ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Direktur Korean Cultural Center Indonesia Kim Yong Woon mempunyai kesan unik terhadap momentum 100 tahun Pramoedya Ananta Toer (Pram) nan jatuh pada 6 Februari 2025. Kepada detikai.com, Kim menceritakan pada tahun 2006, dia mempelajari bahasa Indonesia untuk pertama kalinya ketika sedang mempersiapkan diri untuk ujian bahasa Indonesia untuk PNS Korea.
"Ketika saya sudah mulai memahami sedikit bahasa Indonesia, saya menemukan cuplikan dari novel 'Bumi Manusia' di salah satu kitab paket bahasa Indonesia nan saya beli," ujarnya seperti dikutip dari siaran pers nan diterima, Kamis (6/2/2025).
Sebagai pemula, menurut Kim, tidak mudah baginya untuk membaca novel klasik Indonesia nan berlatarbelakang masa kolonialisme Belanda di Indonesia. Namun, dia tetap ingat ketika terpincut dengan kisah cinta Minke dan Annelies.
"Setelah membaca cuplikan tersebut, saya jadi mau tahu lebih lanjut tentang kisah tersebut," kata Kim.
Ketika mengunjungi Jakarta untuk pertama kalinya di tahun 2008, dia mengaku dengan girang hati saya pergi ke Gramedia untuk membeli beberapa novel, di antaranya adalah Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, dan Anak Semua Bangsa.
Kim menuturkan, Bumi Manusia diterjemahkan menjadi '인간의 대지' (ingan-ui daeji) dalam bahasa Korea dan mulai diperkenalkan ke masyarakat Korea di tahun 1980-an. Kemudian, Pramoedya Ananta Toer (Pram) mulai dikenal oleh masyarakat Korea sebagai nominator penerima Hadiah Nobel Sastra asal Indonesia.
"Setelah Han Kang, penulis asal Korea, memenangkan Nobel Sastra 2024, minat terhadap penulis sastra Asia di Korea mulai meningkat dan Pram kerap mendapatkan perhatian dari pembaca Korea," ujar Kim.
Namun sayangnya, menurut dia, karya literatur Indonesia belum banyak dikenal di Korea. Rintangan terbesar dibalik kebenaran ini adalah translator sastra Indonesia ke bahasa Korea nan tetap terhitung sedikit.
Di samping kudu mempunyai keahlian translator nan lihai, lanjut Kim, seorang translator sastra juga kudu dibekali dengan pengetahuan budaya. Hal inilah nan membedakan translator di bagian upaya dan sastra.
"Sedikitnya translator sastra mahir dalam bahasa Korea dan bahasa Indonesia menjadi tembok nan menghalangi penyebaran sastra kedua negara tersebut," kata Kim.
Baru-baru ini, menurut dia, Majelis Nasional Korea mengesahkan undang-undang nan memberikan dasar untuk Literature Translation Institute of Korea (LTI Korea) di bawah Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata untuk mendirikan sekolah pascasarjana terjemahan untuk melatih tenaga penerjemah.
Dengan berlakunya undang-undang ini, pemerintah Korea berambisi aktivitas translator sastra Korea dapat menjadi lebih aktif lagi sehingga sastra Korea dapat diperkenalkan secara luas ke mancanegara melalui training nan memadai untuk para tenaga penerjemah.
Acara seremoni 100 tahun lahirnya Pram bakal digelar dari tanggal 6 hingga 8 Februari 2025 di kampung laman Pram, ialah Blora, Jawa Tengah. Melalui seremoni ini, Kim berambisi karya dan prestasi Pram di bagian sastra dapat lebih dikenal di Korea.
"Saya juga berambisi training untuk para translator sastra Indonesia dan Korea dapat terus digalakkan, sehingga karya-karya penulis Indonesia dari kalangan sastrawan besar seperti Pram dapat mendunia, serta mengembangkan sarana hubungan bagi penulis asal Korea dan Indonesia," ujar Kim.