ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menyampaikan kebanyakan maskapai penerbangan tidak meminta perubahan tarif pemisah atas (TBA) tiket pesawat namalain tidak naik.
Namun, ada satu maskapai penerbangan nan meminta perubahan TBA tiket pesawat. Maskapai apa?
"Sekarang mereka nggak mau patokan TBA diubah. nan mau hanya Garuda. Saya sudah tanya ke mereka," ujar Dudy dalam sebuah obrolan di Jakarta, Kamis (8/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi saya juga bingung sebagai regulator jika hanya Garuda nan ingin, gimana saya mau atur ya. Nanti nan lain nggak mau diubah," sambung Dudy.
Dudy menjelaskan sejumlah maskapai nan tidak menginginkan adanya perubahan TBA tiket pesawat lantaran kondisi perekonomian di masyarakat nan sedang tidak baik.
Sehingga jika adanya perubahan TBA tiket pesawat, dikhawatirkan masyarakat makin sedikit menggunakan moda transportasi pesawat.
"Ya mereka nggak mau diubah, inginnya seperti nan sekarang. Sekarang saja dikit nan naik, gimana jika kita mau naik," terang Dudy menjawab pertanyaan soal argumen kebanyakan maskapai tidak menginginkan adanya perubahan TBA tiket pesawat.
Sebelumnya Asosiasi maskapai penerbangan alias Indonesia National Air Carriers Association (INACA) meminta pemerintah untuk segera merevisi patokan tarif pemisah atas (TBA) tiket pesawat. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) INACA Bayu Sutanto.
Bayu mengatakan kebijakan tarif pemisah atas bertindak sejak 2019 tidak realistis dengan situasi sekarang. Bayu mendorong agar nilai tiket pesawat mengikuti sistem nilai pasar.
Kebijakan TBA dan tarif pemisah bawah (TBB) tiket pesawat terakhir diubah pada 2019. Penentuan TBA dan TBB diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub) No. PM 20 Tahun 2019.
"Kami maunya revisi TBA tahun 2019, nilai diserahkan ke sistem pasar dengan TBA baru tersebut," kata Bayu kepada detikaicom, Jumat (7/1/2025).
Bayu menilai kebijakan nan sekarang tidak sesuai dengan komponen nan mempengaruhi tiket pesawat saat ini, seperti nilai avtur dan pelemahan nilai tukar rupiah. Belum lagi, pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12%.
"Karena TBA nan bertindak sejak 2019, parameter formula khususnya nilai avtur dan kurs US dolar sudah nggak realistis, juga PPN-nya sudah 12%," tambah Bayu.
(hns/hns)