As Klaim Banyak Pemimpin Houthi Tewas Dalam Serangan Ke Yaman

Jakarta, detikai.com --

Amerika Serikat (AS) menyatakan banyak pemimpin Houthi yang tewas dalam serangan mereka ke Yaman kemarin. Namun, tak diumumkan siapa saja korban tewas tersebut.

Kemarin, Gedung Putih juga memberi peringatan kepada Iran untuk berakhir mendukung golongan pemberontak itu dan serangannya terhadap pengiriman peralatan di Laut Merah.

"Serangan udara Sabtu sebenarnya menargetkan banyak pemimpin Houthi dan menghabisi mereka," kata Penasihat Keamanan Nasional Michael Waltz kepada ABC News.

"Kami baru saja menyerang mereka dengan kekuatan nan sangat besar dan memberi peringatan kepada Iran bahwa sudah cukup," katanya dalam wawancara lain berbareng Fox News.

Ia juga menegaskan kembali peringatan semua opsi tersedia untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.

Serangan AS Sabtu kemarin menjadi serangan perdana AS di bawah pemerintahan Donald Trump terhadap milisi Houthi di Yaman.

Kementerian Kesehatan Yaman mencatat serangan AS itu menewaskan sedikitnya 31 orang dan melukai 101 orang lainnya.

Houthi nan didukung Iran, menguasai sebagian besar Yaman selama lebih dari satu dekade. Kelompok ini dengan tegas menentang Israel, serta mengatakan serangan mereka terhadap pengiriman di Laut Merah itu sebagai protes atas agresi Israel di Gaza, Palestina.

Sabtu kemarin, Trump juga menulis peringatan panjang kepada Houthi dalam unggahan di media sosial miliknya, Truth Social.

Ia mengumumkan serangan terbaru sekaligus memperingatkan Houthi untuk berakhir mengganggu pengiriman barang. Pesan itu ditulis dengan menggunakan huruf kapital.

"SERANGAN ANDA HARUS DIHENTIKAN, MULAI HARI INI. JIKA TIDAK, NERAKA AKAN MENGHUJAN ANDA DENGAN CARA YANG BELUM PERNAH ANDA LIHAT SEBELUMNYA!" tulisnya.

Bulan lalu, dia juga mengirim surat kepada pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, nan mengusulkan perundingan nuklir. Trump mengatakan jika tidak ada kesepakatan, masalah tersebut dapat ditangani 'secara militer'.

Teheran merasa jengkel dengan usulan tersebut, dengan mengatakan Irab tidak bakal bermusyawarah saat diancam.

(pta)