ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Pendiri Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, mengingatkan akibat revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Haidar, jika dilakukan dengan maksud memperlemah alias memperkuat kewenangan lembaga abdi negara penegak norma tertentu, revisi tersebut berpotensi mengulang peristiwa demonstrasi penolakan revisi UU KPK pada tahun 2019.
"Sebelum terlambat, kita kudu mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar jangan sampai tragedi 2019 terulang kembali. Apalagi ini adalah tahun pertama pemerintahan beliau dan Presiden adalah sosok nan tidak menginginkan adanya gejolak," kata Haidar dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/2/2025) seperti dilansir Antara.
Ia mengatakan revisi UU Kejaksaan dan UU KUHAP nan ditetapkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 semestinya dimaksudkan memperkuat akses, transparansi, serta kesetaraan dalam sistem peradilan pidana.
"Bukan untuk memperkuat otoritas satu pihak, apalagi sampai melucuti kewenangan lembaga lainnya nan justru mendorong penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi dan melemahkan checks and balances (periksa dan timbang)," katanya.
Akan tetapi, menurut Haidar, revisi UU Kejaksaan dan UU KUHAP justru mencoba untuk memperkuat kewenangan lembaga tertentu saja karena kejaksaan bakal diberikan kewenangan penuh dalam perkara pidana melalui asas dominus litis (pengendali perkara).
Tumpang Tindih
Di satu sisi, asas dominus litis dapat meningkatkan efektivitas penegakan norma dan berkas perkara tidak perlu bolak-balik antara interogator dan jaksa lantaran perbedaan pandangan mengenai kelengkapan perangkat bukti.
"Namun, di sisi lain, malah tumpang tindih andaikan tidak mau disebut melucuti kewenangan kepolisian dan kehakiman," ucap Haidar.
Selain melakukan penyelidikan dan investigasi sendiri, jaksa juga bisa mengintervensi investigasi nan dilakukan kepolisian. Jaksa bebas menentukan kapan suatu perkara naik penyelidikan dan investigasi serta kapan suatu perkara dilanjutkan alias dihentikan.
Jaksa juga dapat menentukan sah alias tidaknya penangkapan dan penyitaan nan menjadi kewenangan kehakiman.
"Hal ini rawan disalahgunakan lantaran mengabaikan checks and balances. Entah oleh tekanan politik, kepentingan pribadi, korupsi, alias kasus-kasus nan menyangkut elite," ujarnya.
Selain itu, Haidar menjelaskan bahwa KUHAP menganut pemisahan antara kegunaan investigasi dan penuntutan. Berdasarkan KUHAP, kewenangan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan berada di tangan kepolisian.
"Namun, revisi UU Kejaksaan dan UU KUHAP nan bakal memungkinkan jaksa mengintervensi kewenangan kepolisian dan menyerobot kewenangan kehakiman, justru semakin menegaskan ambisinya menjadi lembaga superbody tersebut," katanya.