ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com — Amerika Serikat (AS) belakangan tengah dilanda kejadian phantom debt alias 'utang hantu', nan didorong oleh pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL).
Di AS, Wall Street umumnya menilai kondisi ekonomi konsumen AS pasca-Covid jauh lebih baik dari perkiraan, namun seorang analis mengungkap adanya celah besar nan belum diperhitungkan. Ia menyebutnya sebagai phantom debt-, ialah pengeluaran lewat skema BNPL yang sering tidak tercatat oleh biro kredit.
Di Indonesia sendiri, penyaluran BNPL oleh multifinance naik 54,26% per Mei 2025, mencapai Rp8,58 T. Selain dari multifinance, perbankan sekarang juga gencar bermain di segmen tersebut.
Direktur Pefindo Wahyu Trenggono mengatakan phantom debt bisa saja terjadi di Indonesia lantaran tidak semua info pinjaman tercatat dalam sistem resmi seperti SLIK OJK.
"Misalnya, info pinjaman dari koperasi alias pinjol nan tidak terdaftar di OJK tidak tercatat dalam info angsuran nasional. Akibatnya, jika Lembaga Jasa Keuangan (LJK) memeriksa perseorangan alias korporasi nan mempunyai pinjaman angsuran nan tidak dilaporkan di sistem SLIK, nilai credit scoring nya bakal misleading," ungkap Wahyu kepada detikai.com, Rabu, (9/7/2025).
Menurut Wahyu, credit scoring nan misleading condong membahayakan perusahaan finansial. Pasalnya, perihal ini tidak mencerminkan akibat angsuran nan sebenarnya, dan mengarah pada akibat non performing financing (NPF) hingga kandas bayar.
Asal tahu saja, tingkat NPF gross BNPL per Mei 2025 tercatat 3,74%. Angka ini turun dibanding bulan sebelumnya, 3,78%. Akan tetapi tetap condong terbilang tinggi.
"Idealnya, semua info akomodasi nan diberikan lembaga pemberi pinjaman, termasuk koperasi dan pindar, tercatat dalam sistem info pelaporan angsuran nasional. Dengan begitu, info pinjaman lebih terintegrasi dan transparan sehingga masyarakat bisa terlindungi dari akibat utang nan tidak sah," kata dia.
Sejauh ini, Pefindo menghimpun info BNPL dari lembaga jasa finansial seperti bank, multifinance dan fintech nan sudah terintegrasi di SLIK maupun melaporkan datanya langsung ke IdScore.
Sebagai salah satu penyedia jasa pay later, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi mengatakan bahwa tingkat NPF membaik seiring dengan pengetatan seleksi calon debitur pay later.
"Non-profiling financing-nya kan juga membaik. Ya, berfaedah kualitasnya juga sudah mulai membaik lantaran dengan pengetatan kredit kita menjaga agar jangan sampai sudah nggak bisa tumbuh terjadi pemburukan kualitas," kata Suwandi dikonfirmasi terpisah.
Meski demikian, Suwandi mengatakan, kontribusi pay later kepada pembiayaan multifinace nilainya tetap kecil.
"Tapi ya memang itu salah satu pengganti orang sudah duitnya juga terbatas ya, salah satunya ya dengan adanya BNPL mereka bisa lebih mengatur cash flow-nya. Tapi nan saya imbau adalah jika sudah mendapatkan pinjaman dan mengambil pinjaman dari BNPL, jangan lupa dibayar," ungkapnya.
Kembali ke kejadian di Amerika Serikat, CEO Citi Jane Fraser mengingatkan adanya "retakan" pada golongan berpendapatan rendah, sementara analis Wells Fargo menyoroti tren finansial pribadi nan sering luput dari perhatian, ialah konsumen membeli produk tanpa langsung melunasi pembayaran.
Melansir Forbes.com, pembayaran dilakukan secara mencicil dalam jangka waktu tertentu, terkadang disertai biaya jasa alias skema pembayaran nan berubah sesuai akibat angsuran konsumen.
Masalahnya bagi para ekonom, banyak platform BNPL enggan membagikan info transaksi konsumen ke biro angsuran lantaran cemas bakal merusak skor angsuran pengguna. Contohnya, Afterpay sama sekali tidak melaporkan datanya, sedangkan Klarna hanya membagikannya ke lembaga angsuran di Inggris.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Warga RI Pakai Paylater Bank hingga Rp 22,57 Triliun