Taud Beber Dugaan Pelanggaran Polisi Terkait Aksi May Day Di Dpr

Sedang Trending 12 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menemukan sejumlah dugaan pelanggaran oleh abdi negara dalam menangani tindakan peringatan Hari Buruh se-Dunia alias International May Day di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (1/5).

Mulai dari tindakan represif, penghalangan terhadap akses support norma hingga pelanggaran saat melakukan pemeriksaan terhadap massa aksi.

"Aparat kepolisian menabrak norma dan bertindak represif serta sadis pada massa tindakan ketika tindakan tetap berlangsung," demikian dikutip dari siaran pers TAUD, Jumat (2/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari temuan mereka, polisi mengadang, menggeledah perangkat tindakan dan peralatan pribadi mahasiswa nan melakukan tindakan di depan Gedung DPR sekitar pukul 08.20 WIB. Bahkan, ada mahasiswa nan dituduh sebagai golongan anarko tanpa dasar nan jelas.

"Tindakan tersebut telah melanggar UU 1/1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menunjukkan pelanggaran serius terhadap kewenangan menyampaikan pendapat sebagaimana nan diatur berasas Pasal 5 UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," ucap mereka.

Polisi disebut juga melakukan penganiayaan kepada paramedis nan sedang berjaga di posko. Temuan TAUD menyebut 4 dari 14 massa tindakan nan ditangkap adalah tim medis dan sedang menjalankan tugas untuk melaksanakan bantuan.

"Tim medis ini mendapat penganiayaan berupa pemukulan pada bagian kepala dan leher," ungkap TAUD.

"Pada beberapa korban, penganiayaan dilakukan sekitar 3-4 menit padahal korban sudah menyerah dan tidak memberikan tindakan reaksi apa pun," sambungnya.

TAUD menambahkan ada tiga orang massa tindakan nan mengalami luka bocor kepala akibat kekerasan bentuk nan diduga dilakukan polisi.

Sejumlah 13 dari 14 orang massa tindakan nan ditangkap mengalami luka luar dan lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Para korban, sebut mereka, mengaku dipukul, dipiting, didorong, ditendang, hingga dilindas oleh kendaraan bermotor.

"Peristiwa ini secara jelas melanggar UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kode Etik Profesi Kepolisian," tutur mereka.

Polisi diduga menutup akomodasi umum dengan memasang kawat berduri di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) nan semestinya menjadi akses jalan bagi masyarakat termasuk massa tindakan nan mau menggunakan haknya untuk menyeberang jalan di sekitar letak unjuk rasa.

Polisi disinyalir membubarkan tindakan nan sedang berjalan tanpa peringatan dan argumen nan sah menurut hukum. Sekitar pukul 17:00 WIB, polisi juga melakukan penangkapan nan disertai dengan kekerasan untuk membubarkan aksi.

"Pembubaran dilakukan ketika tindakan dan intermezo musik tetap berjalan dengan menggunakan water canon dan gas air mata nan tidak sesuai dengan UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," ungkap TAUD.

TAUD mengungkapkan polisi diduga melakukan kekerasan kepada wartawan dan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik. Hal ini bertentangan dengan UU 40/1999 tentang Pers.

Banyak perihal lain lagi nan menjadi temuan TAUD berangkaian dengan dugaan kekerasan dan pelanggaran nan dilakukan oleh polisi dalam menangani tindakan peringatan hari pekerja tersebut.

"Aparat kepolisian melakukan tindakan kekerasan seksual berupa pelecehan seksual bentuk dan nonfisik kepada salah seorang massa tindakan wanita nan ditangkap," ucap TAUD.

Halangi support hukum

Tim TAUD mengaku tidak segera mendapat berita dari Polda Metro Jaya untuk meminta konfirmasi identitas massa tindakan nan ditangkap. Informasi baru diperoleh dan terkonfirmasi dengan jelas pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB.

Pengacara publik dari TAUD diminta menyerahkan ponsel (alat kerja) saat pendampingan tanpa dasar nan jelas.

Polisi disebut menyita telepon genggam milik massa tindakan nan ditangkap sehingga susah menghubungi family dan pengacara.

"Tindakan tersebut telah melanggar Pasal 14 Kovenan HAM Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana nan telah diratifikasi dalam UU 12/2005 maupun Pasal 60 KUHAP nan pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang berkuasa atas agunan untuk diberi waktu dan akomodasi nan memadai guna mempersiapkan pembelaannya dan berasosiasi dengan pengacara nan dipilihnya sendiri," tandasnya.

Pemeriksaan sewenang-wenang

TAUD menyebut polisi melakukan pemeriksaan tes urine secara sewenang-wenang padahal nan berjalan bukan bagian dari proses investigasi tindak pidana narkotika.

"Bahkan, pemaksaan tes urine dilakukan sebelum adanya pendampingan oleh pengacara. Kepolisian juga melakukan permintaan sidik jari dan email pribadi di mana ini berpotensi melanggar kewenangan atas info pribadi sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan info pribadi," ucap TAUD.

TAUD mengatakan pemeriksaan nan dilakukan terhadap massa tindakan dilakukan dengan prosedur ilegal, melalui buletin aktivitas klarifikasi/investigasi/interogasi nan tidak dikenal dalam KUHAP. Dugaannya untuk mencari kesalahan lantaran ketiadaan bukti permulaan nan cukup.

Polisi disebut melakukan pemeriksaan terhadap korban dengan luka berat, berjalan hingga pukul 05.00 pagi di mana orang nan diperiksa sudah mengalami kelelahan nan berlebihan sehingga menyebabkan ada kecenderungan untuk mengiyakan pertanyaan.

Kata TAUD, perihal itu dapat dipandang sebagai corak torture alias penyiksaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan alias Penghukuman Lain nan Kejam, Tidak Manusiawi, alias Merendahkan Martabat Manusia nan telah diratifikasi melalui UU 5/1998.

"Dalam kondisi menahan rasa sakit, kepolisian tetap melakukan pemeriksaan terhadap salah seorang massa tindakan nan sudah diminta untuk beristirahat dari pemeriksaan terlebih dulu oleh Dokter pada Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya," ungkap TAUD.

"Tindakan pemeriksaan ini dilakukan setelah korban seolah-olah disuruh beristirahat ketika ada penasihat norma setelah pemeriksaan dokter. Sesaat setelah penasihat norma meninggalkan ruangan untuk membiarkan massa tindakan beristirahat, polisi membangunkan massa tindakan ini dan meneruskan pemeriksaan tanpa didampingi oleh penasihat norma dan dalam kondisi menahan rasa sakit," lanjutnya.

Lebih lanjut, polisi disebut menghalang-halangi korban kekerasan untuk mengakses rumah sakit. Untuk dapat mengakses rumah sakit, penasihat norma perlu berdebat dengan kepolisian mengenai kebutuhan dari pemeriksaan lebih komplit di rumah sakit guna memastikan kondisi korban penganiayaan aparat.

"Akibat adanya penundaan untuk dibawa ke rumah sakit, kondisi korban semakin jelek dan hingga sekarang kudu dirawat di rumah sakit," pungkasnya.

Belum ada keterangan dari polisi mengenai temuan dari TAUD tersebut. CNNIndonesia.com sudah menghubungi Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi tetapi belum mendapat respons.

Pada Jumat (2/5) siang, Ade Ary menyampaikan pihaknya 'mengamankan' 14 orang atas tuduhan bertindak pemberontak lantaran mengganggu ketertiban umum dan melakukan perbuatan pidana.

Mereka sejak tadi malam dilakukan pendalaman di Polda Metro Jaya.

"Kami sangat menyayangkan kejadian kemarin, walaupun dalam waktu nan sigap sudah sukses diamankan dan situasi saat ini juga kondusif ya," kata Ade Ary, Jumat (2/5).

"Update-nya kelak bakal kami sampaikan lagi. Saat ini pemeriksaan tetap berjalan di Subdit Kamneg," lanjut dia.

(ryn/wis)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya