ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Nasib apes melanda Tija Kion Liong alias William Soerjadjaja di era 1950-an. Saat baru merintis bisnis, dia diterpa musibah nan mengharuskannya masuk ke penjara lantaran tuduhan korupsi tanpa dasar.
Reputasinya rusak dan perusahaannya seketika lenyap ditelan Bumi. Namun, William tak menyerah. Ia segera bangkit pasca keluar dari penjara.
Dengan support adiknya, dia membeli perusahaan impor nan berada di Jl. Sabang No. 36A, Jakarta. Perusahaan itu berada pada kondisi hidup segan meninggal tak mau. Bisnisnya kacau balau. Sedangkan kantornya sangat mini dan sering kebanjiran.
Adik William kemudian mengusulkan nama perusahaan itu berjulukan Astra. Dalam kitab Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012), Astra adalah salah satu sosok dewi Yunani Kuno nan terbang ke langit dan menjadi bintang terang.
Dengan nama tersebut, adiknya berambisi jika perusahaan abangnya bakal bernasib sama seperti dewi tersebut. Pada 20 Februari 1957, Astra International Inc resmi beraksi usai terdaftar di instansi Notaris Sie Khwan Djioe.
Mulanya Astra bergerak di sektor kebutuhan rumah tangga. Namun, selama 10 tahun pertama sejak pendiriannya, Astra melangkah terseok-seok dan berulang kali nyaris bangkrut.
Hal ini disebabkan lantaran ketidakstabilan ekonomi negara sepanjang tahun 1960-an. Jatuhnya Sukarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden membawa berkah bagi William dan perusahaan. Astra mulai menunjukkan taringnya.
Pada tahun 1966, William tertimpa durian runtuh usai mendapat pinjaman biaya dari Amerika Serikat sebesar US$ 2,9 juta. Tak hanya biaya dia juga berkuasa mengimpor apapun dari Paman Sam. Keistimewaan ini lantas menjadi kesempatan besar bagi laki-laki kelahiran 20 Desember 1922 itu.
Pada saat bersamaan, pemerintah nan sedang giat melaksanakan proyek memerlukan truk besar untuk pengangkutan. Karena importir truk besar di Indonesia tidak ketat, William menjadikan ini sebagai pintu berbisnis. Alhasil, dia memutuskan mengimpor truk Chevrolet dari AS dan menjualnya kepada pemerintah.
Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi (2000) mencatat ada 800 truk Chevrolet nan dia impor pada permulaannya. Dari sinilah awal mula dia bermain di industri otomotif.
Seiring berjalannya waktu, William kena hukuman dari AS dan tak boleh lagi mengimpor truk dalam skala besar. Alhasil, dia melirik pasar otomotif Jepang nan kebetulan belum banyak bermain di Indonesia dan diproyeksikan bakal meroket lantaran Indonesia dan Jepang sama-sama mempunyai setir kanan.
Jalinan kerjasama dengan Jepang inilah nan membawa titik kembali bagi kehidupan William. Pada Februari 1969, Astra resmi kerjasama dengan Toyota. Sejak itu, kendaraan Toyota dari mulai truk sampai mobil biasa berjamuran di Tanah Air. Perlahan, Astra juga memasarkan Honda, Isuzu dan Daihatsu. Akibatnya kendaraan Jepang makin banyak di Indonesia.
William punya strategi unik untuk menguasai pasar otomotif Indonesia dan menyingkirkan pesaing utamanya, Mitsubishi. Dia rela menggelontorkan biaya besar untuk menguasai industri otomotif dari hulu ke hilir, dari mulai pembuatan komponen hingga pendistribusian.
Tak hanya itu, dia juga menetapkan sistem manajemen ala Jepang, ialah Keiretsu. Lewat sistem ini, seorang dewan di satu perusahaan bisa menjadi komisaris di perusahaan lain. Cara ini terbukti efektif lantaran Astra dapat untung besar dan bisa mengontrol pasar dari para pesaing.
Dua upaya ini dan pemberian promo besar-besaran kepada pembeli sukses menarik animo masyarakat. Astra sukses menjadi raja otomotif Indonesia.
"Pada tahun 1990 Gaikindo menyebut bahwa Astra telah sukses menguasai lebih dari separuh pangsa pasar otomotif di Indonesia. Produk nan dihasilkan antara lain Toyota, Daihatsu, Isuzu, Nissan Diesel Trucks, Lexus, Peugeot, BMW," tulis Ricardi S. Adnan dalam The Shifting Patronage (2010).
Perlahan, gurita upaya William juga tak hanya di otomotif, tetapi juga properti, asuransi, perkebunan, dan perbankan, nan seluruhnya tergabung dalam grup Astra. Kejayaan ini membikin Astra percaya diri melantai di bursa saham pada 4 April 1990.
Sayangnya, bermain di sektor perbankan dengan mempunyai Bank Summa justru menjadi batu sandungan bagi William. Pada 1992, Bank Summa terkena masalah dan mengharuskan William menyelamatkan duit para pengguna dengan menjual seluruh kepemilikan saham di Astra. Ada nan menyebut ini adalah persekongkolan untuk menjatuhkan Astra.
Setelah kejadian itu Astra tak lagi milik William. Setelahnya Astra dipegang oleh Putra Sampoerna (14,67%), Bob Hasan (8,83%), Prajogo Pangestu (10,68%), Toyota Jepang (8,26%), Kelompok Salim (8,19%), Usman Atmadjaja (5,99%) dan sisanya tersebar di tangan publik. Namun sekarang Astra sepenuhnya dimiliki perusahaan Singapura berjulukan Jarine Cycle & Carriage Ltd dengan penguasaan 50,11% dari total saham.
Meski tak lagi di tangan William, Astra tetap berhasil menguasai pasar otomotif Indonesia hingga sekarang. Namun, kejayaan Astra sekarang tentu tak dapat dilepaskan dari peran besar William Soerjadjaja.
Semoga kisah ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus berupaya menjadi lebih baik, meski rintangan kerap menghadang.
(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Aturan Baru DHE SDA Bikin Minat Hedging Korporasi Naik
Next Article Kisah Pendiri Astra Melawan Serangan 'Konspirasi Besar'