ARTICLE AD BOX
-
-
Berita
-
Politik
Kamis, 1 Mei 2025 - 06:21 WIB
Jakarta, detikai.com - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyampaikan komitmennya untuk terus perjuangkan hak-hak pekerja dan pekerja Indonesia di tengah situasi ketenagakerjaan nasional. Ada beberapa poin nan disampaikan PKS dalam memperingati Hari Buruh Internasional alias May Day 2025.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan DPP PKS, Martri Agoeng menjelaskan pihaknya beri penghormatan setinggi-tingginya kepada seluruh pekerja dan pekerja nan sudah berkontribusi besar bangun bangsa ini dengan keringat, tenaga, dan pikiran mereka.
Ia menyoroti beberapa persoalan ketenakerjaan seperti praktik outsourcing, eksploitasi, bayaran nan tidak memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), belum disahkannya RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) hingga RUU Pelindungan Pekerja Migran. Belum lagi ketidakjelasan status pekerja daring (driver online).
Martri menyinggung petunjuk Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 168/PUU-XXI/2024 nan menyatakan perlunya pemisahan (revisi) UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja, serta percepatan pengesahan Undang-undang pelindungan bagi pekerja informal dan pekerja digital.
Demo Hari Buruh di Jakarta
Photo :
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Pun, dia menyoroti realitas ketenagakerjaan di Tanah Air nan tetap jauh dari harapan. Maka itu, dalam momen Hari Buruh Internasional tahun ini, Martri menegaskan sikap PKS.
"Pertama, PKS mendesak agar segera dibahas dan disahkan RUU Ketenagakerjaan baru sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Martri, dalam keterangannya, Kamis, 1 Mei 2025.
Menurut dia, pembahasan RUU Ketenagakerjaan itu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Lalu, memenuhi norma meaningfull participation, nan melibatkan buruh, serikat pekerja, pengusaha dan masyarakat luas, bukan hanya bunyi elite.
Dia mengingatkan agar RUU Ketenagakerjaan nan bakal disusun perlu menjangkau kelompok-kelompok nan tak terjangkau dalam UU sebelumnya. Pekerja nan termasuk dalam kategori gig workers perlu diperjelas kewenangan dan kewajibannya.
"Apa nan menjadi tanggungjawab negara dan tanggungjawab pemberi kerja terhadap gig workers belum tertuang dengan jelas dalam undang-undang nan ada. Perlu pendalaman nan cukup dan ada penegasan, apakah undang-undang ketenagakerjaan nan sedang disusun bakal menjangkau pekerja gig workers," jelas Martri.
Lalu, tuntutan kedua ialah PKS menolak adanya praktik tenaga kerja outsourcing nan eksploitatif. "Ketiga, PKS mendorong agar penghitungan bayaran minimum dikembalikan berbasis pada kebutuhan hidup layak (KHL)," lanjut Martri.
Selanjutnya, keempat, dia mengatakan PKS mendorong pemerintah untuk melakukan mitigasi akibat mengenai adanya potensi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di masa nan bakal datang. Aksi nyata pemerintah krusial untuk mengantisipasi potensi gelombang PHK nan tetap terjadi.
"Kelima, PKS mendorong percepat pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Pelindungan Pekerja Migran," tutur Martri.
Pun, nan keenam, dia mengetakan bahwa PKS mendesak pemerintah untuk memperjelas status driver online sebagai pekerja formal.
Berikutnya, nan ketujuh, PKS mendorong adanya kerjasama antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian, tercipta hubungan nan selaras nan berakibat pada kesejahteraan pekerja dan kemajuan bumi industri.
Martri mengingatkan pekerja bukan sekadar roda ekonomi. Namun, bagi dia, pekerja adalah tulang punggung bangsa.
"Maka dari itu PKS berdiri berbareng buruh, memihak hak-hak mereka, memperjuangkan keadilannya dalam membangun masa depan Indonesia nan lebih setara sejahtera dan bermartabat," jelas Martri.
Halaman Selanjutnya
Menurut dia, pembahasan RUU Ketenagakerjaan itu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Lalu, memenuhi norma meaningfull participation, nan melibatkan buruh, serikat pekerja, pengusaha dan masyarakat luas, bukan hanya bunyi elite.