ARTICLE AD BOX
-
-
Berita
-
Politik
Kamis, 20 Februari 2025 - 23:35 WIB
Jakarta, detikai.com - Haris Rusly Moti, eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 Yogyakarta mengingatkan masyarakat mengenai adanya kepentingan geopolitik di tengah kondisi sosial bernegara. Sebab, pengaruh geopolitik nantinya berpotensi melahirkan eskalasi politik.
“Kepentingan geopolitik berpotensi mulai menunggangi situasi sosial untuk menciptakan eskalasi politik. Sejumlah kebijakan nasionalistik kerakyatan nan menjadi dasar dan arah Pemerintahan Prabowo, berpotensi mengundang masuknya tangan-tangan senyap menciptakan situasi eskalatif,” kata Haris dalam keterangannya pada Kamis, 20 Februari 2025.
Presiden RI Prabowo Subianto saat menghadiri sidang spesial laporan tahunan Mahkamah Agung (MA) RI tahun 2024 di Gedung MA, Jakarta Pusat, Rabu, 19 Februari 2025 (sumber: tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden)
Photo :
- detikai.com.co.id/Yeni Lestari
Dia kemudian menyoroti sejumlah kebijakan nan lahir di bawah kepemimpinan Prabowo, mulai dari bergabungnya Indonesia menjadi personil BRICS, pembentukan Danantara dan Bank Emas.
Kemudian, tanggungjawab penempatan 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam di dalam negeri, efisiensi untuk mengendalikan utang luar negeri dan mencegah kebocoran, serta program hilirisasi komoditi.
Haris mengatakan pada masa lampau, tangan-tangan geopolitik masuk secara terbuka melalui lembaga donor kepada sejumlah organisasi konvensional seperti LSM dan ormas. Tujuannya, dalam rangka mendikte arah kebijakan pemerintah. Namun, kini pola tersebut tampak berbeda.
“Saya memandang saat ini berbeda, polanya dengan melakukan rekayasa salah mengerti terhadap sejumlah kebijakan pemerintah untuk membenturkan masyarakat, dan mengobarkan kemarahan publik melalui social media dan open source,” ungkap dia.
Tetapi, Haris meyakini jiwa patriot Presiden Prabowo menempatkannya tidak pernah memecah belah dan membenturkan masyarakat untuk urusan kekuasaan.
“Akan tetapi, jiwa patriotik Presiden Prabowo menempatkannya tidak pernah memecah belah dan membenturkan masyarakat untuk urusan kekuasaan. Seperti nan pernah terjadi kemarin-kemarin, masyarakat diaduk-aduk melalui influencer dan buzzer, membenturkan golongan si anu dengan golongan si ono," jelas dia.
Tak hanya itu, Haris juga menyoroti beragam protes dan kritik nan muncul. Dia menilai perihal itu terjadi lantaran salah mengerti terhadap kebijakan strategis pemerintah.
Menurutnya, dasar dan arah terobosan Presiden Prabowo sudah tepat dengan sejumlah kebijakan strategisnya, tetapi memerlukan pemahaman, penyesuaian dan penyempurnaan di tingkat implementasinya.
“Jangankan mahasiswa dan masyarakat luas, apalagi para pemangku kebijakan di pusat hingga wilayah saja tetap memerlukan pemahaman dan penyesuaian dalam penyelenggaraan terhadap program strategis tersebut,” katanya.
Maka dari itu, dia menyebut wajar jika terjadi anomali dan keanehan aktivitas mahasiswa. Sebagai contoh, lanjutnya, rumor nan diangkat aktivitas mahasiswa justru mempersoalkan soal efisiensi. Padahal, efisiensi itu ditujukan untuk mencegah kebocoran dan mengendalikan utang luar negeri nan sudah menggunung.
“Menurut saya ini anomali, lantaran persoalan utang luar negeri serta kebocoran dan korupsi adalah rumor nan puluhan tahun, justru diperjuangkan oleh aktivitas sosial di Indonesia. Anomali seperti ini bisa saja terjadi lantaran salah paham. Bisa juga terjadi lantaran adanya rekayasa salah mengerti oleh kepentingan geopolitik, dan kekuatan kapital dan raja mini dalam negeri nan dirugikan oleh kebijakan tersebut,” tegas Haris.
Meski begitu, Haris setuju dengan kritik bahwa anggaran pendidikan termasuk anggaran riset dan kajian mestinya tidak menjadi objek efisiensi. Sebab, nyawanya pendidikan tinggi itu ada pada riset, penemuan dan pengabdian.
“Jika pun ada efisiensi terhadap anggaran pendidikan, mesti dilakukan secara hati-hati agar tidak mengurangi kualitas pendidikan, termasuk kesejahteraan para pendidik, akibat berkurangnya biaya pendidikan,” katanya.
Halaman Selanjutnya
Tak hanya itu, Haris juga menyoroti beragam protes dan kritik nan muncul. Dia menilai perihal itu terjadi lantaran salah mengerti terhadap kebijakan strategis pemerintah.