Terungkap! Ini Penyebab Tarif Ojol Beda-beda Meski Jarak Tempuh Sama

Sedang Trending 22 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com - Tarif ojek online (ojol) sering kali berubah-ubah meski jarak nan ditempuh sama. Hal ini diungkap oleh M Irfan Dwi Putra, Junior Researcher di Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada.

Adapun, temuan Irfan tersebut didasarkan pada hasil Focus Group Discussion (FGD) nan diadakan oleh CfDS bekerja sama dengan Pulitzer Center Indonesia.

Berdasarkan pengalamannya dua bulan lalu, dia mencatat untuk perjalanan sejauh 5,1 kilometer dari area Blok M, Jakarta Selatan ke rumahnya, dia perlu bayar Rp17.500.

Namun, selang tiga minggu kemudian, untuk rute nan sama tarifnya naik menjadi Rp 26.500. Sekalipun jarak nan dilalui tetap sama dan hanya waktu tempuhnya nan lebih lambat empat menit.

Lantas gimana perihal ini bisa terjadi?

Menurut Irfan jawabannya terletak pada teknologi kepintaran buatan (artificial intelligence/AI) nan digunakan oleh perusahaan transportasi online.

Dalam operasionalnya, industri ride-hailing rupanya menggunakan sistem AI nan tidak hanya menentukan tarif, tetapi juga berfaedah untuk mempertemukan pengemudi dengan pengguna serta merekomendasikan rute tercepat.

Sistem AI bekerja dengan algoritma kompleks nan memproses data, mengenali pola, dan membikin keputusan secara otomatis. Salah satu bagian AI nan digunakan adalah machine learning memungkinkan sistem belajar sendiri dari info tanpa perlu diprogram secara khusus.

Namun, persoalannya ialah seiring dengan semakin kompleksnya sistem pembelajaran AI, semakin susah pula bagi manusia untuk memahami gimana keputusan dibuat.

"Jadi, manusia bisa mengetahui input dan output dari sistem AI tersebut, tetapi tidak tahu gimana langkah output tersebut dihasilkan. Hal inilah nan menyebabkan sistem kerja internal algoritma AI sering disebut sebagai black box alias kotak hitam nan tertutup," kata Irfan dikutip dari theconversation, Sabtu (15/3/2025).

Lebih lanjut, Irfan menjelaskan, dalam sistem transportasi online, langkah kerja black box nan tidak transparan ini membikin tarif bisa berubah-ubah tanpa argumen nan jelas.

Algoritma AI sangat mungkin menetapkan tarif nan berbeda untuk perjalanan dengan asal dan tujuan nan sama tanpa argumen nan dapat dimengerti oleh pengguna. Ketidakjelasan dalam penentuan tarif ini tentu saja mempengaruhi kepercayaan pengguna.

Sistem ini juga berakibat pada driver. Terlebih langkah kerja AI dalam mempertemukan driver dengan pengguna tidak bisa ditakar.

"Pengemudi mitra nan lokasinya dekat dengan pengguna, belum tentu bakal mendapatkan pesanan lantaran algoritma bekerja dengan mempertimbangkan banyak faktor-yang tidak diketahui driver," tambahnya.

Kondisi ini lantas mengakibatkan pengedaran pesanan tidak merata. Dengan demikian, berkapak pada pendapatan driver nan tidak stabil serta jam kerja nan semakin panjang dan tidak menentu.

"Driver pun bisa merasa dirugikan lantaran sistem nan bertindak condong eksploitatif dan tidak adil. Dalam jangka panjang, ketidakpercayaan ini bisa memperburuk kondisi kerja di industri gig economy," ujarnya.

Butuh Aturan dan Transaparansi

Untuk mengatasi masalah ini, kata dia, perlu ada patokan nan mewajibkan perusahaan transportasi online lebih transparan membuka sistem mereka.

Menurut dia, perkembangan AI dewasa ini telah memunculkan konsep nan disebut sebagai explainable AI (XAI). Melalui konsep ini, sistem AI bisa menjelaskan gimana mereka mengambil keputusan hingga akhirnya menghasilkan output tertentu.

Dalam konteks industri transportasi online, XAI dapat menjelaskan gimana tarif dihitung dan kenapa tarif nan berbeda bertindak untuk perjalanan dari dan ke tempat nan sama.

XAI juga bisa menunjukkan argumen kenapa driver A nan mendapatkan pesanan. Sementara driver B tidak demikian meski keduanya berada di tempat nan sama.

"Penerapan XAI dalam industri ride-hailing bisa diberlakukan jika ada izin nan mewajibkan penyelenggara sistem AI mengungkapkan langkah kerja sistem AI mereka," katanya.

Adapun, beberapa negara di bumi diketahui sudah mulai mengatur perihal ini. Uni Eropa misalnya, lewat EU AI Act mewajibkan sistem AI dalam jasa krusial seperti kesehatan, keselamatan, alias hak-hak esensial lainnya, didesain dengan transparan.

"Jika merujuk pada Annex III EU AI Act, industri ride-hailing masuk dalam kategori hak-hak fundamental," ujar Irfan.

Ia pun menilai izin nan mewajibkan transparansi dalam sistem AI bakal membikin platform ride-hailing bertanggung jawab menyediakan info tentang langkah kerja sistem AI di dalam platformnya.

Salah satu perihal nan dapat dilakukan misalnya dengan memberikan akses kepada pengguna maupun driver untuk mengetahui komponen tarif dan langkah penghitungannya, serta aspek nan mempengaruhi lonjakan harga.

Selain itu, platform juga perlu menjelaskan gimana sistem matching antara pengguna dengan driver bekerja. Dengan transparansi ini, keputusan algoritma tidak bakal terasa sewenang-wenang lagi.

"Pengguna dan driver pun bakal merasa diperlakukan lebih setara dalam transaksi," katanya.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Kota Masa Depan, Smart City Adopsi AI Biar Warga Makin Nyaman

Next Article RI Belum Punya, Ini Aturan Hukum Driver Online di Negara Lain

Selengkapnya