ARTICLE AD BOX
Jadi intinya...
- MK putuskan pemilu nasional dan wilayah dipisah minimal 2 tahun.
- Demokrat cemas kekosongan DPRD lantaran tak ada Pj pengganti.
- DPR kaji putusan MK, PKB usul kepala wilayah dipilih DPRD.
detikai.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan wilayah dipisahkan dengan jarak waktu paling singkat dua tahun alias paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan personil DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan personil DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
Sejumlah pihak pun angkat bicara merespons putusan MK mengenai pemilu tersebut. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, menyebut salah satu dampaknya adalah kemungkinan terjadinya kekosongan kedudukan di DPRD.
Hal ini lantaran tidak ada sistem penunjukan penjabat sementara (Pj) untuk personil DPRD, berbeda dengan kepala daerah.
"Jadi mungkin kawan-kawan juga mungkin sudah tahu bahwa ada dua perspektif pandang nan berbeda. Sudut pandang nan pertama bahwa untuk pemisahan ini sebetulnya bagus. Hanya ketika memisahkan DPRD, dalam undang-undang tidak ada nan namanya DPRD sementara," kata dia usai main Padel bareng dalam turnamen 'Padel Kali Bos' di Republic Padel, TB Simatupang, Minggu 13 Juli 2025.
"Kalau Bupati, Wali Kota ada namanya PJS. DPRD tidak ada, dan DPRD itu di dalam konstitusi kita itu hanya lima tahun sekali," sambung dia.
Kemudian, Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan fraksi-fraksi di DPR tengah mengkaji soal hasil putusan MK nan memutuskan pemisahan pemilu nasional dan daerah.
"Semua partai, kami juga ketua terdiri dari partai-partai politik tetap mengkaji, mengenai putusan di internalnya masing-masing dan nantinya tentu saja putusan ini memberikan pengaruh kepada semua partai," kata Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat 4 Juli 2025.
Berikut sederet respons sejumlah pihak mengenai putusan MK nan memutuskan penyelenggaraan pemilu nasional dan wilayah dipisahkan dihimpun Tim News Liputa6.com:
Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan wilayah mulai 2029. MK menilai pemilu serentak membikin masyarakat jenuh dan tidak fokus.
1. Waketum Demokrat Soroti Tantangan nan Harus Disikapi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu wilayah mulai 2029 dinilai berpotensi menimbulkan masalah baru.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, menyebut salah satu dampaknya adalah kemungkinan terjadinya kekosongan kedudukan di DPRD. Hal ini lantaran tidak ada sistem penunjukan penjabat sementara (Pj) untuk personil DPRD, berbeda dengan kepala daerah.
"Jadi mungkin kawan-kawan juga mungkin sudah tahu bahwa ada dua perspektif pandang nan berbeda. Sudut pandang nan pertama bahwa untuk pemisahan ini sebetulnya bagus. Hanya ketika memisahkan DPRD, dalam undang-undang tidak ada nan namanya DPRD sementara," kata dia usai main Padel bareng dalam turnamen 'Padel Kali Bos' di Republic Padel, TB Simatupang, Minggu 13 Juli 2025.
"Kalau Bupati, Wali Kota ada namanya PJS. DPRD tidak ada, dan DPRD itu di dalam konstitusi kita itu hanya lima tahun sekali," sambung dia.
Dede Yusuf menjelaskan, masalah lain perubahan itu otomatis mengharuskan adanya perombakan di banyak undang-undang. Bukan hanya UU Pemilu, tapi juga UU Pemerintahan Daerah, UU Pilkada, sampai UU Otsus Papua.
"Oleh lantaran itu, ini tentu bakal susah memisahkannya lantaran pada dasarnya kelak bakal merubah beberapa undang-undang lainnya. Undang-undang pemerintahan daerah, undang-undang pilkada, termasuk kelak undang-undang seperti Otsus dan lain-lain," ujar dia.
Menurut Dede, MK melewati pemisah kewenangannya dengan menetapkan norma baru, bukan hanya menguji alias mencabut ketentuan undang-undang.
"MK itu mengevaluasi, mencabut alias mungkin melakukan koreksi, tapi tidak membikin norma baru," ucap dia.
Dia menilai, polemik ini kudu segera disikapi. Salah satu solusi nan diusulkan membikin UU baru soal penjabatan sementara DPRD. "Apakah opsi-opsi lainnya bisa membikin undang-undang baru. Sehingga bukan merevisi, tetapi kita bisa mengakomodir," ucap dia.
Dede Yusuf mewanti-wanti, jika putusan MK dijalankan tanpa revisi aturan, maka masa kedudukan DPRD bisa kosong hingga 3,5 tahun.
"Poin utamanya adalah jika Pilkada dan DPRD, 2 tahun setelah pelantikan, maka kita bisa hitung jika DPR RI Pemilunya adalah Februari, pelantikan Oktober, maka otomatis DPRD-nya perpanjangannya bisa 2 tahun 8 bulan. Bahkan jika sampai 2 tahun 6 bulan, tambah 8 bulan, itu bisa 3,5 tahun. Itu sesuatu nan enggak masuk di akal," ujar dia.
"Jadi oleh lantaran itu kudu ada pemikiran apakah ada nan namanya peraturan untuk penjabatan DPRD sementara, itu kudu bikin undang-undang baru alias mungkin tadi dibuat sebuah undang-undang baru nan bukan merevisi undang-undangnya. Beberapa opsi banyak, kami mesti menunggu pengarahan pimpinan, baik ketua DPR dan ketua partai," dia menambahkan.
Terkait perihal itu, Dede mengaku belum ada rapat secara resmi antar sekjen partai, lantaran kata dia, tetap nunggu Presiden Prabowo usai melakukan kunjungan dari luar negeri.
"Kayaknya belum. Mungkin jika dugaan kami, Presiden juga kudu tahu soal ini dan kita menunggu dulu Presiden pulang, mungkin minggu depan ya," ucap dia.
Dia menilai, Presiden perlu turun tangan lantaran keputusan MK ini bisa berakibat pada biaya Pemilu.
"Kalau partai-partai sudah bisa berbilang kan pembiayaannya 2 kali. Ada pembiayaan Pemilu nasional, ada pembiayaan Pemilu daerah. Nah ini semua kudu kita hitung baik-baik. Tentu apapun keputusan MK itu adalah final and binding. Tapi kita serahkan dulu keputusan dari pimpinan-pimpinan kita," ucap dia.
Kendati, Dede Yusuf menyambut baik buahpikiran pemisahan itu. Namun, kembali lagi kata dia kudu dikaji dan dipikirkan secara matang.
"Kalau saya pikir sih pemisahan itu boleh, lantaran biar konsentrasi ya antara rumor nasional dan istimewa. Tapi jarak 2 tahun terlalu lama. Itu aja sih, isunya sebenarnya hanya itu saja. Kita kemarin jarak 8 bulan. Kalau kita mau berbincang 8 bulan sampai 1 tahun itu tetap sesuatu nan tetap bisa dianggap wajar. Tapi jika sudah 2 tahun tentu banyak undang-undang lain nan kudu dirupakan," jelas Dede.
2. Kata Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyampaikan kritik keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai skema pemilu nasional dan pemilu lokal. Surya Paloh menegaskan bahwa MK telah melakukan tindakan kelalaian serius.
"Sudah jelas, MK teledor dan melakukan pencurian terhadap kedaulatan rakyat," kata Surya Paloh dalam keterangan tertulis, Sabtu 5 Juli 2025.
Partai NasDem dengan tegas menyatakan penolakan terhadap putusan MK tersebut dan menyesalkan gimana lembaga setinggi MK, nan semestinya menjadi penjaga konstitusi, bisa mengeluarkan keputusan nan dinilai menyimpang dari semangat kerakyatan dan prinsip kedaulatan rakyat.
"Kita juga bingung, kenapa MK nan diisi oleh orang-orang hebat, pemikir-pemikir hebat, bisa sampai pada putusan seperti itu. Kita bertanya-tanya, apa nan menyebabkan perihal ini terjadi? Apakah ada pengaruh dari luar?," lanjutnya.
Surya Paloh menekankan pentingnya membangun kembali kesadaran kolektif terhadap kemurnian konstitusi dan menegaskan keberanian Partai NasDem untuk menyatakan bahwa MK telah salah mengambil keputusan.
"NasDem berani menyatakan, MK banget sangat salah. Kita apalagi meminta agar MK dipanggil dan ditanya: kenapa putusan itu dibuat? Apakah ada titipan untuk bermain-main dalam keputusan ini? Kita tidak tahu, namun rakyat berkuasa mendapatkan kejelasan," jelas Surya Paloh.
Lebih lanjut, dia menyebut Partainya bakal terus mengawal konstitusi dan memastikan bahwa keputusan-keputusan nan menyangkut masa depan kerakyatan Indonesia tidak keluar dari nilai-nilai keadilan, transparansi, dan kedaulatan rakyat.
3. PKB Usulkan Kepala Daerah Dipilih DPRD
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI mengusulkan agar pemilihan kepala wilayah kembali dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Usulan ini adalah respons terhadap kontroversi nan muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2025 mengenai keserentakan Pemilu.
"PKB menghormati putusan MK lantaran berkarakter final dan mengikat. Namun, kami juga memandang banyak kontroversi dan pertanyaan nan muncul mengenai keputusan tersebut. Maka dari itu, kami bakal mendengarkan beragam masukan dari masyarakat saat membahas RUU Pemilu mendatang di DPR," ujar Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat 4 Juli 2025.
Jazilul mengungkapkan bahwa keputusan MK nan memilih model pemilu terpisah antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah bakal berakibat pada perpanjangan masa kedudukan personil DPRD provinsi dan kabupaten/kota selama 2-2,5 tahun.
Menurutnya, keputusan tersebut juga memicu beragam pertanyaan, salah satunya tentang kewenangan MK nan dianggap memasuki domain open legal policy nan berpotensi menimbulkan akibat inkonstitusional.
"Situasi ini bakal memunculkan masa transisi nan jika tidak disikapi dengan tepat bakal memicu kerawanan politik," katanya.
Jazilul mengatakan putusan MK memang bermaksud baik untuk memperbaiki tata laksana Pemilu di tanah air. Namun, putusan MK 135/2025 terkesan tidak mempertimbangkan aspek sosiologis dan politis sehingga terkesan di awang-awang.
"Betapa rumitnya ketika di sana ada masa transisi untuk personil DPRD. Ini gimana jika di-PJ, kan tidak mungkin, jika diperpanjang bisa bertentangan dengan UUD 1945 nan jelas membatasi masa kedudukan dari Pemilu hanya lima tahun," ungkapnya.
Dia menilai, beragam akibat dan kerumitan Pemilu langsung, Fraksi PKB saat ini lagi mengkaji secara serius model Pilkada dipilih oleh DPRD. Menurutnya format ini bakal mereduksi sekian kerumitan Pemilu termasuk mengurangi potensi politik biaya mahal.
"Pemilihan kepala wilayah oleh DPRD bakal lebih efisien dan efektif, terutama lantaran banyak kewenangan kepala wilayah nan sekarang sudah dikembalikan ke pemerintah pusat. Dengan demikian, kita bisa mengurangi kerumitan sistem Pemilu nan selama ini dianggap tidak stabil dan menghabiskan banyak biaya," terang Jazilul.
4. Respons Anggota DPR RI
Anggota Komisi II DPR, Romy Soekarno, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk beralih bentuk pemilu berbasis digital melalui sistem electronic voting (e-voting).
Dia menilai, penggunaan teknologi dalam pemilu bukan lagi sekadar wacana futuristik, tetapi langkah strategis nan mendesak dilakukan untuk mewujudkan kerakyatan nan efisien, transparan, dan lebih minim kecurangan.
Hal ini disampaikan Romy dalam rapat kerja Komisi II DPR berbareng KPU dan Bawaslu di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 7 Juli 2025.
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) ini menyoroti tingginya biaya Pemilu 2024 nan mencapai Rp 71 triliun, dan mendorong agar KPU mulai berpikir secara teknokratik menuju “demokrasi 5.0”.
"Saya mau KPU untuk bisa berpikir teknokratik bahwa kerakyatan 5.0 itu perlu enggak sih buat Indonesia? Contohnya transformasi menuju e-voting," kata Romy dalam keterangannya, Senin 7 Juli 2025.
Menurut dia, e-voting sudah sangat mungkin diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2029. Teknologi seperti face recognition, sidik jari, dan e-KTP bisa dikombinasikan dalam proses verifikasi pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Romy menjelaskan, pemungutan bunyi bisa dilakukan melalui tablet nan tersedia di TPS. Setiap pemilih, setelah melewati proses verifikasi, bakal langsung memilih dengan menyentuh layar.
Setelah memilih bakal tercetak 5 lembar bukti bunyi pemilih, ialah KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri dan Saksi Partai. Hasil bunyi bakal langsung masuk ke server pusat secara real time tanpa perlu input manual.
Romy menyebut, penghematan anggaran bisa signifikan apalagi dapat ditekan menjadi sekitar Rp 52-58 triliun.
"Karena kan saya memandang era dulu itu kertas banyak sekali nan menjadi titik curang. Sehingga 100% dari kecurangan kertas dapat dihindari," tandas Romy.
Kemudian, Anggota Komisi III DPR RI sekaligus pengajar tetap Program Studi Doktor Ilmu Hukum di Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan (Unhan), dan Universitas Jayabaya, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 sebagai babak baru dalam lanskap kerakyatan elektoral Indonesia.
Melalui putusan tersebut, MK menetapkan bahwa Pemilu nasional nan mencakup pemilihan presiden, personil DPR, dan DPD bakal tetap digelar serentak pada tahun 2029.
Namun, penyelenggaraan Pilkada serta pemilihan personil DPRD bakal dipisahkan dan dijadwalkan paling sigap dua tahun hingga maksimal dua separuh tahun setelahnya, ialah pada 2031. Dengan demikian, model pemilu serentak nan digunakan sejak 2019 tidak bakal diberlakukan lagi pada Pemilu mendatang.
Putusan ini merupakan jawaban atas uji materi nan diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu, khususnya pada frasa 'pemungutan bunyi dilaksanakan secara serentak'.
MK mengabulkan gugatan tersebut dengan menegaskan bahwa 'serentak' tak berfaedah semua pemilihan kudu dilakukan pada hari nan sama. MK menilai efisiensi dan kerasionalan perlu dipertimbangkan dalam penyelenggaraan pemilu, tentu tanpa mengabaikan kewenangan pilih rakyat dan prinsip kedaulatan nan dijamin dalam konstitusi.
"DPR, pemerintah serta partai-partai politik tidak punya ruang untuk menolak putusan MK tersebut, lantaran berkarakter final dan mengikat. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang kudu segera melakukan constitutional engineering alias rekayasa konstitusional, demi memastikan sistem pemilu nan baru melangkah efektif, efisien, dan tetap demokratis," ujar Bamsoet dalam kuliah mata kuliah ‘Pembaharuan Hukum Nasional’ Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Sabtu 5 Juli 2025.
Ketua MPR ke-15 dan Ketua DPR ke-20 ini memaparkan dua opsi nan bisa diambil lembaga negara untuk menyikapi putusan MK tersebut. Pertama, MPR dapat melakukan amandemen terbatas terhadap UUD 1945 jika diperlukan payung norma nan lebih definitif untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah. Amandemen ini tidak kudu menyentuh terlalu banyak aspek, cukup dengan menyesuaikan norma-norma nan mengatur sistem pemilu, kedaulatan rakyat, dan masa jabatan.
Langkah kedua nan dinilai lebih realistis dalam waktu dekat adalah merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Revisi ini bermaksud menata ulang agenda pemungutan bunyi dan masa kedudukan personil DPRD, serta mengatur masa transisi antara berakhirnya masa kedudukan DPRD dan kepala wilayah hasil Pilkada 2024 dengan Pilkada selanjutnya di 2031.
"Sehingga pemisahan rezim pemilu dan rezim pilkada terlaksana dengan baik. Dimana selanjutnya periodesasi pilkada dan pemilihan personil DPRD kembali masing-masing 5 tahun sesuai ketentuan nan ada dalam konstitusi alias UUD 1945 kita," kata Bamsoet.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini juga menyoroti tantangan krusial mengenai masa jabatan. Jika Pilkada baru digelar 2031, sementara masa kedudukan hasil Pemilu 2024 berhujung pada 2029, maka perlu ada sistem transisi. Alternatifnya, bisa dengan memperpanjang masa kedudukan hingga 2031 alias mengangkat penjabat (Pj) untuk mengisi kekosongan. Praktik ini bukan perihal baru, mengingat perihal serupa juga pernah dilakukan saat Pilkada 2024 nan menyeragamkan masa kedudukan kepala wilayah sebelumnya.
"Prinsip dasarnya adalah tidak boleh ada pihak nan dirugikan, baik dari sisi kewenangan politik penduduk negara, kepastian norma bagi penyelenggara dan peserta pemilu, maupun keberlanjutan roda pemerintahan. Maka, dalam proses perumusan ulang kreasi pemilu ini, DPR dan pemerintah dituntut untuk bekerja cepat, terbuka, dan partisipatif, agar hasilnya tidak menjadi sumber bentrok baru ke depan," urai Bamsoet.
Selain aktif di politik, Bamsoet juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia serta Kepala Badan Bela Negara FKPPI. Ia menegaskan bahwa meskipun putusan MK berkarakter final dan tak bisa digugat, pelaksanaannya tetap memerlukan perangkat norma lanjutan. Karena itu, dibutuhkan komitmen politik nasional nan kuat.
"Indonesia sekarang menghadapi momentum krusial untuk mengevaluasi kembali sistem pemilu nan terlalu padat dan kompleks. Skema dua gelombang pemilu mungkin bisa menjadi solusi moderat, asal dirancang dengan baik. Lebih dari itu, ini merupakan kesempatan emas untuk memperbaiki kualitas kerakyatan secara menyeluruh agar lebih berdaya, manusiawi, dan konstitusional," pungkas Bamsoet.
5. Wakil Ketua DPR RI
DPR tengah mengkaji hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan memutuskan pemisahan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah. Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengakui, putusan MK itu banyak menuai polemik.
|DPR tetap mengkaji. Karena ini kan polemiknya cukup tinggi juga, ada nan menyatakan ini melanggar konstitusional, ada nan menyatakan ini tidak, ada nan menyatakan putusan MK melampaui kewenangannya, ada nan juga menyatakan tidak. Jadi memang kita berhati-hati dalam menyikapi ini," kata Adies di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa 8 Juli 2025.
Menurut Adies, tak hanya DPR nan tetap mengkaji putusan MK tersebut, melainkan juga partai politik (Parpol) hingga pemerintah.
"Partai-partai lain tetap dalam proses mengkaji terhadap putusan tersebut,” kata dia.
"Mungkin ini sekarang juga pemerintah lagi mengkaji kan, kita ketahui seperti itu. Mudah-mudahan kelak hasil kajian ini bisa kita satukan dan mendapatkan satu keputusan nan tidak merugikan beragam pihak, khususnya juga merugikan pemerintah dan masyarakat," ucap ketua DPR dari Fraksi Golkar tersebut.
Lalu, Anggota DPR RI Nurdin Halid mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 nan melampaui kewenangannya soal pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Politisi Partai Golkar itu pun mendorong Sidang MPR untuk mengamandemen UUD 1945, termasuk untuk mempertegas batas kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara.
Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR itu, lembaga yudikatif MK sebagai penegak undang-undang sudah masuk pada ranah legislatif sebagai kreator undang-undang dengan merumuskan pengaturan nan sangat teknis tentang pemilu.
“MK sudah terlampau jauh memasuki ranah pembentuk undang-undang sehingga sejumlah putusan MK menjadi polemik konstitusional. MK memasuki ranah nan bukan menjadi kewenangan MK. Dalam UUD 1945, kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum,” ujar Nurdin Halid dalam keterangan tertulis, Jumat 4 Juli 2025.
Menurut Nurdin, putusan MK soal penyelenggaraan pemilu DPRD jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22 E ayat 1 juncto ayat 2 nan mengatakan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali dan pada ayat 2 dikatakan bahwa termasuk nan dipilih dalam lima tahun sekali personil DPRD.
“Keputusan MK ini tidak hanya abnormal secara konstitusional tetapi menimbulkan ketidakpastian terhadap demokrasi, sistem tata negara, perencanaan pembangunan, sistem pemerintahan daerah, tata kelola pemilu, finansial negara serta membingungkan publik dan masyarakat,” jelas Nurdin.
Jika ditelaah lebih jauh, kata Nurdin, MK mengubah bangunan UUD 1945 dengan mengabaikan substansi dan filosofi Pasal 18 UUD 1945 nan menegaskan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis serta pasal 22E UUD 1945 nan menyebut pemilu memilih personil DPR, DPD, DPRD Daerah, Presiden dan Wakil Presiden.
Artinya, putusan MK dengan menjadikan rezim pilkada menjadi rezim pemilu berkonsekuensi memperluas kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa pilkada, padahal kewenangan tersebut hanya berasal dari UU bukan dari UUD 1945 sebagaimana pasal 24.
“Keputusan ini jelas membikin kegaduhan konstitusional nan pelik. Implikasi lain dari keputusan ini secara konstitusional juga sangat kompleks. Penyelerasan terhadap UU Pemda mengenai Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah nan menyatakan bahwa kepala wilayah dan wakil kepala wilayah dipilih untuk masa kedudukan 5 tahun terhitung sejak pelantikan. Belum lagi pengaturan tentang masa kekosongan DPRD di daerah,” tuturnya.
Nurdin menambahkan, sangat menghargai kewenangan dan sifat putusan MK nan final and binding, sehingga kudu dihormati dan dilaksanakan bersama. Tetapi, kewenangan MK hanya menguji UU dan bisa membatalkan sebuah UU jika dinilai bertentangan dengan Konstitusi.
Menurutnya, MK tidak punya kewenangan merumuskan koreksi atas pasal UU nan dibatalkan. Tugas merumuskan koreksi atas pasal nan dibatalkan oleh MK kudu dikembalikan ke DPR sebagai kreator undang-undang. Jika ada nan kembali menggugat UU perbaikan, mereka bisa ajukan lagi ke MK.
“Masalahnya, putusan MK berkarakter final and binding. Pertanyaannya, siapa nan menjamin bahwa putusan MK hari ini nan berkarakter final and binding tidak dibatalkan oleh hakim-hakim MK periode berikutnya. Jika demikian, berfaedah MK telah menjelma menjadi lembaga yudikatif sekaligus legislatif,” ujar Nurdin.
“Makin membingungkan lantaran MK bisa membatalkan putusan MA,” tambahnya.
Dalam pandangannya, telah terjadi bentrok kewenangan antar lembaga tinggi negara pasca empat kali Amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2002 untuk mewujudkan cita-cita Reformasi 1998. Gelombang Reformasi 1998 bermaksud untuk mengoreksi kewenangan besar Presiden (Soeharto) selama 30 tahun lebih akibat ketidakjelasan penafsiran nan terbuka terhadap UUD 1945.
Secara terang empat kali Amandemen itu sukses membatasi kekuasaan pelaksana (Presiden) dan pada saat nan sama memperkuat kewenangan legislatif (DPR) serta menambah beberapa lembaga seperti DPD, Komisi Yudisial, dan MK.
“Namun muncul masalah baru ialah menguatnya kewenangan yudikatif (Mahkamah Konstitusi). Dalam beberapa putusan MK tampak bahwa kekuasaan legislatif bisa dicaplok oleh MK. Dan semuanya, baik kewenangan konstitusional DPR maupun MK, berpatokan pada kewenangan konstitusi UUD 1945 nan sama,” ujar Nurdin Halid.
Karena itu, Nurdin Halid mendorong MPR menggelar Sidang Istimewa untuk mengembalikan UUD 1945 nan original dan utuh. Euforia Reformasi 1998 nan melahirkan empat kali Amandemen UUD 1945 justru telah mengganti jiwa, filosofi, dan sistem dasar kita berbangsa dan bernegara Indonesia. Amandemen UUD 1945 telah menggantikan ‘roh’ kerakyatan Pancasila berbasis musyawarah mufakat ke kerakyatan liberal.
“Jika Pancasila sebagai roh kerakyatan Indonesia dan Konstitusi UUD 1945 sebagai patokan dasar bergeser, maka otomatis semuanya bergeser. Dan, kita menjadi gagap menghadapi akibat dari pergeseran-pergeseran itu. Itulah akar dari carut-marut kehidupan sosial politik kita dalam dua dasawarsa terakhir,” tegas Nurdin Halid.
Solusinya, lanjut Nurdin, MPR perlu menggelar Sidang untuk mengamandemen UUD 1945. Nurdin berambisi MPR kembali menjadi ‘wasit’ dalam posisi sebagai lembaga tertinggi negara nan mempunyai otoritas tertinggi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, termasuk untuk menengahi bentrok kewenangan antar lembaga tinggi negara nan berimplikasi luas dan tidak produktif.
"Saya mendorong MPR melakukan Amandemen kembali ke UUD 1945 nan original dan utuh. Selain itu, Sidang MPR juga membikin Tap MPR untuk menafsir secara resmi Pasal-Pasal UUD 1945 mengingat Bagian Penjelasan dalam UUD 1945 nan original sudah dihapus. Jadi, baik DPR dan DPD maupun lembaga tinggi negara nan lain kudu merujuk pada penafsiran resmi nan tertuang dalam TAP MPR," tuturnya.
6. Ketua DPR RI Puan Mahaani Sebut Tengah Kaji Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu
Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan fraksi-fraksi di DPR tengah mengkaji soal hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan memutuskan pemisahan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah.
“Semua partai, kami juga ketua terdiri dari partai-partai politik tetap mengkaji, mengenai putusan di internalnya masing-masing dan nantinya tentu saja putusan ini memberikan pengaruh kepada semua partai,” kata Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat 9 Juli 2025.
Puan menegaskan DPR bakal mengkaji hasil putusan MK sebelum memutuskan langkah apa nan bakal diambil. Sebab putusan MK itu mempunyai pengaruh bagi UU Pemilu dan partai-partai politik, termasuk nan ada di DPR.
“Sebagai partai politik kami bakal melakukan rapat koordinasi apakah itu secara umum alias informal bersama-sama, bicara bersama, menyatakan pendapat kami bersama-sama mengenai putusan MK,” jelas Puan.
Ia juga menyebut fraksinya ialah PDIP juga tetap menunggu hasil kajian sebelum bersikap, termasuk apakah putusan MK ini melanggar UUD 1945 alias tidak.
"Kita tetap kaji perihal tersebut, apakah kemudian ada perihal nan dilanggar sesuai dengan Undang-Undang Dasar," ungkapnya.
Sebab, Puan menuturkan, dalam petunjuk UUD 1945 diatur bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. "Karena pemilu sesuai dengan Undang-Undang Dasar sudah lima tahun sekali," ujar Puan.
7. Kata Wakil Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari
Wakil Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah bertindak melampaui kewenangannya dan melanggar konstitusi, khususnya mengenai putusan Nomor 135/PUU-XXI/2025 nan memisahkan agenda penyelenggaraan Pemilu DPRD dari pemilu nasional.
Menurut Qodari, putusan tersebut bertentangan dengan Pasal 22E Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, nan menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun.
“MK sangat kebablasan. Tugas MK itu menurut Pasal 24C adalah menguji undang-undang terhadap UUD, bukan membikin norma baru nan bertentangan dengan konstitusi,” ujar Qodari saat diwawancarai di Jakarta, Kamis (11/7/2025).
Ia menambahkan, jika putusan tersebut dijalankan, maka penyelenggaraan Pemilu DPRD tidak lagi berjalan lima tahun sekali, nan menurutnya jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
“Kalau putusan ini diikuti, maka pemilu DPRD tidak lagi lima tahun sekali. Itu jelas melanggar Pasal 22E Ayat 2. Ini keputusan nan inkonstitusional,” tegasnya.
Qodari juga menyatakan bahwa putusan tersebut menimbulkan kebuntuan konstitusi, lantaran isinya berkonflik langsung dengan dasar norma tertinggi negara. Sementara itu, setiap putusan MK berkarakter final dan mengikat.
“Kita masuk ke situasi nan tidak ada presedennya. Pemerintah serba salah. Kalau diikuti, artinya melanggar UUD. Tapi jika tidak dijalankan, artinya mengabaikan putusan MK,” jelasnya.
Lebih lanjut, Qodari menyebut MK telah menyimpang dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi.
“Ini serius. MK telah bertindak inkonstitusional. Seharusnya mereka menjaga konstitusi, bukan menabraknya. Kita butuh pembenahan serius dalam sistem peradilan konstitusional,” kata dia.
Qodari juga mengkritik pertimbangan-pertimbangan MK dalam putusan tersebut, nan dinilainya berkarakter subjektif dan tidak berbasis pada kebenaran empiris nan kuat. Salah satu contoh, menurutnya, adalah dugaan bahwa partai politik kesulitan menyiapkan calon legislatif dan pelaksana secara berbarengan akibat padatnya agenda pemilu.
“Itu opini. Faktanya selama ini partai bisa-bisa saja menyiapkan kandidat legislatif dan eksekutif. Jadi tidak bisa dijadikan argumen untuk memutus pemilu dipisah,” ujarnya.
Qodari menilai argumen MK dalam perkara ini condong spekulatif dan tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar perubahan mendasar terhadap sistem pemilu nan selama ini telah melangkah serentak dan efisien.
Ia menyerukan perlunya pertimbangan menyeluruh terhadap peran serta pemisah kewenangan MK, guna mencegah terjadinya intervensi terhadap ranah pembentukan undang-undang di masa mendatang.
“Kalau MK terus seperti ini, maka sistem ketatanegaraan kita bakal rusak. Kewenangan nan absolut tapi tidak terkendali itu sangat berbahaya,” pungkasnya.