Kronologi Kasus Korupsi Apd Covid-19, Negara Dirugikan Ratusan Miliar

Sedang Trending 9 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta Pandemi Covid-19 di tahun 2020 memaksa pemerintah Indonesia untuk melakukan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam jumlah besar. Proses pengadaan nan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), melibatkan TNI dan Polri, justru berujung pada skandal korupsi nan merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Permainan nilai dan kurangnya transparansi menjadi inti persoalan dalam kasus ini.

Pemerintah, melalui petunjuk Letjen TNI Doni Monardo (saat itu Kepala BNPB), mengambil APD langsung dari Kawasan Berikat tanpa kelengkapan arsip seperti surat pemesanan dan bukti pendukung. Kejanggalan muncul saat nilai APD melonjak drastis. Kemenkes awalnya membeli APD dari PT PPM dengan nilai Rp379.500 per set, namun setelah melibatkan PT EKI sebagai penjual, nilai membengkak nyaris menjadi Rp1 juta per set.

Perbedaan nilai nan signifikan ini disebabkan oleh kesepakatan antara PT PPM dan PT EKI, dengan PT PPM mendapatkan margin untung 18,5%. Proses negosiasi nilai dilakukan tanpa prosedur nan semestinya, tanpa surat pesanan dan arsip pendukung pembayaran. PT EKI, nan tidak mempunyai Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK), dan PT PPM juga tidak menyerahkan bukti pendukung kelaziman harga. Ketidaktransparanan ini mengakibatkan kerugian negara nan signifikan.

Pernyataan keras dikemukakan Presiden Prabowo Subianto. Kendati telah memberikan kesempatan kepada para koruptor, hingga 100 hari pemerintahan belum ada koruptor nan melapor dan mengembalikan duit hasil korupsi.

Harga APD Melonjak Drastis: Kejanggalan dalam Pengadaan

Lonjakan nilai APD dari Rp379.500 menjadi nyaris Rp1 juta per set menjadi titik krusial dalam kasus korupsi ini. Direktur Utama PT Yoon Shin Jaya, Shin Dong Keun, menunjuk PT EKI sebagai authorized seller, membuka kesempatan bagi manipulasi harga. Harmensyah, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DSP BNPB, melakukan negosiasi nilai dengan Satrio Wibowo (pimpinan PT EKI) tanpa mengikuti prosedur nan berlaku.

Proses pengadaan nan tidak transparan dan minim pengawasan membuka celah bagi praktik korupsi. Ketiadaan surat pesanan dan arsip pendukung pembayaran semakin memperkuat dugaan penyimpangan. Hal ini menunjukkan lemahnya sistem pengadaan peralatan dan jasa pemerintah saat itu dalam menghadapi situasi darurat.

Ketidakpatuhan terhadap patokan dan prosedur nan bertindak menjadi aspek utama terjadinya korupsi. PT EKI nan tidak mempunyai IPAK dan PT PPM nan tidak menyerahkan bukti pendukung kelaziman nilai menunjukkan adanya upaya untuk menyembunyikan praktik korupsi.

Kerugian Negara dan Terdakwa Utama

Audit BPKP memperkirakan kerugian negara mencapai Rp319 miliar, sementara sumber lain menyebut nomor hingga Rp625 miliar. Perbedaan nomor ini menunjukkan kompleksitas dalam menghitung kerugian nan sebenarnya. Namun, nan pasti, negara mengalami kerugian nan sangat besar akibat korupsi ini.

Tiga terdakwa utama dalam kasus ini adalah Budi Sylvana (mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes), Satrio Wibowo (Direktur Utama PT EKI), dan Ahmad Taufik (Direktur Utama PT PPM). Jaksa KPK pada 16 Mei 2025 membacakan surat tuntutan terhadap mereka. Satrio Wibowo diduga menerima Rp59,9 miliar, sementara Ahmad Taufik diduga menerima Rp224,1 miliar.

Kasus ini juga melibatkan dugaan penggunaan cek bodong dalam pembayaran, semakin memperumit dan memperburuk situasi. Proses norma nan sedang melangkah diharapkan dapat mengungkap seluruh jaringan dan tokoh nan terlibat dalam skandal korupsi ini.

Kasus korupsi APD Covid-19 ini menjadi pelajaran berbobot bagi pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan peralatan dan jasa, terutama dalam situasi darurat. Penguatan sistem pengawasan dan penegakan norma nan tegas sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.

Selengkapnya