ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Indonesia terkenal dengan Sumber Daya Alam (SDA) nan melimpah. Kekayaan tanah air bukan hanya tambang, tapi juga hasil alam dari pertanian dan perkebunan. Hasil pertanian dan perkebunan ini pun jadi jagoan ekspor Indonesia seperti sawit.
Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terus menjadi perhatian. Pada perdagangan Selasa (28/1/2025), perjanjian CPO untuk berada di MYR 4.192 per ton. Pergerakan ini menggambarkan tantangan sekaligus kesempatan bagi sektor kelapa sawit di tengah dinamika dunia dan kebijakan domestik.
Produksi minyak sawit dari dua produsen utama, Indonesia dan Malaysia, diperkirakan mengalami penurunan akibat cuaca ekstrem dan tantangan logistik. Hal ini memicu kekhawatiran bakal keterbatasan pasokan. Padahal, pada Juli 2021, ekspor sawit sebesar US$ 2,8 miliar.
Namun, laporan ekspor dari Intertek Testing Services dan AmSpec Agri Malaysia menunjukkan bahwa pengapalan produk sawit dari Malaysia turun hingga 23% pada periode 1-20 Januari 2025 dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan permintaan dari pasar besar seperti India dan Pakistan menjadi aspek utama lemahnya ekspor.
Sementara itu, China tetap menjadi pasar dominan dengan peningkatan permintaan sebesar 19,76% sepanjang 2024. Namun, ketergantungan pada pasar ini menimbulkan akibat baru. Di tengah persaingan minyak nabati seperti minyak kedelai dan kembang matahari, produsen sawit Indonesia perlu mencari diversifikasi pasar untuk menjaga daya saing.
Kebijakan pemerintah Indonesia nan mengharuskan eksportir menyimpan 100% devisa hasil ekspor (DHE) di bank domestik mulai Maret 2025 menjadi tantangan tambahan. Langkah ini bermaksud memperkuat likuiditas domestik, tetapi menambah beban bagi pelaku industri nan kudu menahan modal selama satu tahun penuh.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis kebijakan ini bakal menciptakan stabilitas ekonomi nan lebih baik. Namun, pelaku industri mengkhawatirkan dampaknya terhadap margin keuntungan, terutama di tengah nilai CPO nan fluktuatif. Dengan biaya produksi nan terus meningkat, kebijakan ini dapat memengaruhi daya saing eksportir di pasar global.
Dari perspektif teknikal, nilai CPO saat ini berada di area netral bearish dengan Relative Strength Index (RSI) berada di level 48. Stochastic RSI nan berada di 3,54 mengindikasikan kondisi oversold, memberikan kesempatan untuk rebound dalam jangka pendek. Level resistensi krusial berada di MYR 4.350 per ton, sementara support terdekat berada di MYR 4.111 per ton.
Jika nilai sukses menembus pivot di MYR 4.558, kesempatan penguatan ke MYR 4.667 hingga MYR 4.860 menjadi lebih besar. Sebaliknya, kegagalan mempertahankan level support bisa mendorong nilai turun lebih dalam, mencerminkan ketidakpastian pasar.
Harga CPO sepanjang Januari 2025 menunjukkan volatilitas nan tinggi, mencerminkan dinamika pasar dunia dan kebijakan domestik. Meskipun ada tantangan signifikan, prospek tetap menjanjikan jika pelaku industri bisa beradaptasi dengan cepat. Diversifikasi pasar, efisiensi produksi, dan penemuan teknologi menjadi kunci utama menghadapi persaingan global.
Bagi eksportir, 2025 adalah tahun di mana strategi menjadi penentu. Di tengah tantangan kebijakan dan tekanan pasar, memanfaatkan kesempatan dalam ketidakpastian bakal menjadi pembeda antara keberhasilan dan kegagalan. Karena, seperti nan sering diingatkan, "di kembali setiap tantangan, selalu ada kesempatan nan menanti untuk digarap."
(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Prospek Bisnis Sawit di Tengah Kenaikan Harga CPO
Next Article Sosok 12 Juragan Sawit Indonesia, Ini nan Paling Tajir