Trump Bekukan Media Voa, Staf Dipaksa Cuti Dan Dilarang Kerja

Sedang Trending 6 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membekukan anggaran lembaga penyiaran dan media pemerintah termasuk Voice of America (VOA) sebagai akibat kebijakan efisiensi besar-besarannya nan terus meluas.

Pembekukan anggaran ini menjadikan ratusan wartawan VOA dan media lain nan didanai pemerintah dalam status libur paksa dan operasional berhenti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ratusan staf di VOA, Radio Free Asia, Radio Free Europe, dan media lainnya menerima email di akhir pekan nan menginstruksikan mereka untuk tidak memasuki kantor, serta mengembalikan kartu pers dan peralatan kerja nan dikeluarkan kantor.

Pada Jumat, Trump mengeluarkan perintah pelaksana nan mencantumkan US Agency for Global Media sebagai bagian dari "birokrasi federal nan dianggap presiden tidak lagi diperlukan."

Gedung Putih mengatakan bahwa pemotongan biaya ini bermaksud memastikan "pajak rakyat tidak lagi digunakan untuk propaganda radikal," menandai perubahan sikap drastis terhadap jaringan media nan selama ini berfaedah memperluas pengaruh AS di luar negeri.

Padahal, VOA dan media pemerintah AS lainnya itu telah berdiri puluhan tahun sebagai perangkat melawan propaganda Rusia dan China.

Pejabat pers Gedung Putih, Harrison Fields, menulis kata "selamat tinggal" dalam 20 bahasa di X, sindiran terhadap liputan multibahasa nan disiarkan oleh media-media tersebut.

Sementara itu, dikutip AFP, Direktur VOA, Michael Abramowitz, membenarkan bahwa dia termasuk di antara 1.300 staf nan terkena libur paksa pada Sabtu.

"VOA memang memerlukan reformasi nan matang, dan kami telah membikin kemajuan ke arah itu. Namun, tindakan hari ini bakal membikin VOA tidak dapat menjalankan misinya nan sangat penting," tulisnya di Facebook.

Ia mencatat bahwa liputan VOA yang terdiri dalam 48 bahasa telah menjangkau 360 juta orang setiap minggunya.

Salah satu pegawai VOA, nan meminta anonimitas, menggambarkan pengumuman pada Sabtu itu sebagai "contoh sempurna dari kekacauan dan ketidaksiapan proses ini," di mana staf VOA hanya bisa berasumsi bahwa siaran mereka dibatalkan, tetapi tidak mendapat pemberitahuan resmi.

Presiden Radio Free Europe/Radio Liberty, Stephen Capus, nan pertama kali mengudara ke negara-negara Blok Soviet selama Perang Dingin, menyebut penghentian pendanaan ini sebagai "hadiah besar bagi musuh-musuh Amerika."

"Para Ayatollah Iran, pemimpin Partai Komunis China, serta para otokrat di Moskow dan Minsk pasti bakal merayakan kehancuran RFE/RL setelah 75 tahun," ujar  Capus dalam sebuah pernyataan.

Seorang pegawai Radio Free Asia mengatakan ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan. Ia mengatakan Radio Free Asia memiliki staf dan kontraktor nan berada di negara bentrok nan sekarang resah bakal keselamatan mereka.

"Mereka sekarang cemas bakal keselamatan sendiri. Kami mempunyai reporter nan bekerja secara diam-diam di negara-negara otoriter di Asia. Kami juga punya staf di AS nan cemas dideportasi jika visa kerja mereka tidak lagi berlaku," ucapnya.

"Menghapus keberadaan kami hanya dengan goresan pena adalah sesuatu nan sangat mengerikan."

Kelompok pembelaan Reporters Without Borders mengecam keputusan Trump ini. Kelompok itu menyatakan bahwa langkah tersebut "mengancam kebebasan pers di seluruh bumi dan meniadakan 80 tahun sejarah AS dalam mendukung arus info nan bebas."

(rds)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya