Dunia Haus Nikel Cs, Butuh Rp 66.830 Kuadriliun Untuk Transisi Energi

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski kebanyakan pemimpin bumi telah berkomitmen untuk mendukung transisi energi, produksi minyak dan gas terus meningkat, sementara batu bara tetap menjadi komoditas nan paling banyak ditambang di dunia.

Namun, untuk mengubah pasokan daya bumi ke pengganti nan lebih berkelanjutan, perusahaan pertambangan berlomba-lomba membuka wilayah baru untuk ekstraksi logam seperti litium, nikel, kobalt, dan tembaga - nan bakal sangat krusial untuk membangun baterai dan menggerakkan teknologi hijau lainnya.

Permintaan untuk mineral krusial ini telah melonjak, begitu pula untuk unsur logam tanah jarang seperti neodymium, nan digunakan untuk membangun magnet nan kuat untuk turbin angin. Permintaan untuk tembaga juga diperkirakan bakal melonjak hingga 50 persen pada tahun 2040, sementara litium bakal mengalami pertumbuhan permintaan delapan kali lipat dalam periode nan sama.

Konsultan Wood Mackenzie memperkirakan bahwa sekitar $ 4,1 triliun alias setara Rp 66.830 kuadriliun perlu dihabiskan untuk menambang, memurnikan, dan melebur mineral krusial tersebut, untuk memenuhi tujuan suasana global.

Setiap kekurangan pasokan mineral yang berlarut-larut dapat menyebabkan kemacetan dalam transisi daya bersih. Namun, dengan logam-logam utama nan terkonsentrasi di wilayah-wilayah nan telah menjadi medan pertempuran untuk sumber daya hijau, meningkatnya persaingan geopolitik dapat membantu membawa lebih banyak logam tersebut ke pasar.

Tiongkok saat ini mendominasi ekstraksi dan pemurnian mineral-mineral penting, mengendalikan lebih dari 80% pemrosesan. Industri pertahanan AS telah mengeluh selama beberapa dasawarsa tentang paparan terhadap rantai pasokan Tiongkok untuk mineral-mineral tersebut, tetapi penggunaannya dalam barang-barang hijau baru-baru ini telah membawa masalah tersebut menjadi perhatian umum.

Pemerintah dan lembaga finansial di AS dan Eropa telah menetapkan beragam persyaratan untuk kepatuhan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), termasuk Prinsip Ekuator nan telah lama bertindak - tolok ukur nan digunakan oleh industri keuangan. Namun, dengan begitu banyak undang-undang baru nan mulai berlaku, seperti sistem penyesuaian perbatasan karbon Eropa - nan mengenakan pajak atas beberapa impor nan mengandung gas rumah kaca secara intensif - dan pengarahan uji tuntas nan baru, golongan pertambangan mengeluh bahwa kepatuhan terhadap standar ESG nan sangat banyak dapat merusak daya saing.


(fsd/fsd)

Saksikan video di bawah ini:

Video:Pengusaha Tambang & Alat Berat Ungkap "Masalah" Bisnis Batu Bara

Next Article VALE Tolak Tudingan "Dirty Nickel" Hingga Dukung Dekarbonisasi RI

Selengkapnya