ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman meminta masukan masyarakat mengenai penyusunan RUU KUHAP agar bisa betul-betul jadi produk norma nan bisa memfasilitasi proses penegakan norma nan berkeadilan.
"Kami minta masukan dari masyarakat dan draft RUU KUHAP bisa diunduh di situs DPR RI alias dimintakan ke Sekretariat Komisi III DPR RI. Segala corak masukan bisa disampaikan langsung melalui Sekretariat Komisi III DPR RI," ujar politisi Partai Gerindra ini dalam keterangannya, Kamis 17 April 2025.
Dia menyatakan ada urgensi untuk mengganti KUHAP nan bertindak saat ini, bukan hanya lantaran kudu menyesuaikan KUHAP sebagai norma formil nan sudah bertindak lebih 44 tahun dengan KUHP baru nan bakal bertindak Januari 2026, tetapi memang lantaran banyak perihal nan perlu diperbaiki dalam KUHAP. Keluhan terbesar dari KUHAP nan bertindak saat ini adalah soal minimnya perlindungan kewenangan tersangka dan minimnya peran advokat.
"Akibatnya banyak terjadi penahanan sewenang-wenang apalagi penyiksaan dalam penahanan," paparnya.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Habiburokhman menilai ada beberapa poin pengaturan baru dalam RUU KUHAP sebagai perbaikan terhadap KUHAP nan bertindak saat ini.
Pertama, dalam RUU KUHAP nan baru bakal memperkuat dan mengakomodir perlindungan terhadap kewenangan tersangka khususnya dalam BAB VI tentang Tersangka dan Terdakwa (Pasal 50-Pasal 68). Salah satu corak perlindungan kewenangan tersebut tertuang dalam Pasal 52 tentang kewenangan tersangka dalam memberikan keterangan dalam pemeriksaan di tingkat investigasi dan pengadilan secara bebas.
"Karena meskipun telah diatur, dalam beberapa kasus seringkali tersangka mendapat intimidasi dan perlakuan nan tidak sesuai oleh oknum-oknum tertentu sehingga membikin merekamemberikan keterangan dengan tidak bebas alias dengan paksaan," katanya.
Dikatakan, selama ini pengaturan nan condong sangat umum dan luas seringkali menjadi halangan penyelenggaraan perlindungan kewenangan terhadap tersangka.
"RUU KUHAP datang melengkapi kekurangan nan sebelumnya menjadi gejolak di masyarakat berangkaian dengan perlindungan kewenangan tersangka. Bahkan ketentuan perlindungan hak-hak tersangka diatur ke dalam BAB VI khususnya pada Bagian Kesatu tentang Hak Tersangka dan Terdakwa. Jika saat ini hak-hak tersangka sangat minim diakomodir dalam KUHAP, maka RUU KUHAP melalui Pasal 134 mengatur lebih terperinci menjadi 17 jenis hak," katanya.
Dia menuturkan dengan diaturnya hak-hak bagi tersangka secara lebih komprehensif dan mendetail menjadikan ketentuan ini lebih implementatif. Beberapa corak hak-hak baru seperti mendapat pendampingan advokat sejak awal pemeriksaan (termasuk rekaman pemeriksaan untuk transparansi), kewenangan mengakses berkas pemeriksaan, dan kewenangan mengusulkan sistem keadilan restoratif. RUU KUHAP mengatur pelindungan kewenangan tersangka secara lebih perincian dan progresif, menjamin akses advokat sejak dini, transparansi dalam proses pemeriksaan, serta mengutamakan penyelesaian perkara dengan sistem keadilan restoratif.
Politisi partai Gerindra ini menambahkan dalam RUU KUHAP baru juga mengatur advokat dengan nomenklatur penasihat hukum.
Beberapa ketentuan mengenai peran penasihat norma dalam proses peradilan pidana sebagaimana diakomodir dalam KUHAP tetap condong minim sebagaimana dalam BAB VII tentang Bantuan Hukum (Pasal 69 - Pasal 74).
Pengaturan mengenai advokat dalam KUHAP memang condong terbatas hanya pada kewenangan pendampingan tersangka, mengakses berkas, dan menghadiri sidang, sehingga menjadikan advokat condong pasif dalam melaksanakan tugas profesinya nan semestinya setara dengan abdi negara penegak norma lainnya.
"Sementara itu, RUU KUHAP secara unik menempatkan advokat sebagai salah satu penegak norma nan peranannya sangat diatur lebih komprehensif dalam BAB VIII tentang Advokat dan Bantuan Hukum (Pasal 140 - Pasal 146)," jelasnya.
Selain diatur secara unik dalam ketentuan tersebut, tambahnya, penguatan advokat juga bisa dilihat dalam Pasal 33 nan mengatur ekspansi peran advokat dari pasif menjadi lebih aktif sebagai penasihat hukum, selain memandang dan mendengar juga dapat menjelaskan dan menyatakan keberatan.
"Kewenangan ini merubah laman 2 dari 6 paradigma advokat nan dulunya berkarakter pasif dalam mendampingi pengguna di setiap tingkat pemeriksaan menjadi lebih aktif dan berkedudukan langsung untuk memihak pengguna saat diperiksa. Hal ini sekaligus memberi kesempatan advokat untuk intervensi langsung terhadap pemeriksaan klien. Meskipun di beberapa kasus ini lumrah terjadi, namun dengan adanya ketentuan ini, makin banyak advokat nan dengan perannya tersebut dapat berkedudukan aktif dalam pemeriksaan," lanjutnya.
Habiburokhman menyebut selama ini dalam KUHAP belum mengatur secara jelas tentang parameter seorang dapat ditetapkan menjadi tersangka. Pasal 1 nomor 14 hanya mengatur secara umum tentang seorang tersangka nan lantaran perbuatannya berasas bukti permulaan nan cukup patut diduga sebagai pelaku.
Belum diaturnya tentang bukti permulaan nan dimaksud membikin akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 21/PUU-XII/2014 menafsirkan bukti permulaan sebagai minimal 2 perangkat bukti.
Menurutnya, ketiadaan syarat dan parameter nan jelas tentang penetapan tersangka ini menjadikan implementasinya dinilai multi interpretasi. Maka RUU KUHAP mengakomodir parameter nan jelas tentang penetapan seorang menjadi tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 85 dan Pasal 86.
Beberapa pengaturan baru mengenai syarat penetapan tersangka kudu memenuhi minimal 2 perangkat bukti, larangan mengumumkan penetapan tersangka ke publik alias mengenakan atribut bersalah (kecuali kasus keamanan negara), dan pengaturan tentang tanggungjawab memberitahukan penetapan ke tersangka dalam waktu 1 hari.
Selain itu, Pasal 22 ayat (2) mengatur ketentuan baru tentang dimungkinkannya peralihan status tersangka menjadi saksi mahkota untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain.
"Dengan kata lain, RUU KUHAP ini menekankan pada asas prasangka tak bersalah dan melindungi reputasi seorang ketika dirinya ditetapkan menjadi tersangka," tutur Habiburokhman.
Wakil Ketua Bidang Advokasi & Hukum DPP Partai Gerindra ini menyatakan dalam KUHAP lama Pasal 21 menjelaskan tentang 2 syarat seorang dapat ditahan; yaitu, syarat subjektif berupa kekhawatiran tersangka melarikan diri, dan syarat objektif bahwa tindak pidana nan diancamkan minimal 5 tahun alias lebih.
Syarat subjektif tentang kekhawatiran bakal melarikan diri seringkali berpotensi disalahgunakan. Hal ini lantaran belum adanya parameter nan jelas tentang penerapan syarat tersebut selain atas dasar penilaian sendiri dari penegak norma nan pada akhirnya menakut-nakuti kewenangan seorang nan diduga melakukan tindak pidana.
"RUU KUHAP nan baru mengatur parameter nan jelas mengenai syarat penahanan secara perincian nan dapat meminimalisir adanya kesewenang-wenangan oknum abdi negara penegak hukum. Ketentuan tersebut diakomodir dalam Pasal 93 ayat (5), ialah didasarkan pada minimal 2 perangkat bukti nan sah jika tersangka seperti mengabaikan panggilan Penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa argumen nan sah, memberikan info tak sesuai fakta, tidak bekerja sama dalam pemeriksaan, menghalang proses pemeriksaan, berupaya melarikan diri serta berupaya merusak dan menghilangkan peralatan bukti dan sebagainya," katanya.
Selain itu, RUU KUHAP nan baru juga bakal memberi perlindungan pada golongan rentan. "Saat ini, keberadaan golongan rentan dalam KUHAP memang belum diakomodir, sedangkan RUU KUHAP mengakomodir golongan rentan guna dilindungi hak-haknya dalam peradilan pidana. Selain itu RUU KUHAP yang baru juga bakal mengakomodir prosedur penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif," katanya.
Halaman Selanjutnya
"Karena meskipun telah diatur, dalam beberapa kasus seringkali tersangka mendapat intimidasi dan perlakuan nan tidak sesuai oleh oknum-oknum tertentu sehingga membikin merekamemberikan keterangan dengan tidak bebas alias dengan paksaan," katanya.