ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, menyoroti meningkatnya peredaran rokok terlarangan di Indonesia. Menurutnya, keberadaan rokok ilegal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan kerugian bagi negara serta membahayakan masyarakat.
“(Rokok ilegal) kudu ditertibkan. Karena tidak hanya merusak perekonomian, ada soal merek, tapi juga sifat bahayanya peralatan itu. Kalau rokok (ilegal) itu dijual, satu perbuatan dia terkena beberapa pasal,” ujar Edward dalam wawancara di Jakarta Selatan, Senin.
Edward juga mengingatkan bahwa penegakan norma terhadap peredaran rokok terlarangan perlu diperkuat, mengingat pelanggaran nan terjadi mencakup sejumlah aturan, mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga izin perdagangan dan perlindungan merek.
Di sisi lain, wacana penyeragaman bungkusan rokok melalui Peraturan Menteri Kesehatan sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 juga menuai tanggapan.
Edward menilai kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan pendekatan nan mengakomodasi beragam kepentingan.
“Solusinya kudu bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak—antara faedah ekonomi dan keadilan hukum,” ungkap Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada itu.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyatakan bahwa penyeragaman balut rokok berisiko mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal.
“Ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan membuka celah makin banyaknya rokok terlarangan di pasaran,” katanya saat dihubungi.
Benny juga mempertanyakan dasar norma kebijakan tersebut yang, menurutnya, tidak tercantum dalam PP 28/2024. Ia menyebut bahwa izin baru seperti ini semestinya mempunyai dasar undang-undang.
“Ini justru menjadi patokan baru nan tidak mempunyai dasar kuat. Seharusnya diatur di undang-undang dulu,” tegasnya.
Pemerintah diminta mempertimbangkan secara matang mengenai wacana kenaikan nilai rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Sebab, kenaikan nilai ini bukan hanya menakut-nakuti industri rokok, tetapi juga para pekerjanya serta petani tembakau.
Lemahnya Penindakan Rokok Ilegal
Lebih lanjut, Benny menyoroti lemahnya penindakan terhadap produsen rokok ilegal. Ia menyatakan bahwa penindakan selama ini hanya menyasar rantai pengedaran seperti pengecer alias pengangkut, bukan hingga ke tingkat produksi.
“Kami belum pernah mendengar adanya tindakan tegas terhadap mesin produksi rokok ilegal,” ujarnya.
Gaprindo mencatat bahwa kontribusi cukai rokok pada 2024 mencapai Rp216,9 triliun, mendekati sasaran pemerintah sebesar Rp230 triliun. Namun, menurut Benny, capaian ini sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat.
Ia mencontohkan, pendapatan cukai nan sempat mencapai Rp218 triliun pada 2022 justru menurun menjadi Rp213,5 triliun pada 2023 setelah pandemi.
Dari sektor ritel, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, mengungkapkan bahwa kebijakan seragam bungkusan rokok bakal menyulitkan pelaku upaya kecil, terutama warung dan toko kelontong.
“Kalau di supermarket mungkin tetap bisa dikontrol, tapi tidak demikian dengan toko-toko kecil,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa bungkusan seragam bakal menyulitkan konsumen dalam mengenali produk, nan berpotensi meningkatkan celah bagi rokok ilegal.
“Rokok terlarangan nan sudah marak saja belum sepenuhnya bisa ditindak, apalagi dengan tambahan kebijakan seragam kemasan,” kata Solihin.
Ia berambisi pemerintah mempertimbangkan kondisi perekonomian dan tidak memberlakukan kebijakan nan dapat memperberat pelaku usaha. “Pemerintah semestinya mendorong kemudahan berusaha, bukan menambah beban dengan izin nan tidak berpihak pada bumi usaha,” tutupnya.