ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Indonesia berpotensi terkena tarif tinggi nan dilancarkan Presiden Ameriak Serikat (AS) Donald Trump. Pemicunya, Indonesia berkontribusi terhadap defisit perdagangan dengan AS.
Indonesia berada di posisi ke-15 sebagai penyumbang defisit perdagangan terhadap Negara Paman Sam, dengan nilai Rp 14,30 miliar alias sekitar Rp 235,95 triliun.
Sementara saat ini AS sudah mengenakan tarif tinggi bagi China hingga Kanada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagaimana kita ketahui Donald Trump 2.0 ini telah meningkatkan tarif impor untuk sejumlah produk asal China, Kanada dan Meksiko. Meskipun hingga saat ini belum menyasar Indonesia, tapi sepertinya perihal tersebut hanya tinggal menunggu waktu," terang Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Hubungan Internasional Johni Martha dalam Seminar Dampak Perang Tarif Terhadap Peluang Ekspor Indonesia di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Selasa (25/3/2025).
"Karena nan disasar adalah negara-negara mitra jual beli nan memberikan defisit cukup signifikan bagi Amerika secara bilateral. Dan Indonesia itu berada di nomor urut 15 di antara negara-negara nan memberi defisit kepada Amerika nan cukup besar, tahun lampau US$ 14,30 miliar defisitnya," sambung Johni.
Kementerian Perdagangan juga melakukan identifikasi dan antisipasi non-tarif barrier apa saja nan mungkin dikenakan oleh Trump. Di sisi lain pemerintah juga tidak bakal menerapkan kebijakan proteksionisme seperti nan dilakukan AS.
"Dengan Amerika khususnya, tidak bakal menganut jalan proteksionisme, lantaran bakal menjadi bumerang bagi keahlian ekspor Indonesia. Sebisa mungkin kami di Perdagangan tidak menghalangi produk-produk, baik dari India maupun Amerika," ujar Johni
Indonesia juga tetap memerlukan sejumlah komoditas dari AS seperti kedelai, gandum, apel, dan lainnya. Indonesia juga tetap berpotensi melakukan perdagangan minyak dan gas dengan AS.
"Dan satu perihal mungkin nan bisa kita juga jadikan semacam trade-off adalah migas. Amerika ekspor migas lumayan di pasar internasional, kita belum banyak untuk mengimpor dari Amerika," tutur Johni.
(ily/hns)