Banggar Dpr Soroti Asumsi Makro 2026, Perlu Target Realistis-optimis

Sedang Trending 8 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, telah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan dugaan ekonomi makro sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2026) dalam sidang paripurna DPR RI nan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2025.

Dalam pemaparannya, pemerintah menetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2-5,8%, dengan inflasi diperkirakan berada pada kisaran 1,5-3,5%. Nilai tukar rupiah diprediksi berada pada level Rp16.500-16.900 per dolar AS, sementara suku kembang SBN diproyeksikan sebesar 6,6-7,2%.

Untuk sektor energi, pemerintah menetapkan nilai minyak mentah Indonesia (ICP) pada kisaran US$60-80 per barel, dengan sasaran lifting minyak bumi sebesar 600-605 ribu barel per hari dan lifting gas bumi 953-1017 ribu barel setara per hari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Postur APBN 2026 diperkirakan mencakup pendapatan negara sebesar 11,7-12,2% dari PDB, shopping negara 14,19-14,75% dari PDB, dan defisit APBN 2,48-2,53% dari PDB.

Sementara untuk sasaran kesejahteraan, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan pada kisaran 6,5-7,5%, tingkat pengangguran 4,44-4,96%, gini rasio 0,377-0,380, dan Indeks Modal Manusia 0,57.

Menanggapi perihal tersebut, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyoroti beberapa perihal nan menurutnya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.

"Kebijakan perang tarif telah mengguncang tata perdagangan global. Dan memperhadapkan perdagangan dunia dalam situasi nan proteksionis, nan sesungguhnya berlawanan dengan prisip dan komitmen dari kerjasama perdagangan regional dan dunia nan mutualistik," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (20/5).

Ia melanjutkan, pemerintah perlu menggalang support dari organisasi internasional untuk mengoreksi praktik pengenaan tarif sepihak nan kerap dibalas dengan retaliasi.

Said juga mengkhawatirkan adanya tantangan shortfall pajak pada 2025 nan kemungkinan bakal bersambung pada tahun berikutnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya nilai komoditas ekspor, menurunnya sejumlah pabrikan, dan turunnya tingkat konsumsi rumah tangga.

"Oleh karena itu pemerintah perlu memikirkan sasaran pendapatan negara nan realistis-optimistis. Untuk itu diperlukan kebijakan ekstensifikasi perpajakan, setidaknya dari sisi cukai, tarif minerba, dan sektor digital," kata dia.

Dirinya juga menekankan pentingnya percepatan program ketahanan pangan dan energi. Ia menilai program redistribusi lahan 4,5 juta hektar bagi petani dan perkebunan rakyat perlu dilanjutkan, termasuk penyiapan tenaga kerja terampil pedesaan dan support teknologi terapan untuk sektor pertanian.

Di sektor energi, Said menyoroti pentingnya melanjutkan pembangunan lima kilang minyak bumi, termasuk kilang petrokimia di Tuban nan tersendat. Ia juga mendorong agar kontribusi program Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mempunyai porsi nan lebih besar dalam produksi dan konsumsi daya nasional.

Perhatian lain nan disoroti adalah pelemahan sektor industri nan menurutnya berakibat pada turunnya jumlah kelas menengah. Mengutip info BPS, terlihat adanya penurunan kelas dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024, nan berfaedah sekitar 9,48 juta orang turun kasta dari kelas menengah.

"Pemerintah perlu merevitalisasi sektor industri dengan menyiapkan ekosistem industri nan menopangnya seperti tenaga kerja, support pendanaan, riset dan pengembangan teknologi, serta support fiskal," tegasnya.

Said juga mengingatkan pemerintah untuk menetapkan sasaran nan lebih progresif dalam mengurangi pengangguran dan kesenjangan sosial. Menurutnya, sasaran pengangguran sebesar 4,44-4,96% dan gini rasio 0,377-0,380 untuk 2026 belum menunjukkan adanya perbaikan signifikan dari kondisi saat ini.

Ia berambisi agar kebijakan fiskal 2026 tidak hanya konsentrasi pada stabilitas makro, tetapi juga lebih progresif dalam menciptakan lapangan kerja, memperkuat daya beli masyarakat, dan mengurangi kesenjangan sosial secara nyata.

(rir)

Selengkapnya