ARTICLE AD BOX
Jadi intinya...
- Qodari menilai MK melampaui kewenangan mengenai putusan Nomor 135.
- Putusan MK bertentangan dengan Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945.
- MK dinilai menyimpang dari kegunaan penjaga konstitusi negara.
detikai.com, Jakarta - Wakil Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah bertindak melampaui kewenangannya dan melanggar konstitusi, khususnya mengenai putusan Nomor 135/PUU-XXI/2025 nan memisahkan agenda penyelenggaraan Pemilu DPRD dari pemilu nasional.
Menurut Qodari, putusan tersebut bertentangan dengan Pasal 22E Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, nan menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun.
“MK sangat kebablasan. Tugas MK itu menurut Pasal 24C adalah menguji undang-undang terhadap UUD, bukan membikin norma baru nan bertentangan dengan konstitusi,” ujar Qodari saat diwawancarai di Jakarta, Kamis (11/7/2025).
Ia menambahkan, jika putusan tersebut dijalankan, maka penyelenggaraan Pemilu DPRD tidak lagi berjalan lima tahun sekali, nan menurutnya jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
“Kalau putusan ini diikuti, maka pemilu DPRD tidak lagi lima tahun sekali. Itu jelas melanggar Pasal 22E Ayat 2. Ini keputusan nan inkonstitusional,” tegasnya.
Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan wilayah mulai 2029. MK menilai pemilu serentak membikin masyarakat jenuh dan tidak fokus.
Ciptakan Konflik dan Kebuntuan Konstitusi
Qodari juga menyatakan bahwa putusan tersebut menimbulkan kebuntuan konstitusi, lantaran isinya berkonflik langsung dengan dasar norma tertinggi negara. Sementara itu, setiap putusan MK berkarakter final dan mengikat.
“Kita masuk ke situasi nan tidak ada presedennya. Pemerintah serba salah. Kalau diikuti, artinya melanggar UUD. Tapi jika tidak dijalankan, artinya mengabaikan putusan MK,” jelasnya.
Lebih lanjut, Qodari menyebut MK telah menyimpang dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi.
“Ini serius. MK telah bertindak inkonstitusional. Seharusnya mereka menjaga konstitusi, bukan menabraknya. Kita butuh pembenahan serius dalam sistem peradilan konstitusional,” kata dia.
Kritik Pertimbangan-pertimbangan MK
Qodari juga mengkritik pertimbangan-pertimbangan MK dalam putusan tersebut, nan dinilainya berkarakter subjektif dan tidak berbasis pada kebenaran empiris nan kuat. Salah satu contoh, menurutnya, adalah dugaan bahwa partai politik kesulitan menyiapkan calon legislatif dan pelaksana secara berbarengan akibat padatnya agenda pemilu.
“Itu opini. Faktanya selama ini partai bisa-bisa saja menyiapkan kandidat legislatif dan eksekutif. Jadi tidak bisa dijadikan argumen untuk memutus pemilu dipisah,” ujarnya.
Qodari menilai argumen MK dalam perkara ini condong spekulatif dan tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar perubahan mendasar terhadap sistem pemilu nan selama ini telah melangkah serentak dan efisien.
Ia menyerukan perlunya pertimbangan menyeluruh terhadap peran serta pemisah kewenangan MK, guna mencegah terjadinya intervensi terhadap ranah pembentukan undang-undang di masa mendatang.
“Kalau MK terus seperti ini, maka sistem ketatanegaraan kita bakal rusak. Kewenangan nan absolut tapi tidak terkendali itu sangat berbahaya,” pungkasnya.
Pemisahan Pemilu Level Nasional dan Daerah
Sebelumnya, MK memutuskan penyelenggaran Pemilu di tingkat nasional kudu dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan Pemilu di tingkat wilayah alias lokal.
MK pun mengusulkan pemungutan bunyi nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.
"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai," kata Ketua MK, Suhartoyo saat mengucapkan Amar Putusan pada Kamis, 26 Juni 2025.
"Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih personil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, personil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota nan dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun alias paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan personil Dewan Perwakilan Rakyat dan personil Dewan Perwakilan Daerah alias sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden," sambungnya.