Alarm Pasar Saham Ambruk Terlihat Di Gejala Orang Kaya

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com - Belanja konsumen sangat dipengaruhi oleh segmen affluent, nan sangat berjuntai pada pada pasar saham. Lantas, koreksi pasar saham secara dunia dalam beberapa minggu terakhir lebih dari sekadar indikasi potensial dari ekonomi nan sedang merosot, tapi dapat menyebabkan kejatuhan.

Setelah "bersorak" atas terpilihnya Presiden Trump pada bulan November, pasar saham Amerika Serikat (AS) dan dunia telah jatuh. The Wall Street Journal mengatakan penyebabnya adalah penanammodal nan mencemaskan perang tarif nan garang dan sigap berubah dari Gedung Putih dapat menggagalkan soft landing.

Pada hari Kamis lalu, S&P 500 ditutup turun lebih dari 10% dari titik tertingginya di bulan Februari. Indeks tersebut kembali memangkas koreksinya pada hari Jumat lalu, namun secara year to date (ytd) telah turun 4,1%.

Suasana hati penanammodal mungkin sudah berubah menjadi suram, tetapi penurunan pasar mungkin hanya awal dari reaksi berantai nan menyebabkan lebih banyak kerusakan tambahan. Ekonom Harvard Gabriel Chodorow-Reich memperkirakan bahwa dengan semua perihal lain nan sama, penurunan saham sebesar 20% pada tahun 2025 dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi AS hingga satu persen poin tahun ini.

Harga saham nan jatuh dapat menyedot bahan bakar dari dua mesin utama kemakmuran AS baru-baru ini: pengeluaran nan kuat oleh rumah tangga dan investasi modal oleh bisnis.

"Dalam ekonomi nan sangat terfinansial seperti Amerika, nilai aset dapat memimpin ekonomi, bukan sebaliknya," kata Alex Chartres dari Ruffer, seorang manajer biaya Inggris, kepada The Wall Street Journal, dikutip Senin (17/3/2025).

"Penurunan pasar aset menciptakan akibat melemahnya kondisi dalam ekonomi riil."

S&P tercatat naik 53% selama tahun 2023 dan 2024, keduanya mencerminkan dan mempertahankan ekonomi nan kuat. Di samping nilai rumah nan lebih tinggi, kenaikan saham memberikan penduduk Amerika terkaya lebih banyak penghasilan untuk berbelanja. Menurut Moody's, orang kaya nan merupakan 10% penerima pendapatan terbanyak di AS, sekarang menguasai sekitar separuh dari semua pengeluaran, naik dari 36% tiga dasawarsa lalu.

Pada tahun 2022, family dalam kategori golongan 10% pendapatan teratas, rata-rata, masing-masing mempunyai sekitar US$2,1 juta saham. Jumlah itu sekitar 32% dari kekayaan bersih mereka, menurut survei Federal Reserve baru-baru ini.

Pada tahun 2010, saham menguasai sekitar 26% dari kekayaan bersih rata-rata untuk golongan ini. Selama empat tahun terakhir, golongan penerima pendapatan 10% teratas ini telah meningkatkan shopping mereka hingga 58%.

Bukan hanya orang-orang terkaya nan berinvestasi di saham. Data the Fed menunjukkan pada akhir tahun lalu, 43% aset finansial rumah tangga Amerika berada dalam corak saham, porsi tertinggi nan pernah ada. Banyak rumah tangga berpendapatan rendah tidak mempunyai ekuitas, tetapi proporsi nan memilikinya terus meningkat.

Itulah sebabnya beberapa ahli ekonomi cemas kemerosotan pasar saham nan serius dapat mendorong penduduk AS untuk mengurangi segala hal, mulai dari liburan hingga busana baru, perubahan nan disebut "wealth effect." Jika saham hanya memperkuat stabil tahun lampau daripada menguat, shopping konsumen hanya bakal tumbuh sekitar 2% tahun lalu, bukan 3%. Menurut perkiraan ahli ekonomi Deutsche Bank, itu sebagian didorong oleh wealth effect pasar saham.

Beberapa tanda menunjukkan shopping mungkin sudah menurun. Perusahaan termasuk Delta Air Lines, Foot Locker, dan Brown-Forman, kreator wiski Jack Daniel's, semuanya mengatakan konsumen tampak lebih berhati-hati. Pada bulan Januari, penjualan satuan turun 0,9%, penurunan bulanan terbesar sejak 2023, tetapi beberapa ahli ekonomi menyalahkan cuaca dingin nan tidak biasa sebagai penyebab.

Pada hari Jumat, Universitas Michigan melaporkan bahwa sentimen konsumen telah turun ke level terendah sejak akhir tahun 2022, sebagian lantaran ekspektasi nan lebih rendah untuk finansial pribadi dan pasar saham.

Banyak orang mempunyai sasaran dolar kasar untuk masa pensiun. Matthew Luzzetti, kepala ahli ekonomi AS di Deutsche Bank, mengatakan jika jatuhnya saham membikin sasaran tersebut makin susah dicapai, konsumen bisa mengurangi pengeluaran untuk menutupi selisihnya.


(ayh/ayh)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Boy Thohir Dukung Aturan Buyback Saham Tanpa RUPS

Next Article Menguat! Potret Bursa Saham di Hari Pertama Prabowo-Gibran

Selengkapnya