ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandai 100 hari pertamanya menjabat pada Selasa (29/4).
Ia menggelar pertemuan di Macomb County, Michigan, untuk memperingati perihal tersebut.
Dalam pidatonya, Trump menyebut kebijakan imigrasinya merupakan pencapaian utama dalam 100 hari ini. Ia menyanjung usahanya sendiri dalam mengakhiri imigran terlarangan nan membanjiri Amerika Serikat selama ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Minggu demi minggu, kami mengakhiri imigrasi ilegal," kata Trump, seperti dikutip CNN.
Dilansir dari Al Jazeera, selama 100 hari pemerintahannya, Trump telah menandatangani lebih banyak perintah pelaksana dibandingkan presiden AS lainnya.
Ia sejauh ini sudah mengeluarkan setidaknya 142 perintah eksekutif, menurut American Presidency Project.
Pada 20 Januari 2025, Trump mengeluarkan perintah pelaksana nan menyatakan darurat nasional di perbatasan selatan.
Ia juga mengeluarkan perintah pelaksana lain, di antaranya mengampuni lebih dari 1.500 orang nan dihukum pada 6 Januari atas tuduhan kerusuhan di Capitol, menarik keluar AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta mengubah nama Teluk Meksiko menjadi Teluk Amerika.
PHK dan pemotongan biaya federal besar-besaran
Di 100 hari pemerintahannya, Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) nan dipimpin bos Tesla Elon Musk juga gencar membidik lembaga-lembaga nan dinilai buang-buang uang.
Berdasarkan situs DOGE, mereka telah memotong $160 miliar (sekitar Rp2,6 kuadriliun) biaya federal nan dikucurkan kepada beragam lembaga.
DOGE menyebut pemotongan terbesar diberlakukan kepada Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat, Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), dan Kementerian Luar Negeri.
Selain pemotongan dana, lembaga-lembaga di AS juga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Menurut info CNN, setidaknya 121 ribu tenaga kerja telah dipecat dari sejumlah lembaga federal.
Sebanyak 10 ribu tenaga kerja USAID juga dipecat. Sekarang, badan support kemanusiaan itu apalagi nyaris bubar.
Perang dagang
Trump juga telah meletuskan kembali perang jual beli buntut tarif gila-gilaan nan diterapkannya ke beragam negara.
Bagi Trump, tarif ini diperlukan demi mengurangi defisit perdagangan AS, memperbaiki kebijakan perdagangan nan tak setara terhadap AS, membawa pekerjaan manufaktur kembali ke AS, hingga menghasilkan pendapatan bagi pemerintah AS.
Sejak 1 Februari, Trump memungut 25 persen tarif pada produk-produk Kanada dan Meksiko, termasuk 10 persen tarif pada sektor daya Kanada. Pungutan pajak ini dilakukan dengan argumen agar Kanada dan Meksiko segera mengatasi gelombang imigran dan narkotika nan memasuki AS.
Di minggu-minggu berikutnya, Trump menargetkan baja dan otomotif dengan pungutan tarif sebesar 25 persen. Pada April, dia apalagi menyasar seluruh negara dengan mematok 10 persen pajak bagi barang-barang nan masuk ke AS.
Dalam perang jual beli ini, China tentu menjadi bulan-bulanan lembek Trump, seperti di masa kedudukan sebelumnya. Ia mengenakan tarif sebesar 145 persen untuk produk-produk China.
Meski begitu, Trump mengecualikan beberapa peralatan China nan berasosiasi dengan teknologi, seperti smartphone.
Uni Eropa juga menjadi salah satu mitra jual beli AS nan kena pungutan tarif Trump. Barang-barang Uni Eropa saat ini terancam dikenakan pajak 20 persen. Namun, pengenaan itu ditunda hingga 90 hari, dan kemungkinan bisa turun jika ada kesepakatan nan dicapai.
Pasar ambruk
Sejak menjabat, Trump membikin pasar ketar-ketir lantaran pengumumannya soal tarif menyebabkan ketidakpastian dan volatilitas.
Per November 2024, seluruh indeks utama anjlok, ialah S&P sekitar 3,3 persen, Nasdaq sekitar 4,5 persen, dan Dow Jones sekitar 5,3 persen.
Setelah Trump dilantik, pasar apalagi lebih jatuh lagi. S&P turun sekitar 7,9 persen, Nasdaq sekitar 12,1 persen, dan Dow Jones sekitar 8,9 persen.
Perubahan kebijakan luar negeri
Sejak menjabat, Trump menyatakan dirinya menjunjung tinggi kebijakan America First. Ia mengubah beragam kebijakan luar negeri nan dijalankan Joe Biden, mulai dari persoalan Ukraina, Gaza, hingga Yaman.
Mengenai Ukraina, Trump mengkritik besaran support nan diberikan Biden sehingga AS memikul beban nan lebih berat daripada negara-negara Eropa.
Pada 3 Mei, Trump pun menyetop semua support militer ke Ukraina, sebuah langkah nan menuai kritik tajam dari Eropa.
Bukan hanya itu, Trump apalagi mendekatkan diri ke Rusia, dengan menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia melakukan perihal nan ditentang Biden demi mengakhiri cepat-cepat perang Rusia vs Ukraina.
Di Timur Tengah, Trump juga menyodorkan proposal untuk menguasai Gaza dan mengubah Gaza menjadi 'Riviera'. Rencana itu dikritik keras lantaran Trump beriktikad mengusir 2,3 juta penduduk Gaza dengan meminta mereka diungsikan ke negara-negara lain.
Pada saat nan sama, pemerintahan Trump juga makin erat dengan Israel. AS memasok peledak seberat 900 kilogram untuk memperkuat pertahanan Negeri Zionis.
Kendati begitu, Israel dan milisi Hamas sempat gencatan senjata berkah dorongan Trump. Namun, gencatan senjata itu tak berjalan lama lantaran Israel melanggar kesepakatan dengan menyerang kembali Gaza.
Di Yaman, AS juga mulai mengintensifkan serangan ke milisi Houthi. AS meluncurkan Operasi Rough Rider mulai 15 Maret, nan tujuannya membendung serangan Houthi terhadap kapal-kapal di Laut Merah.
(blq/dna)