Upaya Pemerintah Pensiunkan Pltu Dinilai Masih Setengah Hati, Ini Penjelasannya

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Kebijakan ini dinilai dapat menjadi payung norma dan landasan dalam percepatan pensiun awal PLTU. Namun sejumlah substansi beleid itu perlu dikritisi agar transisi daya tidak melangkah separuh hati.

Policy Strategist CERAH Sartika Nur Shalati mengatakan dalam Permen tersebut sejumlah perihal tetap menjadi catatan dan perlu segera diperbaiki pemerintah. Salah satunya, sebagai peta jalan transisi energi, izin ini justru belum merinci total kapabilitas dan PLTU mana saja nan bakal dipensiunkan lebih cepat.

Sartika mengatakan, Permen 10/2025 mensyaratkan dilakukannya kajian dan menerapkan sederet kriteria penilaian untuk menentukan PLTU nan bakal disuntik mati. Penilaian tersebut di antaranya kapabilitas dan usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca PLTU, nilai tambah ekonomi, serta kesiapan support pendanaan dan support teknologi dalam negeri dan luar negeri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, penghentian operasi PLTU juga kudu mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, akibat kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif tenaga listrik, dan penerapan aspek Transisi Energi berkeadilan.

"Artinya, pensiun awal PLTU berkarakter conditional lantaran bakal dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek di atas. Permen ESDM ini semestinya memuat daftar PLTU nan bakal dipensiunkan, mengingat sudah banyak kajian nan dilakukan mengenai PLTU nan dapat dipensiunkan lebih awal," kata Sartika dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025).

Sartika mengatakan, Permen tersebut juga memproyeksikan penghentian berjenjang (phase down) operasional PLTU. Padahal, saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen penghentian menyeluruh (phase out) PLTU dalam 15 tahun alias pada 2040.

"Artinya, Permen 10/2025 tidak mencantumkan tenggat waktu kapan seluruh PLTU berakhir beroperasi," katanya.

Policy Strategist CERAH, Wicaksono Gitawan menambahkan kriteria nan dipakai dalam pensiun awal PLTU semestinya bisa lebih jelas lagi. Pasal 12 beleid tersebut misalnya, belum mengatur secara jelas langkah nan bakal dilakukan jika kajian nan diwajibkan untuk proses percepatan pensiun awal PLTU melebih pemisah waktu enam bulan. Padahal, molornya pengerjaan kajian bakal berakibat pada keseluruhan proses dan berisiko menunda agenda penghentian operasi PLTU.

"Selain itu, aspek Transisi Energi Berkeadilan nan ditonjolkan dalam Pasal 11 belum dielaborasi lebih lanjut. Dengan berat hanya sebesar 10,1% dalam kriteria hasil analytical hierarchy process untuk pemilihan PLTU, pemerintah perlu menjelaskan kerangka Transisi Energi Berkeadilan seperti apa nan digunakan," Wicaksono menjelaskan.

Lebih lanjut, Wicaksono mengatakan, beragam teknologi transisi daya nan dipilih pemerintah dalam Permen tersebut justru bertentangan dengan cita-cita pemangkasan emisi. Hal ini lantaran tetap membuka kesempatan retrofit PLTU dengan beragam teknologi, seperti pembakaran berbareng batu bara dengan biomassa, hidrogen, dan amonia (co-firing) hingga penangkapan karbon (carbon capture and storage/CCS).

Langkah tersebut mengindikasikan PLTU tetap bakal tetap beraksi dan membakar batu bara hingga 2060, nan berfaedah tetap bakal menghasilkan emisi karbon. Selain itu, secara global, pemasangan CCS pada PLTU batu bara tetap sedikit dan sebagian berhujung kandas lantaran tidak dapat menyerap karbon hingga 100%.

"Dengan tujuan menurunkan gas rumah kaca (GRK), proyeksi sistem ketenagalistrikan dalam Permen 10/2025 tetap sama dengan apa nan ada dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, ialah tetap mempromosikan solusi palsu. Langkah ini berisiko bagi Indonesia, lantaran berpotensi kandas memangkas emisi dan dapat terjebak dalam dalam krisis suasana nan lebih buruk," katanya.

Melalui Permen 10/2025, pemerintah juga justru memilih teknologi berbiaya mahal dalam transisi energi, seperti nuklir dan CCS. Langkah ini dapat membebani finansial negara melalui skema subsidi, ataupun berpotensi memberatkan rakyat dengan meningkatnya tarif listrik.

(rrd/rrd)

Selengkapnya