ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi mengaku belum menerima salinan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berisi bahwa pasal penyerangan nama baik dikecualikan untuk lembaga pemerintah hingga sekelompok orang dengan identitas spesifik.
Namun, Prasetyo memastikan pemerintah menghormati dan siap menjalankan keputusan MK tersebut andaikan berangkaian dengan kebijakan-kebijakan internal pemerintah.
"Pemerintah menghormati apa nan menjadi keputusan MK dan tentu bakal menjalankan keputusan tersebut manakala keputusan tersebut berkonsekuensi terhadap kebijakan-kebijakan di internal pemerintahan," kata Prasetyo kepada wartawan, Rabu (30/4/2025).
Di menilai keputusan MK tersebut menjadi berita baik terhadap kebebasan beranggapan di masyarakat. Prasetyo menuturkan kebebasan beranggapan di masyarakat juga telah terjadi di Indonesia sebelumnya dan dilindungi oleh undang-undang.
"Tentu keputusan MK nan kemudian di anggap ini merupakan berita baik terhadap kebebasan beranggapan maka menurut kami nan terpenting adalah bahwa kita semua memahami selama ini kebebasan beranggapan tersebut juga sudah tejadi dan juga dilindungi oleh UUD," tuturnya.
Di sisi lain, Prasetyo mengingatkan kebebasan beranggapan kudu dilandasi dengan rasa tanggung jawab. Hal ini agar pendapat nan disampaikan tetap menghormati pihak lain dan tak mengandung ujaran kebencian serta hal-hal negatif.
"Yang paling krusial adalah marilah kebebasan beranggapan itu tetap kudu dlandasi dengan rasa tanggung jawab sehingga nan disebut dengan kebebasan beranggapan tidak menyampaikan segala sesuatu nan tidak menghormati pihak-pihak nan lain, nan tidak menggunakan info nan berdasarkan kebencian dan hal-hal nan negatif lainnya. Sya kira itu nan paling prinsip dari hasil keputusan MK," jelas Prasetyo.
Presiden Prabowo Subianto menunjuk Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi sebagai Juru Bicara Presiden. Informasinya kami rangkum dalam Kilas Politik.
Gugatan pada Pasal di UU ITE
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal menyerang kehormatan alias nama baik nan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dikecualikan untuk lembaga pemerintah hingga sekelompok orang dengan identitas spesifik.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.
Dalam putusannya MK menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan norma mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik alias tertentu, institusi, korporasi, pekerjaan alias jabatan.”
Pasal 27A UU ITE mengatur perbuatan nan dilarang dalam aktivitas mengenai ITE. Pasal tersebut pada mulanya bersuara “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan alias nama baik orang lain dengan langkah menuduhkan suatu hal, dengan maksud agar perihal tersebut diketahui umum dalam corak info elektronik dan/atau arsip elektronik nan dilakukan melalui sistem elektronik.”
Sementara itu, Pasal 45 ayat (4) UU ITE berisi tentang ketentuan pidana atas Pasal 27A. Pasal tersebut mengatur setiap orang nan melanggar Pasal 27A UU ITE dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.
Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan terdapat ketidakjelasan batas frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE sehingga norma pasal tersebut rentan untuk disalahgunakan. Padahal, Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 nan mulai bertindak tahun 2026, juga sama-sama menggunakan frasa “orang lain” untuk merujuk pada korban pencemaran nama baik.
Merujuk pada Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023, sejatinya telah ditentukan pihak nan tidak bisa menjadi korban dari tindak pidana pencemaran nama baik, ialah lembaga pemerintah alias sekelompok orang.
Adanya Kritik Hal Penting di Negara Demokrasi
Di sisi lain, ketentuan Pasal 27A UU ITE juga berangkaian dengan Pasal 45 ayat (7) UU ITE nan menyatakan bahwa perbuatan menyerang kehormatan alias nama baik tidak dapat dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum alias lantaran terpaksa memihak diri.
Kepentingan umum tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 45 ayat (7) UU ITE, adalah dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat nan diungkapkan melalui kewenangan berekspresi dan berdemokrasi seperti unjuk rasa alias kritik.
Menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, kritik menjadi perihal krusial sebagai bagian dari kebebasan berekspresi nan sedapat mungkin berkarakter konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan alias tindakan orang lain.
Pada dasarnya, imbuh MK, Pasal 27A UU ITE merupakan corak pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal nan berangkaian dengan kepentingan masyarakat. Artinya, terhadap kritik nan konstruktif, dalam perihal ini terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat, merupakan perihal nan krusial sebagai sarana penyeimbang alias kontrol publik nan justru kudu dijamin dalam negara norma nan demokratis.
“Terbelenggunya kewenangan atas kebebasan beranggapan dan berekspresi, justru bakal mengikis kegunaan kontrol alias pengawasan nan merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, dalam penyelenggaraan pemerintahan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah.
Lebih lanjut Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 27A dan kaitannya dengan Pasal 45 ayat (5) UU ITE merupakan tindak pidana dengan delik aduan. Hal ini berfaedah tindakan tersebut dapat dituntut atas pengaduan korban alias orang nan terkena tindak pidana alias nan dicemarkan nama baiknya.
“Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan abdi negara penegak norma dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ Pasal 27A UU ITE, maka krusial bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa nan dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah perseorangan alias perseorangan,” ucap Arief.
Oleh lantaran itu, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU ITE andaikan nan menjadi korban pencemaran nama baik bukan perseorangan alias perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas nan spesifik alias tertentu, institusi, korporasi, pekerjaan alias jabatan.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali) nan pernah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jepara lantaran konten video kritiknya atas kondisi tambak di Karimunjawa, Jawa Tengah. Ia kemudian dilepaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang.