Ibas Soroti Isu Ai Dan Perubahan Iklim: Ekonomi Dan Ekologi Harus Bersahabat, Jadikan Ai Peluang Bukan Ancaman

Sedang Trending 11 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI dari Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menyoroti dua tantangan besar masa depan dunia, ialah kepintaran buatan (AI) dan perubahan iklim, nan meskipun tampak berbeda, sama-sama memerlukan kesiapan dan kolaborasi.

Ia menekankan pentingnya penyesuaian terhadap transformasi teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan Asia Tenggara, serta menyerukan kerja sama internasional untuk pemanfaatan AI nan etis.

Di sisi lain, Ibas menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan tidak boleh dipisahkan, dengan mendorong ekonomi hijau sebagai solusi masa depan nan menciptakan lapangan kerja, menjaga ekosistem, dan memperkuat solidaritas area ASEAN dalam menghadapi krisis suasana lintas batas.

Hal tersebut disampaikan Edhie Baskoro Ketua FPD DPR RI ketika menjadi Guest Lecture di Universiti Malaya, dengan Topik “Navigating a Changing World: ASEAN’s Path to Stability and Prosperity”, di Auditorium Faculty of Business & Economics, Rabu (30/4/25).

“Ada tantangan besar nan bakal membentuk hidup kita, ialah kepintaran buatan (AI) dan perubahan iklim. Mungkin tampak sangat berbeda, nan satu tentang teknologi, nan lain tentang lingkungan, tapi keduanya sangat besar dan mengharuskan kita untuk bersiap,” ungkap Ibas dalam pemaparannya, dalam keterangan diterima, Jumat (2/5/2025).

“Mari kita mulai dengan kepintaran buatan. AI dapat melakukan perihal menakjubkan, mereka bisa lebih pandai dari manusia, mereka bisa lebih sigap daripada apa pun, tapi itu juga membawa kekhawatiran bagi kita. Banyak orang bertanya, apakah robot bakal mengambil alih pekerjaan kita?” lanjut Ibas.

Edhie Baskoro Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini pun menyampaikan, bahwa realitanya, sejumlah pekerjaan bakal berubah bentuk, beberapa apalagi menghilang. Oleh lantaran itu, masyarakat kudu siap menghadapi transformasi ini dengan keahlian baru dan kesiapan beradaptasi.

“Itu berfaedah kita kudu siap, kita kudu siap beradaptasi. Selain itu, kita juga kudu memanfaatkan kekuatan budaya kita.”

“Kita mempunyai apa nan disebut nilai, identitas, nilai komunitas, dan tentu empati unik Asia Tenggara nan tidak dapat dimiliki oleh robot dan AI. Jadi, kita dapat merancang dan menggunakan kebutuhan AI dengan langkah nan mengutamakan manusia.”

Alumni S3 IPB University ini kemudian menekankan perlunya kerja sama internasional untuk menangani akibat AI. Tidak ada satu negara pun nan dapat mengelola akibat AI sendirian lantaran teknologi melintasi pemisah negara.

“ASEAN dapat bekerja sama menetapkan pedoman, etika teknologi untuk penggunaan AI nan etis. Dengan bersikap kooperatif dan kreatif, kita dapat mengubah AI menjadi peluang, bukan ancaman,” tegasnya.

Di hadapan mahasiswa Universiti Malaya, Dr. Edhie Baskoro Yudhoyono Wakil Rakyat Dari Partai Demokrat ini kemudian melanjutkan pemaparannya membahas tentang perubahan iklim.

“Dapatkah kita membangun negara kita tanpa merusak planet kita? Saya yakin, ya, kita bisa dan kudu melakukannya!” kata Ibas.

Ibas kemudian menegaskan bahwa solusi memperbaiki rumor perubahan suasana dan kerusakan bukan menunda demi pertumbuhan ekonomi, lantaran keduanya bisa dan kudu melangkah beriringan.

“Beberapa orang beranggapan jika ekonomi sedang terpuruk, kita kudu konsentrasi pada pertumbuhan terlebih dulu dan memikirkan lingkungan kemudian. Namun, itu pandangan nan picik. Jika kita mengorbankan lingkungan sekarang, untung ekonomi mungkin tidak bakal memperkuat lama,” tekannya.

“Yang baik adalah PDB (ekonomi) tinggi, pertumbuhan berkeadilan tinggi, dan kita juga dapat menjaga lingkungan, dapat menghirup udara bersih dan meminum air bersih.”

“Baik Malaysia maupun Indonesia telah memandang kasus di mana perusahaan mengejar untung dan menyebabkan penggundulan rimba alias menciptakan polusi, hingga merugikan masyarakat setempat. Itu kudu diubah. Pemerintah kudu menanggapinya.”

Wakil Rakyat dari Partai Demokrat Dapil Jatim VII ini kemudian menyampaikan bahwa baik Indonesia maupun Malaysia telah mengambil beberapa langkah positif, seperti larangan plastik sekali pakai di Malaysia dan tindakan norma pembakaran rimba terlarangan di Indonesia, serta penanaman 2 miliar pohon.

“Indonesia dan Malaysia juga merupakan bagian dari Perjanjian Paris. Malaysia dan Indonesia telah berjanji untuk meningkatkan daya terbarukan, menggunakan dan mencapai status netral karbon sekitar pertengahan abad ini.”

Edhie Baskoro menggarisbawahi bahwa perubahan suasana tidak mengenal pemisah negara. Jika satu negara mencemari, dampaknya dapat menyebar ke semua negara tetangga.

“Seperti kata orang, kabut asap tidak memerlukan paspor untuk melintasi perbatasan, bukan? Itulah sebabnya kerja sama regional sangat penting.”

Oleh lantaran itu, negara-negara Asia, khususnya ASEAN kudu saling membantu tetap berpegang pada komitmen hijau. “Bahkan mungkin menyiapkan kerangka kerja regional untuk untuk tanggap musibah dan perlindungan lingkungan. nan lebih penting, kita kudu memandang perjuangan melawan perubahan suasana bukan hanya sebagai beban, tetapi juga sebagai peluang.”

Ibas nan saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat Kadin pun memaparkan bahwa ekonomi hijau nan sedang berkembang dapat dimanfaatkan oleh kaum muda.

“Ekonomi hijau nan sedang berkembang pesat juga dapat dimanfaatkan oleh kaum muda. Proyek daya terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan teknologi hijau dapat menciptakan banyak lapangan kerja sekaligus menjaga lingkungan tetap aman.”

Sehingga pada dasarnya melindungi alam dapat melangkah beriringan dengan meningkatkan lapangan kerja dan ekonomi untuk masa generasi penerus bangsa.

“Berarti melindungi alam dapat melangkah seiring dengan pengurangan pengangguran. Dalam makna tertentu, ekonomi dan ekologi tidak kudu menjadi musuh, mereka dapat menjadi teman.”

“Yang kita inginkan adalah pembangunan nan berjalan selama beberapa generasi, dan itu berfaedah pembangunan kudu inklusif dan berkelanjutan,” tegasnya.

Selengkapnya