ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan tengah mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menunjuk sejarawan senior dari Universitas Indonesia (UI), Susanto Zuhdi, sebagai ketua tim pelaksana proyek tersebut.
Tim nan dipimpin Susanto Zuhdi beranggotakan lebih dari 100 orang, terdiri dari sejarawan, arkeolog, dan master lainnya. Tim ini bakal mengerjakan sekitar 10 jilid kitab sejarah nan diperbarui alias ditulis ulang dan ditargetkan selesai pada Agustus tahun ini, sebagai bingkisan seremoni kemerdekaan ke-80 RI.
CNNIndonesia.com mewawancara Susanto Zuhdi di tengah kesibukan proyek penulisan ulang sejarah RI. Dia bicara soal urgensi penulisan ulang sejarah RI, makna krusial sejarah resmi (official history), hingga tema sensitif mengenai gimana kitab nan sedang digarap ini menuliskan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Berikut wawancara komplit dengan Susanto Zuhdi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bisa ceritakan latar belakang sampai akhirnya Anda ditunjuk memimpin proyek penulisan ulang sejarah resmi ini?
Sebetulnya kemauan untuk menulis ulang, menulis kembali alias memutakhirkan perjalanan sejarah nasional kita ini sudah cukup lama. Kami sebagai personil Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), teman-teman itu sudah istilahnya, berkeinginan, sudah lama kita punya perkembangan [sejarah], penelitian baru. Sejarawan nan selesai dari S2, S3, baik dari dalam maupun luar negeri, itu kan sudah menambah banyak pengetahuan kita tentang sejarah kita.
Kalau kita kilas balik, kitab sejarah nan terakhir kita terbitkan itu namanya IDAS, Indonesia Dalam Arus Sejarah, itu delapan jilid. Itu kitab kedua sesudah Sejarah Nasional Indonesia (SNI) nan tahun 1976. Itu tetap berjalan, tetap dipakai itu dan tetap ada pemutakhiran, tapi tidak di dalam kerangka konseptual nan baru, hanya nambah lagi, nambah lagi. Jadi jika Anda perhatikan, Anda ikuti jilid 6 dari SNI itu tambah tebal saja, padahal itu berapa periode, berapa era dijadikan satu. Tanpa konsep, hanya menambah, jadi memang pemutakhiran. Sedangkan nan kita mau tulis ini dengan kerangka baru konsep, tetapi lebih bakal kita tekankan peran utama bangsa Indonesia itu mengambil porsi nan lebih dalam perjalanan bangsa menentukan alias membentuk identitasnya.
Jadi akhirnya sejalan, makanya, begitu ada Kementerian Kebudayaan kemudian ada Direktorat Sejarah lagi. Nah sekarang Ketua MSI ini adalah seorang Direktur [Jenderal Sejarah], nan sekaligus dikasih tugas oleh Menteri 'sudah, Anda nan punya ide,'. Jadi, disambutlah.
Sejarawan memerlukan tempat ekspresi untuk menulis kembali, lantaran dengan banyaknya temuan-temuan itu, singkatnya kemudian saya dihubungi, barangkali saya satu di antara sejarawan senior lah, jika boleh dibilang begitu. Itu akhir tahun lalu, Oktober, November. Ya, seperti gayung bersambut aja, terus bersedia, lah. Ini kan tugas dari pemerintah, dalam perihal ini negara memanggil untuk menulis sejarah bangsa kita sendiri...
Bagaimana pengarahan Menteri Fadli mengenai ini? Apakah ada pembicaraan mendalam nan juga melibatkan Presiden Prabowo dalam rencana penulisan ulang sejarah ini?
Enggak ada arahan, hanya gimana tema reinventing Indonesian identity itu dibuktikan. Jadi, kita mau memandang kebanggaan bangsa dalam sejarah ini apa sih? Ya, 50 ribu tahun nan lampau itu, nenek moyang kita itu bisa membuktikan memang mereka orang pelaut. Jadi, kebanggaan-kebanggaannya. Itu memang sudah kita rencanakan lama. Jadi penyelenggaraan dari pemerintah, buahpikiran itu sama sekali kita nan merumuskan. Masa kudu didikte. Sejarawan dengan metodologinya, dengan metodenya, bakal menulis sebagaimana nan bakal kami lakukan.
Pak Fadli bilang penulisan sejarah ulang ini mulai dari prasejarah, kemerdekaan, sampai dengan sejarah kontemporer. Kok bisa sejarah ditulis ulang? Bagaimana metode penyusunannya, Prof?
Jadi sederhananya, bahan kita bertambah, maka konstruksinya juga berubah. Berubah ke arah mana? Ya, sejarah nan bakal menjelaskan. Perjalanan kita berdemokrasi, misalnya. Cuma ke arah mana nih kerakyatan kita? Kita pelajari. Nanti mahir politik menunjukkan. Jadi pengertiannya itu ya dengan bertambahnya waktu, bertambahnya pengalaman, bertambah pula sejarah suatu bangsa. Nah, sejarawan mencatat, menuliskannya dalam corak tesis, disertasi. Banyak gitu, kita tinggal pakai aja. Mereka nan pulang dari Belanda, Amerika, ada nan baru pulang dari Inggris. Empat penulis ini tetap di luar negeri. Jadi ya kita upayakan, lah, sebaik mungkin, selengkap mungkin.
Tentu enggak semua sejarah, lantaran jika semua masuk ya mau berapa jilid itu. Nanti kita bikin tema-tema baru lagi selain ini. Harusnya sih tidak pemerintah lagi, harusnya lembaga-lembaga nan lain, perguruan tinggi dan sebagainya. I Jadi tanpa kitab ini, sebenarnya kitab sejarah itu sudah banyak. Bahan-bahan itu mau kita himpun ke dalam suatu katakanlah tema nan lebih komprehensif, namanya Sejarah Nasional Indonesia.
Semua bangsa itu punya, punya sejarah nasionalnya. jadi memang kudu terus baru, lantaran ada temuan baru, ada perspektif baru, Ada penggalian-penggalian baru para arkeolog. Kita kan tuh berasas riset, kita sampaikan pada masyarakat, pada publik. Begini, loh, nan sudah kita punya pengalaman masa lampau nan kita tuliskan.
Kita bekerja dari data, info dari mana, dari sumber-sumber. Sejarawan itu kritis banget seputar sumber-sumber. Dia punya pengertian sumber primer itu apa, sumber sekunder itu apa. Kita bakal cari sumber primer. Ilmu sosial itu beda dengan kami, untuk menafsirkan sumber primer sumber sekunder apa, kadang beda. Kalau kami, nan namanya otentik ya mana arsipnya? Tidak bisa kata orang, kata itu. Kalau enggak lihat arsipnya, kita enggak berani tulis. Nanti mungkin ada perihal nan kok belum berani perincian ditulis ya? Nanti, di periode kontemporer, itu sejarah tetap pembentukan, history in the making namanya. Enggak bisa, belum ada info nan mapan ya, kita belum bisa. Jadi, sejarawan itu cukup sabar untuk menulis sesuatu sampai info kebenaran itu lengkap. Tapi jika diminta menulis juga, barangkali berupa kronik, data, namanya itu hard fact, info keras saja.
Jadi bukan menulis sejarah Indonesia dari nol?
Kira-kira begini, ya. Data kami itu, kami usahakan baru. Jadi ada komparasi. Kan, enggak mungkin sama sekali baru juga. Justru nan lama seperti apa, nan baru seperti apa, agar kesinambungan sejarah juga berlangsung. Ini emang terminologi-terminologi agak teknis. Kalau bukan sejarawan repot. Memahaminya saja beda. Merevisi lah, meluruskan lah. Enggak, enggak meluruskan. Nanti ada nan merasa bengkok. Kita mau dudukkan. Kita mau lengkapi. Kita mau sambung-sambungkan. Nah itu kan teori nanti. nan dulu ada tapi belum kuat, pakai teori apa? Jembatannya apa? Merajut Indonesia ini dengan narasi sejarah itu seperti apa?
Kalau anatomi tubuh kira-kira ototnya, tulang-tulang, kerangka itu kita perkuat lagi. Mesti sudah ada dong, tubuh Indonesia ini secara struktur. Cuma, 'ah di sana belum masuk tuh. Ini belum kuat. Masa Indonesia timpang. Kok Indonesia hanya berat ke Jawa aja. Ke bagian barat aja. Timur bagaimana? Kan Indonesia juga'.
Jadi sebetulnya kami ini Ditantang sekali itu. Untuk menggambarkan bangunan Indonesia melalui sejarah, melalui narasi itu. Itu langkah kerjanya begitu.
Bagaimana proses pengumpulan tim sejarawannya dan struktur tim penulisan ulang sejarah ini? Menteri Kebudayaan apakah masuk struktur?
Kita kan punya jaringan, jadi enggak susah-susah. Kan, punya MSI tadi, Masyarakat Sejarawan Indonesia nan jaringannya sampai daerah. Bahkan itu tadi, banyak nan terpaksa enggak bisa diajak lantaran pertama keahliannya, periodenya itu sudah kumpul, selain jika periode nan tetap jarang biasanya kita rekrut lagi, mungkin kita bakal tambah, barangkali, sesuai kebutuhan.
Menteri Kebudayaan mengeluarkan SK aja. Fadli menulis SK, menunjuk panitia, ada pengarah Taufiq Abdullah, Mukhlis Paeini, Nina Lubis, Bambang Purwanto, lampau turun ke kami, kami turun lagi ke penyunting jilid. Editor jilid merekrut teman-temannya dari biasanya pertemanan.
Pengarah itu sejarawan senior, Taufik Abdullah, Mukhlis Paeni. Editor Umum ada saya Susanto Zudi, Guru Besar Undip Profesor Singgih Tri Sulistiyono, Profesor dari UIN Jajat Burhanuddin. Nanti dari 10 jilid itu, ada 2 orang penyunting jilid [tiap jilid]. Jadi ada 20 orang, 23 berfaedah dengan kami. masing-masing jilid itu mungkin sekitar 10-12 orang, jika dikali 10 ada 120-an penulisnya, itu menyebar mulai dari pengajar Unsyiah Aceh sampai pengajar Universitas Cenderawasih di Papua, mulai dari utara Universitas Sam Ratulangi sampai Universitas Udayana.
Menteri Fadli menargetkan rampung sebelum di 17 Agustus sebagai bingkisan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Apa bisa memenuhi sasaran lantaran 10 jilid ini cukup banyak?
Targetnya 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia itu mau dicanangkan sebagai hadiah. Memang, mula-mula kami terus terang keberatan dalam waktu separuh tahun lebih lah ya, kurang lebih, tapi ya kita lampau sampaikan kepada teman-teman, 'gimana ini strategi untuk bisa menulis'. 'Oh begini'. ini kan sebetulnya buat teman-teman nan sudah nulis itu bukan baru, dia udah punya stok. Kemarin ada yang bikin disertasinya, ini contoh aja, ada nan menulis itu tentang sejarah Iptek, jadi mulai Mipi menjadi LIPI, jadi LAPAN, macam-macam, itu baru aja ahli dia, ya udah pindahin aja itu chapternya kan begitu. Siapa lagi nih nan baru pulang dari Belanda, nulis apa, itu begitu caranya.
Jadi kenapa kita berani dari nekat ke tekad itu lantaran kita tulis nan kita sudah punya. Dan tim itu ya, jika kita lagi kerja, ada tim pencari info di setiap jilid itu, anak-anak S1 nan baru fresh graduate itu kita tugasin ada nan cari di perpustakaan nasional di Arsip. Kami juga baru dapat arsip baru, surat-surat Sukarno pada Ratna Sari Dewi, seputar 65, bakal kita buka. Tapi jangan dikasih tahu sekarang, jadi enggak surprise.
Apa rampung 10 jilid? Insya Allah, doakan saja.
Pak Fadli sempat menyebut bahwa Indonesia memerlukan official history alias sejarah resmi. Apa makna official history? Apakah penulisan ulang sejarah ini bakal dianggap sebagai official history?
Ada beberapa pengertian. Official history itu pekerjaan nan diselenggarakan oleh pemerintah, anggarannya dari pemerintah, tapi kan duit rakyat juga. Dua kitab (SNI dan IDAS) sebelumnya juga dari pemerintah. Kita belum punya kemampuan. Suatu saat, semestinya nan menulis sejarah ini lembaga-lembaga di luar pemerintah, mungkin lebih baik. Tapi kan untuk tujuan pendidikan, pemerintah tetap turun tangan, tapi dalam pekerjaannya ya kita pakai metodologi pengetahuan kita.
Dan bahwa sejarah itu kelak ada interpretasi, itu biasa aja, kelak perbaiki lagi, revisi lagi, tulis ulang lagi. Jadi kami ini bakal ditulis ulang lagi pada generasi berikut. Menulis sejarah itu memang berulang, ditambah lagi, dilihat lagi sana-sini.
Apa pentingnya sejarah resmi untuk sebuah negara?
Intinya untuk kebijakan. Dia membikin program-program dalam kebudayaan, dalam karakter bangsa, dalam civic education. Bangsa Amerika juga bikin. Jepang juga. Jepang mana diajarin dia menjajah kita? Tapi Korea pernah protes. Jadi, pelajaran di Jepang itu enggak diajarin ketika Jepang menjajah Korea. Apa dia menggelapkan kebenaran sejarah? Untuk tujuan itu, ya dia bilang enggak. Dia kan mau ngajarin anak-anak mereka.