ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta Ketimpangan alokasi bangku DPR antardaerah pemilihan ikritik lantaran dinilai melanggar prinsip keadilan representatif sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU No. 7 Tahun 2017.
Hal ini disampaikan Pipit Rochijat Kartawidjaja, master sistem pemilu bumi dan pensiunan ASN Jerman, dalam Focus Group Discussion (FGD) berjudul “Sistem Pemilu Campuran: Jalan Tengah untuk Mencapai Pemilu nan Berkualitas” pada Jumat (23/5), nan digelar Fraksi Partai Golkar di DPR RI.
Pipit mencontohkan, DKI Jakarta II dengan jumlah partisipasi pemilih tinggi hanya mendapat bangku lebih sedikit dibanding DKI Jakarta III.
"Negara maju seperti Jerman dan Norwegia mengatur alokasi bangku berdasar proporsi penduduk, luas wilayah, dan bunyi sah. Indonesia perlu meniru ini," ujar Pipit.
Pipit memaparkan tiga model sistem campuran. Pertama, sistem paralel yaitu, pemilih punya dua suara, hasil distrik dan proporsional tidak saling memengaruhi.
Kemudian, Mixed-Member Proportional (MMP) dengan total bangku partai ditentukan oleh bunyi proporsional, dengan penyesuaian dari hasil distrik (digunakan di Jerman dan Selandia Baru).
Lalu ada sistem kompensasi. Sistem ini dapat menjaga keseimbangan representasi secara nasional.
Sistem Campuran Dianggap Jalan Tengah nan Realistis
Menurut Pipit, sistem campuran bisa menyamakan "harga kursi" antardapil, menekan politik uang, memperkuat kaderisasi, serta meningkatkan keterwakilan wanita dan minoritas.
"Kalau ada perubahan ke sistem campuran, beloknya terlalu tajam, menikung, mengubah secara drastis," kata legislator Partai Golkar itu.
Zulfikar juga menampik dugaan bahwa sistem terbuka membikin personil DPR lebih liar dan tidak tunduk pada partai.
"Lihat saja Firman Soebagyo. Beberapa kali jadi ketua AKD, tapi tetap alim pada garis fraksi. Saya pun begitu," kata Zulfikar.
Pipit menegaskan, sistem campuran adalah jalan tengah nan realistis dan tidak terlalu asing bagi pemilih Indonesia. "Model ini tetap bernapas proporsional, sehingga tidak menyulitkan publik untuk beradaptasi," ujarnya.
Ketua Fraksi Partai Golkar Muhammad Sarmuji menyebut FGD ini sebagai forum untuk menggali opsi-opsi nan bisa diambil jika UU Pemilu direvisi.
"Kita tidak mau menawarkan obat nan lebih rawan dari penyakitnya. Kita tawarkan obat nan jitu untuk mengatasi penyakitnya," kata Sarmuji.
"Kita mengkaji semua opsi, tidak hanya satu opsi, mana nan terbaik untuk bangsa dan negara, nan muaranya untuk kesejahteraan rakyat," ujar Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu.
FGD ini menjadi langkah awal Fraksi Golkar untuk membuka ruang obrolan publik mengenai reformasi sistem pemilu nasional nan lebih setara dan inklusif.
Jakarta menjadi tuan rumah kejuaraan putri duyung dan tarian bawah air terbesar dalam sejarah. Peserta datang dari beragam negara, seperti China, Korea Selatan, Thailand, Rusia, Singapura, dan Malaysia.