merugikan negara triliunan rupiah setiap tahun. Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, Indonesia bakal terus kehilangan kepercayaan investor, pertumbuhan ekonomi bakal tersendat, dan kesejahteraan rakyat bakal tergadaikan,” jelas dia.

Kedua, efektivitas pemerintahan antara kebijakan dan realita. Saat ini, kata dia, efektivitas Pemerintahan Indonesia hanya 0,58, jauh tertinggal dari Singapura (2,32), Jepang (1,63), dan Korea Selatan (1,4). Kata dia, banyak kebijakan pemerintah nan disusun dengan baik di atas kertas, tetapi kandas diimplementasikan lantaran birokrasi nan tidak efisien, izin nan berbelit, serta minimnya akuntabilitas.

“Tanpa reformasi dalam efektivitas birokrasi, pembangunan bakal selalu tertinggal dari rencana. Rakyat nan semestinya mendapatkan faedah bakal terus terjebak dalam sistem nan berbelit-belit,” katanya lagi.

Ketiga, Demokrasi sebagai pilar transparansi dan akuntabilitas. Meskipun kerakyatan di Indonesia telah berkembang sejak era Reformasi, lanjut dia, tetap ada tantangan besar nan kudu dihadapi. Saat ini, Indeks Demokrasi Indonesia berada di nomor 6,53, lebih rendah dibanding Korea Selatan (8,4) dan Jepang (8,09).

Sistem kerakyatan nan sehat semestinya menciptakan kontrol atas kekuasaan, keseimbangan antara pelaksana dan legislatif, serta kebebasan pers dan civil society nan kuat. Namun, kata Denny JA, tantangan nan tetap dihadapi adalah politik duit tetap mengakar dalam pemilihan umum, minimnya transparansi dalam pengambilan kebijakan, dan politik tanpa oposisi nan berimbang.

“Jika kerakyatan hanya sekadar prosedural tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka kekuasaan bakal terus berputar di tangan oligarki, tanpa memberikan akibat nyata bagi rakyat,” ujarnya lagi.

Keempat, pembangunan manusia dengan mensejahterakan rakyat. Negara nan kuat tidak hanya dinilai dari pertumbuhan ekonominya, tetapi juga dari seberapa baik dia membangun kualitas hidup warganya. Saat ini, indeks pembangunan manusia (HDI) indonesia hanya 0,713, tertinggal jauh dari Singapura (0,949), Korea Selatan (0,929), dan Jepang (0,920). 

Kata dia, ketimpangan dalam akses pendidikan dan jasa kesehatan tetap menjadi masalah serius, di mana anggaran pendidikan tetap belum bisa mengejar kualitas negara-negara Asia nan maju. 

“Jaminan kesehatan belum merata untuk semua warga. Disparitas ekonomi antara kota dan desa tetap sangat besar. Jika pembangunan manusia tidak menjadi prioritas, pertumbuhan ekonomi hanya bakal dinikmati oleh segelintir elit, sementara kebanyakan rakyat tetap tertinggal,” kata Denny JA.

Halaman Selanjutnya

Pertama, korupsi merupakan luka nan tak kunjung sembuh. Sebab, kata dia, korupsi bukan sekedar kejahatan finansial tapi penyakit kronis nan merusak moral birokrasi dan perekonomian. Saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63). 

Halaman Selanjutnya

Selengkapnya