Ihsg Sempat Anjlok Parah Jadi Tanda Ekonomi Ri Tak Baik-baik Saja

Sedang Trending 10 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Ekonom Senior INDEF sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini menyoroti kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) nan ambruk lebih dari 5% hingga perdagangan dihentikan sementara (trading halt) pada Selasa (18/3). Kondisi itu disebut disebabkan oleh campuran aspek ekonomi dan politik.

Didik mengatakan IHSG nan terjungkal beberapa hari lampau menunjukkan bahwa pasar tidak sreg dengan kebijakan nan dilakukan pemerintah sejauh ini. Penolakan itu terlihat dari modal nan hengkang dari Indonesia alias memilih instrumen lain nan lebih kondusif dari pengaruh politik.

"Semua analis pasti setuju IHSG nan terjungkal ini tidak lain lantaran aspek politik di mana pasar tidak sreg dan menolak politik ekonomi dan kebijakan nan dilakukan selama ini," kata Didik dalam keterangan tertulis, Kamis (20/3/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu nan sedang berkembang nan menjadi kekhawatiran pasar adalah mengenai revisi UU TNI nan dinilai bisa merusak masa depan demokrasi. Faktor ketidakstabilan ini menjadi trigger pasar menolak dan modal pergi ke tempat lain.

"Jangan anggap remeh politik TNI nan diolah dan dimasak oleh segelintir orang di dalam kekuasaan tidak ada hubungan dengan masalah ekonomi," ucapnya.

Menurut Didik, terpuruknya IHSG menggambarkan ekonomi Indonesia di mata penanammodal sudah tidak sehat lagi. Bahkan memperlihatkan kondisi krisis dengan indeks nan terjungkal dari tahun 2004 7.163 menjadi di level 6.000-an saat ini.

"Kondisi IHSG sebagai sirine dan termometer nan mengukur kesehatan ekonomi, memperlihatkan kondisi krisis. Apa nan menyebabkannya? Selain aspek politik, sudah jelas di depan mata adalah kebijakan ekonomi," imbuhnya.

Didik juga menyoroti peran pembentukan Danantara terhadap anjloknya IHSG. Sebenarnya dia mengaku sangat setuju dengan buahpikiran tersebut, hanya saja pembentukannya dinilai terlalu terburu-buru.

"Ide nan baik dikemas dalam kebijakan nan asal-asalan bisa menjadi bumerang. Kebijakan ekonomi pembentukan Danantara mengais reaksi pasar nan frontal," imbuhnya.

Berdasarkan catatannya, penanammodal asing kabur membawa Rp 24 triliun termasuk Rp 3,47 triliun sehari setelah Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025. Pemerintah dinilai kudu memperbaikinya dengan tidak lagi merasa kebijakan nan diluncurkan mendadak selalu bakal diterima pasar.

"Jadi perilaku pemerintah dan kebijakan jelas sebagai biang kerok dari pasar menolak. Jika dibiarkan bisa menjadi reaksi nan tidak bisa dimaafkan, 'vote of no confidence' terhadap pemerintah. Maka dari itu kudu diperbaiki, ramah terhadap pasar, datang kepada pasar dan membikin kebijakan nan propasar," saran Didik.

Selain itu, Didik menyebut tetap banyak lagi program pemerintah nan menimbulkan ketidakpastian pelaku pasar seperti kondisi fiskal dan perilaku kebijakan melenceng, garang kurang berdasar faktual, defisit anggaran melebar, hingga penerimaan pajak seret. Ketidakpercayaan terhadap APBN adalah juga penyebab dari ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan pemerintah.

"Kebijakan terhadap APBN nan sudah jelek pada pemerintahan sebelumnya, kita memandang dicabik-cabik dengan pola komando, bukan proses kerakyatan ekonomi nan transparan, terbuka dan masuk akal. Masalah utang nan dikritik publik selalu mendapat reaksi nan 'denials' dan meremehkan masukan-masukan teknokratis dari ekonomi, mahir dan pengamat. Defisit penerimaan APBN nan diumumkan terlambat juga memperjelas bahwa pengelolaan APBN tidak prudent," ucapnya.

Menurut Didik, pasar memandang kebijakan fiskal nan sekarang sebagai aspek nan membahayakan. Pasar memandang perihal ini sebagai ancaman terhadap stabilitas makroekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar.

"Investor memilih menarik diri lebih awal daripada menghadapi akibat besar modalnya ambles. Sumber masalah sangat jelas dan terang benderang, tinggal pemerintah apakah bakal membuka diri untuk perbaikan. Jika tidak, dampaknya jelas, kepercayaan pasar bakal terus merosot, penanammodal terganggu untuk investasi di Indonesia," kata Didik.

"Apakah bisa mencapai pertumbuhan 8% seperti janji kampanye? Lupakan dulu mimpi ini, pemerintah perlu berdampingan dan berbaikan kebijakan dengan pasar," tambahnya.

(acd/acd)

Selengkapnya