ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Peneliti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) nan juga sebagai Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra menilai tawuran nan marak terjadi di beragam wilayah bukanlah corak dari budaya nan melekat dalam masyarakat. Menurut dia, tawuran berasal masalah individual nan meluas lantaran provokasi lingkungan sekitar.
"Tawuran ya tawuran, enggak ada unsur geser-menggeser makna (budaya pamer di sosmed). Itu urusan ketersinggungan dan dendam satu orang kepada orang laen," kata dia saat dihubungi detikai.com, Rabu (14/5/2025).
Menurut Yahya, pemicu tawuran kerap kali berasal dari hal-hal sepele, apalagi tak jelas asal-usulnya. Namun, persoalan tersebut malah berkembang menjadi bentrok golongan lantaran adanya solidaritas sosial nan salah arah.
"Ketersinggungan ini diawali perihal sapele alias enggak tau asal-muasalnya. Tiba-tiba saling bersitegang," ujar dia.
Dalam pandangan Yahya, label tawuran sebagai budaya merupakan corak kekeliruan berpikir nan justru mengaburkan akar persoalan.
"Urusan pribadi nan melibatkan orang deket. Orang deket memprovokasi menjadi urusan bersama, urusan ketersinggungan dan nilai diri orang sekampung. Urusan pribadi dibawa jadi urusan kelompok/kampung dll. Karena menahun, maka dianggap budaya. Itu konyol, bukan budaya," ujar dia.
Yahya menekankan pentingnya peran tokoh masyarakat, ketua RT/RW, alias apalagi untuk mencegah tawuran sekaligus membantu menciptakan lingkungan nan kondusif dan damai.
"Banyak lingkungan nan sangat heterogen malah rukun tenteram sentosa. Ya tentu saja lingkungan dan dedengkotnya punya peran krusial bagi hidup rukun, tak terganggu dengan latar belakang SARA. Dedengkot punya peran krusial mengedukasi masyarakat untuk hidup rukun," tandas dia.