ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) nan diperingati setiap 2 Mei selalu menjadi momentum refleksi kritis terhadap arah pendidikan di Indonesia.
Di mana, di era globalisasi dan digitalisasi ini, soft skills alias life skills seperti keahlian berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan masalah, justru menjadi kunci bagi siswa dalam menghadapi beragam tantangan masa depan.
Hal itu seperti disampaikan Pakar Pendidikan Antarina SF Amir nan juga merupakan salah satu cucu dari pahlawan nasional, Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya berjudul 'Life Skills for All Learners: How to Teach, Asses, and Report Education’s New Essential' nan diterbitkan ASCD, Amerika Serikat.
"Ada delapan pilar krusial life skills nan perlu dibentuk melalui proses pembelajaran dari pendidikan anak usia awal (PAUD) hingga pendidikan dasar menengah (SD, SMP, dan SMA)," ujar Antarina, melalui keterangan tertulis jelang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Kamis (1/5/2025).
Buku nan disusun Antarina SF Amir, Thomas R. Guskey dan tim Redea Institute ini membahas delapan esensial life skill tersebut, ialah Meta Level Reflection, Expert Thinking, Creativity and Innovation, Adaptability and Agility, Audience Center Communication, Synergistic Collaboration, Emphatic Social Skills, serta Ethical Leadership.
"Fondasi pendidikan nan kokoh kudu diletakkan sejak usia awal hingga sekolah menengah atas. Ini mencakup pengembangan keahlian berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi, serta, berkolaborasi," terang Antarina nan sempat menjadi pembicara di konvensi pendidikan internasional di Hong Kong dan New York, Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu.
Keterampilan-keterampilan dasar ini, lanjut dia, bakal menjadi landasan bagi siswa untuk belajar secara mandiri, bekerja sama dengan orang lain, serta memahami dan mengolah info di beragam bagian ilmu.
Pola pikir alias mindset sangat mempengaruhi kesuksesan. Ada dua jenis pola pikir nan dimiliki manusia, ialah Fixed Mindset dan Growth Mindset. Kamu nan mana?
Gen Z Dianggap Generasi Melek Teknologi
Antarina juga menyampaikan, Generasi Z alias Gen Z nan tumbuh di era digital (digital native) seringkali dianggap sebagai generasi nan melek teknologi.
"Namun, minimnya keahlian Meta Level Reflection dan Expert Thinking dapat menghalang literasi digital mereka nan sebenarnya," ucap dia.
"Literasi digital bukan hanya tentang keahlian menggunakan perangkat dan aplikasi, tetapi juga tentang keahlian untuk mengevaluasi info secara kritis, memahami implikasi etis dari teknologi, serta menggunakan teknologi secara bertanggung jawab dan produktif," sambung Antarina.
Menurut dia, jika Gen Z tidak mempunyai keahlian Meta Level Reflection dan Expert Thinking nan kuat, mereka mungkin menjadi konsumen pasif teknologi, mudah terpengaruh oleh disinformasi, dan kurang bisa memanfaatkan teknologi untuk penemuan dan pemecahan masalah.
Antarina menekankan, pendidikan kudu berfokus pada pengembangan keahlian nan relevan dengan kebutuhan bumi saat ini.
"Keterampilan hidup bukan hanya tentang keahlian teknis, tetapi juga mencakup soft skills nan sangat krusial dalam hubungan sosial. Kita perlu membekali siswa dengan keahlian nan memungkinkan mereka untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi tantangan nan terus berubah," papar dia.
Membangun Kompetensi dan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai
Selain skill alias kompetensi, dalam konteks bumi nan semakin kompleks dan terhubung, Antarina juga menyoroti pentingnya pengembangan keahlian empati sosial (empathetic social skills) dan kepemimpinan etis (ethical leadership).
"Kemampuan empati sosial memungkinkan perseorangan untuk memahami dan merasakan perspektif orang lain, membangun hubungan nan positif, dan berkontribusi pada masyarakat secara konstruktif," kata dia.
Sementara itu, lanjut Antarina, kepemimpinan etis membekali perseorangan dengan keahlian untuk memimpin dengan integritas, tanggung jawab, dan moralitas.
"Pendidikan kudu bisa mengembangkan perseorangan nan tidak hanya pandai secara intelektual, tetapi juga mempunyai kepekaan sosial dan moral nan tinggi. Hal ini relevan dengan tantangan dunia seperti disinformasi, intoleransi, dan krisis kemanusiaan," ucap dia.
"Pendidikan karakter adalah tentang membentuk perseorangan nan tidak hanya mempunyai pengetahuan, tetapi juga mempunyai nilai-nilai nan kuat dan ketika kita mengajarkan karakter, kita tidak hanya membentuk individu, tetapi juga membangun masyarakat nan lebih baik," sambung Antarina.
Pendidikan Karakter Tak Terbatas pada Mata Pelajaran Tertentu
Antarina menekankan, pendidikan karakter tidak terbatas pada mata pelajaran tertentu, melainkan dapat diintegrasikan ke dalam seluruh kurikulum dan aktivitas sekolah.
Dia mencontohkan penguatan karakter dan nilai dapat dilakukan melalui beragam cara, termasuk aktivitas ekstrakurikuler, proyek kolaboratif, dan hubungan sehari-hari di sekolah.
"Misal saat proses anak-anak makan bersama, dalam aktivitas itu dalam diselipkan penguatan karakter, nilai, norma sosial, dan kesadaran bakal lingkungan," ucap Antarina.
"Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi bagian menyeluruh dalam proses pembelajaran tanpa kudu terkotak-kotak dalam mata pelajaran tertentu saja. Pendekatan ini memungkinkan siswa menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam pengalaman nyata dan hubungan sosial positif," sambung dia.
Menariknya, dalam kitab nan mendapatkan respons positif dari dalam dan luar negeri ini, Antarina mengangkat salah satu filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara nan mendalam dan relevan hingga sekarang ialah Niteni (mengamati), Nirokke (meniru), dan Nambahi (mengembangkan).
"Filosofi 3N Ki Hadjar Dewantara menggambarkan proses belajar nan bergerak dan berkelanjutan. Niteni menekankan pentingnya observasi dan pengamatan nan jeli terhadap lingkungan sekitar," ucap dia.
Antarina menjelaskan, Nirokke menunjukkan bahwa meniru alias mempelajari dari contoh-contoh nan baik adalah bagian dari proses belajar. Dan nan terpenting, Nambahi membujuk untuk tidak hanya meniru, tetapi juga mengembangkan, menambahkan, dan menciptakan sesuatu nan baru.
"Filosofi ini menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga pengembangan kreativitas, inovasi, dan keahlian berpikir kritis," jelas Antarina.