ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Banyak orang merasa ngeri saat berdiri di dekat tepi tebing tinggi, dan banyak nan lebih suka tidak mengelus tarantula alias menggendong ular boa. Namun, bagi sebagian orang, ketakutan mereka terhadap situasi tertentu menjadi tidak proporsional dengan ancaman sebenarnya nan ditimbulkannya.
Dalam kasus tersebut, orang-orang ini mungkin didiagnosis dengan fobia spesifik. Fobia spesifik merujuk pada ketakutan alias kekhawatiran ekstrem terhadap objek alias situasi tertentu.
Agar memenuhi syarat sebagai fobia spesifik, ketakutan kudu terjadi terus-menerus. Ketakutan itu terjadi setiap kali objek alias situasi tersebut ditemui dan mengganggu kehidupan sehari-hari nan memengaruhi hobi, hubungan, alias pekerjaan mereka.
"Anda kudu melewati pemisah nan disebut 'distres' alias 'gangguan'," kata Ellen Hendriksen, psikolog klinis di Boston University's Center for Anxiety and Related Disorders kepada Live Science.
"Distres, artinya membikin Anda takut, dan gangguan, artinya membikin Anda tidak bisa menjalani kehidupan nan Anda inginkan," sambungnya.
Menurut Martin Antony, seorang psikolog klinis di Toronto Metropolitan University nan memimpin laboratorium penelitian dan perawatan kecemasan, para psikolog membagi fobia tertentu ke dalam lima kategori berikut:
Hewan: Semua hewan termasuk dalam kategori ini. Ular dan lelaba adalah pemicu umum, dengan penelitian di beragam negara menemukan bahwa fobia lelaba memengaruhi antara 2,7% dan 9,5% populasi.
Lingkungan alam: Ketakutan bakal ketinggian, ketakutan bakal air, dan ketakutan bakal angin besar adalah beberapa contoh fobia nan dipicu oleh fitur-fitur alam.
Darah, cedera, suntikan: Fobia ini melibatkan ketakutan bakal jarum suntik, pembedahan, darah, alias rangsangan serupa.
Situasional: Fobia situasional melibatkan rasa takut berada dalam situasi alias lingkungan tertentu. Mengemudi, terbang, dan berada di lift adalah contoh umum dari fobia ini.
Lainnya: Kategori ini mencakup apa pun nan tidak termasuk dalam empat kategori lainnya, seperti rasa takut terhadap komedian alias tokoh berkostum. "Orang bisa takut pada apa pun," kata Antony.
Terkadang, fobia spesifik berkembang setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis, alias setelah mereka mengalami serangan panik nan kemudian dikaitkan dengan lingkungan dan menyebabkan rasa takut nan memperkuat diri terhadap skenario itu.
Namun, terkadang fobia berkembang tanpa pemicu tertentu. Dalam banyak kasus, fobia ini berpusat pada sesuatu nan sebenarnya rawan seperti jatuh dari ketinggian, tetapi ketakutan seseorang tidak sebanding dengan akibat nan sebenarnya.
Antony pernah merawat seorang wanita dengan kekhawatiran sosial nan juga takut mengemudi. Ia akhirnya menyadari bahwa ketakutan wanita itu untuk mengemudi bukanlah fobia spesifik. Wanita itu tidak takut mengalami kecelakaan, katanya, tetapi lebih pada pengemudi lain nan bakal menghakiminya di jalan.
Dalam kasusnya, ketakutan mengemudi merupakan bagian dari kekhawatiran sosialnya, bukan fobia spesifik.
"Diagnosisnya tidak selalu jelas, dan Anda tidak selalu dapat menilai situasi nan ditakuti orang. Anda juga kudu memandang kenapa mereka takut pada situasi tersebut," ucap Anthony.
Untungnya, fobia mempunyai pengobatan nan diteliti dengan baik dan sangat efektif. Standar emasnya adalah terapi pemaparan, di mana pasien secara berjenjang menghadapi ketakutan mereka dengan langkah dan lingkungan nan terkendali. Seseorang nan mempunyai fobia terhadap ular mungkin bakal memandang garis berkelok-kelok pada selembar kertas, kemudian gambar animasi ular, kemudian foto ular, dan akhirnya, memandang ular sungguhan.
Dalam beberapa kasus khusus, psikolog mungkin merekomendasikan terapi tambahan di samping terapi pemaparan. Hal ini paling sering terjadi dalam kasus ketakutan terhadap darah, cedera, alias jarum suntik.
Sekitar 70 persen orang dengan fobia darah dan separuh dari mereka nan mempunyai fobia jarum melaporkan ketakutan bakal pingsan, nan disebabkan oleh refleks tak sadar nan disebut respons vasovagal.
Rentan terhadap pingsan, pada awalnya, mungkin memperkuat fobia pada orang-orang ini; dengan kata lain, ketakutan mereka terhadap situasi tersebut menjadi sah ketika mereka betul-betul pingsan. Jadi, dalam kasus ini, pasien mungkin juga mempraktikkan strategi nan disebut "ketegangan otot terapan." Ini melibatkan pengencangan otot-otot tertentu untuk mengurangi respons vasovagal, nan membantu mencegah pingsan.