ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Sektor jasa finansial (SJK) Indonesia mencatatkan keahlian mengesankan selama 2024. Tren positif ini diyakini bakal terus bersambung pada tahun ini.
Seperti nan diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengumumkan beberapa capaian krusial sektor jasa finansial pada 2024. Dari aspek intermediasi, industri perbankan telah menyalurkan angsuran dan pembiayaan sebesar Rp 7.827 triliun pada 2024.
Angka tersebut tumbuh double digit dan sesuai sasaran alias mencapai 10,39% dengan disertai akibat angsuran nan terjaga. Sementara itu, piutang perusahaan pembiayaan juga tumbuh 6,92% menjadi Rp 503,43 triliun pada 2024.
OJK juga memaparkan, dari sisi intermediasi non-konvensional, keahlian outstanding pembiayaan pinjaman dari fintech peer-to-peer lending tercatat tumbuh 29,14% menjadi Rp 77,02 triliun hingga akhir 2024.
Sementara itu, realisasi pembiayaan produk buy now pay later nan dilakukan oleh perbankan dan perusahaan pembiayaan masing-masing tercatat Rp 22,12 triliun dan Rp 6,82 triliun alias tumbuh masing-masing 43,76% dan 37,6% pada 2024. Adapun pembiayaan dari industri pegadaian tercatat sebesar Rp 88,05 triliun alias tumbuh 26,9% pada tahun lalu.
Capaian lainnya ialah penghimpunan biaya di pasar modal bisa melampaui sasaran di atas Rp 200 triliun alias mencapai Rp 259,24 triliun dari 199 penawaran umum. Secara nominal, penghimpunan biaya tersebut didominasi oleh penawaran umum sektor finansial sebesar 36%. Di sisi permintaan, jumlah penanammodal pasar modal tumbuh enam kali lipat dalam lima tahun terakhir menjadi 14,87 juta penanammodal per akhir Desember 2024.
Tak hanya itu, OJK juga menyebut bahwa likuiditas industri jasa finansial Indonesia juga berada di atas periode pemisah (threshold) dengan solvabilitas nan terpantau solid. Bahkan, sektor perbankan bisa membukukan capital adequacy ratio 26,69% dan bisa dikatakan nan tertinggi di antara negara-negara kawasan.
Melihat capaian-capaian ini, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah menilai bahwa sektor jasa finansial nasional memperlihatkan kondisi nan stabil dan sehat sepanjang tahun lalu. Ada beberapa parameter nan menjadi ukuran kestabilan dan kesehatan dari industri jasa keuangan.
Indikator pertama adalah likuiditas. Piter mengatakan, tingkat likuiditas lembaga jasa keuangan, termasuk perbankan, di Indonesia ada di atas periode pemisah alias jauh di atas dari nan dipersyaratkan seperti nan tadi disebut OJK. Indikator berikutnya adalah permodalan. Nilai permodalan industri jasa keuangan, khususnya di sektor perbankan, nasional juga jauh di atas pemisah minimal.
"Kemudian terlihat juga dari tingkat keuntungan. Keuntungannya alias profitabilitasnya (industri jasa keuangan) juga menunjukkan sesuatu nan sangat baik," kata Piter kepada detikai.com, ditulis Kamis (13/2/2025).
Piter menambahkan, rumor alias masalah-masalah nan menimpa industri jasa finansial Indonesia tergolong minim. Masalah nan menerpa sektor jasa finansial pun sudah bisa diselesaikan dengan cukup baik dan cepat, tanpa mengganggu keahlian industri tersebut secara keseluruhan.
"Misalnya kasus Jiwasraya dan Asabri nan sedang melangkah diselesaikan dan ini menunjukkan sungguh bahwasanya industri finansial kita relatif stabil dan sehat di tengah kondisi perekonomian nan sebenarnya tidak cukup baik," ungkap Piter.
Terkait peran OJK, Piter menilai bahwa keahlian lembaga ini dapat dilihat dari keahlian industri keuangannya. Jika industri keuangannya stabil, sehat, dan tidak mengalami permasalahan-permasalahan nan cukup signifikan. Hal itu menandakan bahwa OJK sudah menjalankan fungsinya dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap industri finansial dengan baik.
"Kita sudah lihat dari beragam aturan-aturan nan dikeluarkan oleh OJK nan saya kira perlu diapresiasi ya, terutama dalam upaya untuk meningkatkan literasi. Sebab, salah satu nan kudu dilakukan oleh OJK itu adalah meningkatkan literasi dan edukasi sehingga literasi finansial maupun inklusi finansial itu bisa ditingkatkan. Dan nan utamanya lagi adalah mengenai dengan perlindungan nasabah," jelasnya.
Memasuki tahun 2025, Piter mengatakan, tantangan bagi industri jasa finansial nasional adalah dinamika kondisi ekonomi dunia nan sedang tidak baik-baik saja. Dikhawatirkan, ketidakpastian dunia dapat berakibat negatif ke ekonomi nasional, sehingga mempengaruhi keahlian sektor jasa finansial pada tahun ini. Di sini peran pemerintah dibutuhkan untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional di tengah kondisi dunia nan tidak menentu.
"Saya kira tantangan bagi industri jasa finansial adalah gimana tetap bisa mempertahankan keahlian nan baik tadi, ialah tetap stabil dan sehat dengan juga tetap bisa berkontribusi. Karena sektor jasa finansial itu kan berkedudukan sebagai lembaga perantara, dan lembaga intermediasi nan diharapkan bisa berkontribusi di dalam membantu meningkatkan perekonomian," terang dia.
Dengan menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi, maka diharapkan sektor jasa finansial itu bisa tetap stabil, sehat, dan juga tetap optimal dalam membantu perekonomian Indonesia agar tetap tumbuh positif di tengah kondisi perekonomian dunia nan penuh ketidakpastian.
Piter juga berpendapat, sasaran pertumbuhan angsuran sekitar 9%-11% dan biaya pihak ketiga sekitar 6%-8% nan dikemukakan OJK pada 2025 sudah sangat realistis. Bahkan, dia percaya potensi pertumbuhan angsuran serta biaya pihak ketiga nan lebih tinggi selama kondisi ekonomi nasional terjaga. Sebab, keahlian industri jasa finansial sangat berjuntai terhadap kebijakan makro pemerintah, baik itu fiskal maupun moneter.
"Jadi jika menurut saya itu OJK sudah menempatkan sasaran nan sangat realistis alias konservatif, dan saya kira sangat mungkin untuk mencapai sasaran lebih dari itu ketika kebijakan fiskal dan kebijakan moneternya lebih berkarakter ekspansif nanti," pungkas Piter.
(dpu/dpu)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Bos Asuransi Syariah Minta OJK Atur Klaim-Skema CoB Dengan BPJS
Next Article OJK Tuntaskan 131 Perkara Keuangan, Sektor Ini Paling Banyak