ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com – Seruan sekelompok purnawirawan TNI untuk memecat Gibran Rakabuming Raka dari posisi Wakil Presiden RI dinilai drama politik nan tak perlu dilakukan. Bahkan tudingan adanya pelanggaran administratif nan menjadi argumen mereka mendesak pemecatan terasa lebih politis daripada yuridis.
Demikian disampaikan pengamat norma dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, dalam catatan kajian politiknya. Dia menyayangkan sikap para purnawirawan TNI tersebut.
"Di saat negeri ini memerlukan ketenangan dan arah nan jelas, justru mereka nan harusnya jadi sosok panutan memilih menabuh genderang kegaduhan," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu, 26 April 2025.
Mantan Ketua Komisi III DPR itu mengaku heran dengan kegaduhan politik nan akhir-akhir ini terjadi di ruang publik. Alih-alih membawa pencerahan tapi justru menebalkan kabut perpecahan.
Apalagi, kata dia, sekelompok purnawirawan TNI nan seyogianya menjadi contoh ketenangan dan kebijaksanaan malah turut serta dalam pusaran hiruk-pikuk dengan melayangkan tuntutan pemecatan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.
"Dalih nan digunakan pun tampak dipaksakan, pelanggaran administratif dalam proses pencalonan," kata dia.
Pieter Zulkifli mengatakan jika publik tidak bisa menutup mata terhadap pentingnya etika dan norma dalam kontestasi politik. Namun, saat sebuah gugatan kehilangan proporsinya apalagi terkesan mengada-ada, maka nan muncul bukanlah keadilan, melainkan kegaduhan.
"Kita justru patut bertanya, untuk siapa sebenarnya tuntutan ini diajukan?" ucap dia.
Sejumlah purnawirawan nan tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyampaikan tuntutan terbuka kepada Prabowo Subianto selaku Presiden terpilih. Dalam pernyataan tersebut, mereka mendesak agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil langkah mengganti Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dengan dalih proses pencalonannya melanggar hukum.
Menariknya, penandatangan tuntutan itu bukan figur sembarangan. Di antara mereka terdapat nama mantan Wakil Presiden keenam RI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, serta sejumlah tokoh militer berpengaruh seperti mantan Menteri Agama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, hingga mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.
Forum ini mengeklaim mewakili ratusan purnawirawan, mulai dari jenderal bintang empat hingga kolonel. Kehadiran mereka membawa berat simbolik tersendiri.
"Namun justru di situlah tantangannya. Ketika tokoh-tokoh nan pernah menduduki posisi strategis dalam pertahanan negara ikut mendorong narasi penggantian wapres nan telah dipilih melalui sistem konstitusional, publik bakal bertanya, apakah ini murni kegelisahan moral, alias ada arus bawah tanah politik nan sedang bergerak?" kata Pieter Zulkifli.
Dia mengatakan TNI sebagai lembaga sejatinya telah menetapkan garis tegas, ialah netral dalam politik praktis. Maka ketika para purnawirawan nan notabene tetap mempunyai jejaring kuat dalam tubuh militer bersikap seolah menjadi oposisi umum terhadap hasil pemilu.
"Publik bisa menilai ini bukan hanya soal hukum, tapi juga manuver politik. Dan celakanya, manuver semacam ini hanya menambah runyam suhu kerakyatan nan sedang rapuh," katanya.
Yang lebih disayangkan, gugatan terhadap Gibran tidak hanya menyasar pribadi, tetapi juga menyeret keabsahan proses pemilu secara keseluruhan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) lembaga tertinggi dalam urusan sengketa pemilu telah memutus perkara ini.
"Meskipun kita bisa memperdebatkan kualitas moral alias etik suatu keputusan, namun dalam tatanan negara hukum, putusan MK adalah final dan mengikat," katanya.
Pieter Zulkifli mengamini kerakyatan memang tidak menjamin hasil nan memuaskan semua pihak. Tapi kerakyatan menuntut kedewasaan menerima hasilnya, sekalipun pahit.
"Apabila setiap ketidakpuasan direspons dengan seruan pemecatan alias delegitimasi, maka kita sedang menggali lubang bagi kehancuran sistem itu sendiri," kata dia.
Dia menilai saat ini bangsa justru lebih memerlukan suasana tenang untuk memulai transisi pemerintahan dengan baik. Fokus utama mestinya bukan pada tarik-menarik bangku kekuasaan, tapi gimana pemerintahan baru bisa menjawab tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, dan situasi geopolitik nan kian mencekam.
"Kritik tetap penting. Bahkan harus. Namun, kritik nan membangun bukan nan menyeret lembaga ke tengah badai, apalagi menggiring publik pada ilusi bahwa semua hasil kerakyatan bisa dibatalkan hanya lantaran tidak sesuai dengan angan sebagian pihak," tegas Pieter Zulkifli.
Dia mengatakan para purnawirawan nan sekarang tampil di ruang publik sesungguhnya mempunyai posisi istimewa. Dengan pengalaman, reputasi, dan kebijaksanaan nan mereka miliki, kontribusi strategis bisa diberikan dalam corak nasihat, evaluasi, dan pemikiran kebangsaan nan mencerahkan.
"Bukan dalam corak tuntutan emosional nan berpotensi memecah belah," kata dia.
Menurutnya, Indonesia tidak kekurangan masalah seperti tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, krisis iklim, hingga tekanan geopolitik global. Sehingga, nan dibutuhkan justru ketenangan politik dan kepemimpinan nan transformatif.
"Bukan kegaduhan baru nan hanya memperpanjang deret frustrasi publik terhadap elite," ujarnya.
Pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
Photo :
- detikai.com.co.id/M Ali Wafa
Pieter Zulkifli lantas mengutip pernyataan Aristoteles, ialah orang nan terus mencari kesalahan orang lain bakal kehilangan waktunya untuk memperbaiki dirinya sendiri. Dalam konteks ini, kata dia, daya bangsa semestinya diarahkan pada pembenahan masa depan, bukan pengulangan sengketa masa lalu.
Dia menekankan transisi pemerintahan adalah momen krusial untuk meletakkan fondasi baru nan lebih kuat. Sedangkan tugas kekuasaan bukan memperbaiki kesalahan di masa lalu, tetapi memperbaiki arah untuk masa depan.
Pieter Zulkifli juga menegaskan baik pemerintah nan bakal datang, maupun para tokoh bangsa, mempunyai tanggung jawab nan sama. Antara lain, menjaga muruah demokrasi, merawat ketenangan publik, serta membangun kepercayaan rakyat terhadap sistem.
"Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak butuh kegaduhan tambahan. nan kita butuhkan adalah pemimpin nan bekerja, elite nan bijak, dan rakyat nan diberi ruang untuk berharap," tegasnya.
Halaman Selanjutnya
Pieter Zulkifli mengatakan jika publik tidak bisa menutup mata terhadap pentingnya etika dan norma dalam kontestasi politik. Namun, saat sebuah gugatan kehilangan proporsinya apalagi terkesan mengada-ada, maka nan muncul bukanlah keadilan, melainkan kegaduhan.