ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Sekitar 40 juta kilometer persegi alias lima kali ukuran Benua Australia wilayah laut di area Asia Tenggara dan Pasifik mengalami gelombang panas laut sepanjang 2024. Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Laporan berjudul State of the Climate itu mencatat bahwa suhu rata-rata area meningkat 0,48 derajat Celsius dibandingkan periode referensi 1991-2020. Kenaikan suhu ini diiringi sejumlah musibah cuaca ekstrem, seperti longsor di Filipina, banjir di Australia, dan mencairnya gletser di Indonesia.
"Kenaikan permukaan laut menjadi ancaman eksistensial bagi negara-negara kepulauan," ujar Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo, dilansir The Guardian, Jumat (6/6/2025). "Kita nyaris kehabisan waktu untuk membalikkan keadaan."
Menurut WMO, kenaikan permukaan laut di wilayah tersebut mencapai nyaris 4 milimeter per tahun, lebih tinggi dari rata-rata dunia sebesar 3,5 milimeter.
Gelombang panas nan melanda lautan juga menyebabkan peristiwa pemutihan karang massal kelima di Great Barrier Reef, Australia, sejak 2016. WMO menyebut peristiwa ini sebagai akibat langsung dari panas ekstrem di permukaan laut.
Beberapa musibah besar lain nan tercatat dalam laporan tersebut meliputi banjir dan longsor di Filipina pada Januari dan Februari nan menewaskan sedikitnya 93 orang serta suhu tinggi di Australia pada Agustus nan memecahkan rekor musim panas.
Ada juga banjir besar di Singapura dan Malaysia nan menyebabkan 137.000 orang mengungsi dan enam korban jiwa, banjir bandang di Sumatra dan Australia utara pada awal 2024.
Selain itu, ada kehilangan es di Papua, Indonesia, nan diperkirakan bakal mencair seluruhnya pada 2026, dua belas siklon tropis melanda Filipina nan menyebabkan kerugian sebesar US$430 juta, dan musim salju di Australia berhujung lebih sigap dari biasanya.
Direktur WMO untuk Asia-Pasifik, Ben Churchill, menyatakan bahwa temuan ini menjadi peringatan kuat bagi dunia. "Laporan ini menunjukkan kita menghadapi kejadian-kejadian nan belum pernah terjadi sebelumnya," katanya.
Pada Januari, April, Mei, dan Juni 2024, nyaris seluruh wilayah laut Asia Tenggara mengalami gelombang panas dengan tingkat sedang hingga tinggi. Akibatnya, banyak jenis laut mengalami stres termal.
"Jika suhu melewati periode pemisah tertentu, organisme tidak bisa bertahan-mereka bisa pindah alias mati," ujar Asisten Profesor Alex Sen Gupta dari University of New South Wales.
Sen Gupta menambahkan bahwa lonjakan suhu laut nan dimulai 2023 belum sepenuhnya bisa dijelaskan. "Kami tetap berupaya memahami kenapa lonjakannya sangat besar."
Laporan ini memperkuat seruan organisasi ilmiah bakal perlunya tindakan suasana nan lebih sigap dan tegas, khususnya di wilayah Asia-Pasifik nan sangat rentan terhadap akibat perubahan iklim.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pemerintah Susun Peta Jalan AI, Potensi Lokal Bakal Terangkat
Next Article Ilmuwan Temukan Tanda Kiamat Terbaru, Manusia Terancam Punah