As-china Mendadak 'mesra' Lagi, Ini Yang Perlu Diwaspadai Ri

Sedang Trending 9 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Kesepakatan Amerika Serikat (AS) dengan China dalam melakukan 'gencatan senjata' membikin kekhawatiran bakal gonjang-ganjing perekonomian dunia mulai mereda. Meski begitu, Indonesia tetap kudu waspada di tengah kondisi tersebut.

Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, mengingatkan walaupun ada sedikit ketenangan di pasar akibat 'gencatan senjata' selama 90 hari ini, belum tentu pergolakan ekonomi dunia seketika sirna. Para penanammodal pun terpantau sekarang memasang mode 'was-was'.

"Bagi pasar itu tetap waswas juga. Selama 90 hari tidak diterapkan biaya impor, tapi setelah 90 hari bakal diterapkan biaya impor, ialah impor Tiongkok ke Amerika 30%, impor Amerika ke Tiongkok 10%. Artinya apa, tetap bakal ada perang dagang," kata Ibrahim, kepada detikaicom, Selasa (13/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, Ibrahim menilai, tindakan 'gencatan senjata' ini menjadi salah satu aspek nan menyebabkan nilai emas mulai melandai. Pergolakan juga semakin mereda ditambah dengan penurunan tensi geopolitik antara Israel dengan Palestina. Nilai dolar terhadap mata duit negara lainnya juga diperkirakan bakal mengalami penguatan.

"Ini nan sedikit membikin kegaduhan geopolitik, kemudian kegaduhan perang dagang, ini sedikit landai. Ini nan membikin nilai emas itu turun. Kemudian di sisi lain pun juga kebijakan bank sentral Amerika kemungkinan besar bakal membahas tentang penurunan suku kembang bulan Juli," ujarnya.

Meski demikian, Ibrahim meyakini bahwa kondisi penurunan nilai emas sendiri tidak bakal berjalan lama dan emas bakal kembali bangkit. Salah satu pendorongnya, bentrok Rusia-Ukraina tetap terus berjalan.

Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga mengingatkan, akibat rendahnya tarif China dibandingkan Indonesia ke pasar AS bakal menurunkan daya saing ekspor Indonesia.

"Produk asal Indonesia seperti tekstil, dasar kaki dan busana jadi bisa direbut oleh China. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan peralatan separuh jadi," kata Bhima, dihubungi terpisah.

Sedangkan untuk akibat terhadap kemungkinan PHK di sektor padat karya, ini bakal berjuntai seberapa mini tarif nan bakal dibebankan ke Indonesia. Menurut Bhima, jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, nan terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China.

"Investasi dari AS dan negara Eropa justru masif ke China dibanding negara pengganti lainnya termasuk ke Indonesia. Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah Q1 2025 PMTB tercatat kontraksi -7,4% (q-to-q) dibanding kuartal sebelumnya," ujarnya.

Di samping itu, menurutnya, Indonesia juga kudu lebih garang melobi AS dengan gunakan pembaruan IUPK Freeport, serta relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga nan sedang dinikmati Freeport. Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China.

"Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China nan sebesar 30%. Tetap perlu diwaspadai masuknya peralatan impor asal China, Vietnam dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jarak negosiasi. Pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan peralatan impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS," kata dia.

(shc/eds)

Selengkapnya