Ketua Ma: Hakim Tak Bisa Jadi Malaikat, Tapi Jangan Jadi Setan

Sedang Trending 5 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto mengakui bahwa hakim juga manusia, sehingga tak bisa diharapkan bisa menjadi seperti malaikat. Namun, dia menegaskan bukan berfaedah pengadil bisa berkelakuan seperti 'setan'.

Hal itu disampaikan Sunarto dalam pembinaan manajemen dan teknis yudisial bagi pengadil di lingkungan peradilan umum se-Jakarta nan digelar di instansi MA, Jakarta Pusat, Jumat (23/5).

Sunarto mengingatkan para pengadil meningkatkan kepercayaan publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Memang kita semua, hakim, tidak bisa dipikir menjadi malaikat semua. Hakim juga manusia," kata Sunarto dalam aktivitas pembinaan itu.

"Tapi pengadil jangan jadi setan semua. Manusia adalah pertarungan antara malaikat dan setan. Lebih kuat nan mana? Lebih condong ke malaikat alias condong ke setan?" imbuhnya.

Menurutnya andaikan seorang pengadil pernah sekali melakukan salah itu manusiawi, namun dia menegaskan kesalahan-kesalahan itu jangan dibudayakan apalagi menjadi kebutuhan.

"Sekali-kali melakukan salah. Ya memang manusia tempat melakukan salah. Tapi salah jangan dibudayakan, jangan menjadi kebutuhan," lanjutnya.

Dia pun meminta agar para pengadil memilih hidup melakukan baik ketika mengemban amanah sebagai 'wakil Tuhan' di dunia.

"Tapi, jika memilih kedudukan hakim, pilihlah jalur kemaslahatan dan kebaikan. Kalau kerabat tidak memilih itu, pilihannya hanya dua, disanksi oleh Mahkamah Agung alias diambil oleh penegak hukum, pilihannya itu. Karena pengadil adalah wakil Tuhan di dunia," ujarnya.

Sunarto pun mengingatkan era media sosial, di mana publik bisa memandang kehidupan pejabat publik dengan mudah. Menurutnya, para pengadil kudu sadar layaknya hidup dalam sebuah akuarium. Dia mengatakan setiap gerak-gerik para pengadil ini bakal mudah diketahui.

"Bapak-Ibu hidup seperti di akuarium, seumpama ikan hidup di akuarium. Gerakannya ke mana, turun naik, tampak Ibu-Bapak sekalian. Di era digital ini, hati-hati. Transaksi ketahuan, masuk ke tempat-tempat hiburan, ke hotel, ketahuan. Apakah ini tetap tetap bakal dilaksanakan? Tolong sadari Bapak-Ibu sekalian," ucap dia.

Terpisah, personil Komisi III DPR  Hinca IP Pandjaitan menyatakan tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan Ketua MA soal pengadil tidak bisa menjadi malaikat, tapi jangan semua menjadi setan.

Hinca menilai pernyataan Sunarto seakan-akan menggeser standar pengadil dari 'wakil Tuhan di bumi' jadi sekadar asalkan 'jangan menjadi setan'.

"Saya tidak sepenuhnya sepakat atas pernyataan Ketua MA, ketika pengadil diibaratkan bukan malaikat, seakan-akan standar 'wakil Tuhan di bumi' dapat digeser menjadi sekadar 'jangan jadi setan," kata Hinca, Jumat (23/5) seperti dikutip dari detik.com.

"Penggeseran itu menyeret hakim-hakim dari takhta tinggi representasi Ilahi ke tanah datar manusiawi, seolah palu pengadilan tak lagi berkait ke langit, melainkan cukup berjarak secuil dari lumpur kepentingan," imbuh politikus Demokrat tersebut.

Hinca lantas mengibaratkan pengadil seperti lilin di ruang gelap. Oleh lantaran itu, dia bilang  pengadil tidak boleh ikut menjadi gelap ketika kegelapan semakin pekat.

"Layaknya satu-satunya lilin di ruang gelap, pengadil adalah titik sinar nan tak boleh ikut merunduk ketika gambaran membesar. Lilin tetap lilin, fungsinya menerangi, meski sumbu rentan dan nyala rentan ditiup angin," ucapnya.

Hinca memahami ketika Ketua MA Sunarto kecewa dengan perilaku hakim-hakim di Indonesia. Akan tetapi, dia meminta Sunarto berhati-hati dalam memberikan toleransi baru lewat narasi bahwa pengadil bukan lah malaikat.

"Ketua MA boleh saja kecewa dengan perilaku sebagian anak buahnya, tetapi kehati-hatian ekstra dibutuhkan sebelum membuka pintu toleransi baru lewat narasi 'ah, kita kan bukan malaikat'. Kalimat sederhana ini berpotensi menjelma menjadi jalan pintas psikologis nan melonggarkan tali moral semua hakim," jelasnya.

"Alih-alih tetap menatap tinggi, dia justru mendidik pengadil untuk menunduk, nyaman dengan kelemahan manusiawinya, lampau terbiasa berlindung di kembali dalih keterbatasan. Ketika paradigma itu menjadi lazim, takhta wakil Tuhan pun pelan-pelan kehilangan aura sakralnya, dan para pengadil bakal mudah berbaikan dengan bayangan-bayangan nan semestinya mereka halau," tegas Hinca.

Baca buletin lengkapnya di sini.

Baca buletin lengkapnya di sini.

(kid/wis)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya