ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat buka-bukaan soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sekolah swasta gratis. Menurut dia, perihal tersebut belum memungkinkan diterapkan di tahun ini.
"Karena kita kudu melakukan koordinasi dan menghitung secara jeli dari anggaran nan ada," kata Atip saat ditemui wartawan setelah aktivitas pembekalan Beasiswa Garuda di Gedung Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Jakarta, Senin (16/6/2025).
Selain lantaran anggaran, menurut dia, perlu ada kerjasama antarlintas kementerian, khususnya Kementerian Keuangan, lantaran anggaran menjadi prinsip dari penerapan kebijakan sekolah swasta gratis.
"Kami sedang melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, lantaran esensinya itu kan menyangkut masalah anggaran," kata Atip.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam putusannya, MK memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun di sekolah negeri dan swasta. Putusan itu diketok pengadil MK pada sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (27/5/2025) lalu.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menilai frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas nan hanya untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, kata Enny, ada keterbatasan daya tampung di sekolah negeri hingga peserta didik terpaksa berguru di sekolah swasta.
MK berpandangan, negara tetap mempunyai tanggungjawab konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik nan tersendat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya lantaran aspek ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.
Oleh lantaran itu, kata Enny, frasa "tanpa memungut biaya" dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik nan tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan kudu berguru di sekolah swasta dengan beban biaya nan lebih besar.
"Sebagai ilustrasi, pada tahun aliran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya bisa menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," ujar Enny, seperti dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi.
Menurut Enny, info tersebut menunjukkan bahwa negara telah berupaya memenuhi kewajibannya dalam menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa memungut biaya dengan membentuk satuan pendidikan nan dikelola pemerintah, namun tetap terdapat kesenjangan nan menyebabkan banyak peserta didik tidak dapat tertampung di sekolah negeri dan kudu mengandalkan keberadaan sekolah/madrasah swasta.
"Sehingga terjadi kebenaran nan tidak berkesesuaian dengan apa nan diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, lantaran norma konstitusi tersebut tidak memberikan batas alias pembatasan mengenai pendidikan dasar mana nan wajib dibiayai negara. Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar penduduk negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam perihal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 kudu dimaknai sebagai pendidikan dasar baik nan diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun nan diselenggarakan oleh masyarakat (swasta)," papar Enny.