ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Revisi UU TNI sedang jadi sorotan. Revisi ini bermaksud memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme TNI, namun beberapa poinnya menuai kontroversi, khususnya mengenai penempatan prajurit aktif di kedudukan sipil. Proses pembahasan nan dianggap kurang transparan juga memicu kritik dari beragam pihak.
Terakhir, Komisi I DPR RI dan Pemerintah menggelar rapat pembahasan lanjutan soal Revisi Undang-Undang (RUU) TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, 14-15 Maret 2025. Rapat diam-diam ini menimbulkan kecurigaan, sampai digeruduk Koalisi Masyarakat Sipil. Kontroversi muncul lantaran kekhawatiran bakal kembalinya dwifungsi ABRI dan melemahnya supremasi sipil.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan usulan perbaikan alias revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), soal penambahan posisi kementerian dan lembaga menjadi 15 nan bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif. Penambahan itu diklaim sebagai corak penyesuaian dengan situasi dan keadaan saat ini.
Jumlah ini lebih banyak dari nan sebelumnya (10) nan sudah diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI, ialah (1) instansi nan membidangi koordinator bagian Politik dan Keamanan Negara, (2) Pertahanan Negara, (3) Sekretaris Militer Presiden, (4) Intelijen Negara, (5) Sandi Negara, (6) Lembaga Ketahanan Nasional, (7) Dewan Pertahanan Nasional, (8) SAR Nasional, (9) Narkotika Nasional, dan (10) Mahkamah Agung.
Merespons perihal itu, Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania, memandang masalah berasal sejak Letnan Kolonel (Letkol), nan sebelumnya berkawan dikenal saat berkedudukan Mayor, Teddy Indra Wijaya diangkat sebagai Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Presiden Prabowo.
"Pengangkatan ini dilakukan dengan dalih bahwa Letnan Kolonel Teddy menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden. Namun, tidak bisa diingkari bahwa pengangkatan Letnan Kolonel Teddy telah menimbulkan disrupsi di pemerintahan dan internal TNI itu sendiri," kata Christina kepada detikai.com, Senin (17/3/2025).
Christina meyakini, Presiden Prabowo Subianto memberi lampu hijau nan divalidasi oleh kabinetnya dengan memberi gambaran prajurit aktif boleh dan akan, kembali lagi dalam pemerintah.
"Namun sebagai negara kerakyatan nan mengedepankan supremasi sipil, UU TNI sudah mengatur jelas bahwa TNI aktif tidak boleh menduduki kedudukan sipil," tegas dia.
Christina mengamini, memang ada pengecualian untuk beberapa kedudukan tinggi nan sudah ada dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Karena itu, upaya revisi dilakukan saat ini diduga menjadi tindakan nan bakal mengangkangi patokan existing.
"Usulan TNI untuk dapat mengisi beberapa kedudukan sipil baru ini berlawanan dengan semangat Reformasi 1998. Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga selalu konsisten menekankan ini. Tidak hanya sebagai salah satu tokoh nan berkedudukan dalam Reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tetapi juga sebagai purnawirawan nan memegang teguh prinsip supremasi sipil dan tentara ahli sebagai jati diri TNI," tegas Christina.
Christina menduga, jika wacana untuk memperluas kesempatan TNI menjabat di ranah sipil ini disetujui, perihal ini mencerminkan TNI ‘sukses’ perlahan mengembalikan posisinya ke pemerintahan.
"Tidak lagi secara senyap, tetapi sekarang dengan mengambil langkah legalitas melalui undang-undang. Payung norma disalahgunakan menjadi perangkat untuk menguntungkan beberapa pihak saja alias mengakomodir kepentingan politik tertentu," kritik dia.
Christina mewanti, adanya kegelisahan publik soal Dwifungsi ABRI. Meski perihal itu ramai-ramai dibantah oleh pemerintah dan TNI itu sendiri, namun sipil tidak mempunyai agunan apa pun soal itu.
"Kebijakan terus berubah, terutama dengan situasi komunikasi politik pemerintahan saat ini nan kurang begitu baik. Akuntabilitas kebijakan ini menjadi satu perihal nan nyaris tidak mungkin terwujud ketika transparansi pengambilan keputusannya juga tidak ada," wanti dia.
Christina pun mengajak, semua pihak kudu belajar dari sejarah dan berkomitmen untuk amanah dan berintegritas dalam menerapkan kerakyatan sebagaimana telah diperjuangkan sejak era Reformasi tahun 1998.
"Jangan justru kita kembali mundur semakin jauh dengan realita dan dinamika politik, demokrasi, dan kebijakan selama ini. Seharusnya orang-orang nan sekarang menjabat di pemerintahan maupun parlemen paling mengerti perihal ini dan mencegah perihal ini terjadi," sorong dia.
"Wacana untuk ekspansi kedudukan sipil nan bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif kudu dihentikan. Sebagai negara demokrasi, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat semestinya memutar otak untuk semakin baik menjaga marwah demokrasi, bukan justru mencari langkah untuk mengkompromikannya secara cerdas dan licik," imbuhnya.
UU TNI Butuh Perubahan, Tapi Jangan Mencurigakan
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengatakan UU No 34/2004 tentang TNI memang memerlukan perubahan, mengingat ada sejumlah perkembangan nan memerlukan respons dan semestinya diatur dalam peraturan.
Setidaknya, kata dia, ada 3 rumor krusial nan paling urgen mendapatkan perhatian. Pertama, perkembangan medan perang masa depan nan semakin kompleks, nan tidak lagi hanya mencakup darat, laut dan udara tetapi juga siber dan antariksa. Kedua, pengaturan kedudukan sipil nan dapat diduduki TNI aktif mengingat ada beberapa lembaga nan melibatkan TNI aktif seperti Bakamla dan BNPB. Ketiga, pengaturan pekerjaan prajurit terutama mengatasi kejadian maraknya perwira nonjob di pangkat kolonel ke atas, sementara di sisi lain ada defisit perwira, terutama pada pangkat letnan satu-letnan kolonel.
"Meski demikian, argumen adanya kebutuhan revisi UU TNI tidak menjadikan pembahasan revisi legislasi tersebut kudu dikejar sasaran segera. Memang benar, rencana revisi UU TNI sudah ada sejak tahun 2015. Akan tetapi, pengerjaan revisi UU nan singkat hanya bakal menjadikan proses tidak memenuhi norma meaningful participation dan hati-hati. Padahal, semestinya, untuk rumor nan krusial seperti ini, keterlibatan publik nan lebih luas dan mengedepankan kehati-hatian serta kecermatan menjadi kunci agar perubahan UU tidak terjadi berulang kali," kata Anton Aliabbas kepada Liputan6.com, Senin (17/3/2025).
Dalam DIM RUU TNI nan diajukan pemerintah, lanjutnya, juga dapat terlihat adanya penambahan klausa mengenai ketentuan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) (Pasal 7 ayat 2) seperti siber, perlindungan WNI dan narkotika. Selain itu, mengenai penyelenggaraan OMSP, pemerintah tidak lagi menggunakan frasa perlunya kebijakan dan keputusan politik negara melainkan diatur dalam PP ataupun Perpres.
"Penambahan ini tentu saja berimplikasi pada ekspansi cakupan dari OMSP itu sendiri. Secara umum, penambahan cakupan ini tentu saja adalah sesuatu nan wajar mengingat adanya perubahan karakter ancaman nan lintas pemisah negara dan pentingnya memastikan kehadiran negara dalam melindungi WNI.
Jika dilihat karakter OMSP nan tercantum dalam DIM RUU TNI, ucap Anton, maka sebenarnya dapat dikelompokkan dalam dua jenis: operasi nan berkarakter permanen/jangka waktu lama dan temporer. OMSP nan berkarakter permanen seperti penjagaan terhadap Presiden. Sementara nan berkarakter temporer seperti membantu SAR, bencana, penanganan terorisme dan lain-lain
"Akan tetapi, ketiadaan pengelompokan jenis OMSP ini bakal dapat berpotensi berkembangnya dugaan dwifungsi TNI. Hal ini mengingat karakter OMSP nan berkarakter sementara menandakan penyelenggaraan tugas perbantuan. Tugas membantu pemerintah wilayah misalnya, mempunyai cakupan nan luas. Artinya, bisa saja tugas tersebut di luar tugas pokok TNI sebagai perangkat pertahanan negara. Dan jika tugas perbantuan ini dilakukan dalam jangka waktu lama maka dikhawatirkan, penyelenggaraan perbantuan dalam waktu lama dapat mempengaruhi profesionalisme dan kesiapsiagaan prajurit itu sendiri."
Dihapusnya ketentuan penggunaan keputusan dan kebijakan politik negara guna penyelenggaraan OMSP, kata Anton, sejatinya tidak menjadi soal. Tentu saja, ada baiknya pengaturan penyelenggaraan OMSP diatur dalam ketentuan setingkat Undang-undang. Dengan demikian, pengaturan OMSP hanya merujuk pada satu ketentuan payung, nan nantinya dapat bisa secara detail.
"Oleh lantaran itu, pembahasan revisi UU nan singkat dan tertutup hanya bakal memperkuat dugaan adanya maksud tertentu di kembali proses pemuktahiran legislasi. Apalagi, tetap ada beberapa ganjalan rumor nan dibahas seperti penambahan usia pensiun nan tidak berdasar serta tidak adanya respons memadai mengenai perkembangan peperangan masa depan dan pengaturan pekerjaan kedua (second career) bagi personel TNI."
"Ada baiknya, DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dan memasang sasaran penyelesaian revisi ini. Sudah semestinya, revisi UU TNI dilakukan dengan kepala dingin dengan mengedepankan kehati-hatian dan kecermatan serta melibatkan publik nan lebih luas. Sebab, UU TNI merupakan jantung dari cita-cita mewujudkan TNI nan profesional. Dan itu adalah komitmen bersama, bukan hanya sekadar pemerintah dan DPR semata," pungkas Anton Aliabbas.
Polemik Dwifungsi di RUU TNI
Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan sejauh ini tidak ada pasal di RUU TNI nan betul-betul bisa membikin kita cemas bahwa dwifungsi seperti era orde baru bakal terjadi. Dwifungsi ABRI itu, kata dia, bisa efektif lantaran ada dua kekuatan utama.
"Satu TNI, dan satu Polri. Sejak reformasi, dua kekuatan ini, dua pilar dari dwifungsi ini sudah dipisahkan. TNI melangkah sendiri sebagai perangkat pertahanan negara, Polri juga melangkah sendiri dan dipisahkan dari TNI, agar lebih profesional, lebih independen sebagai penegak norma dan perlindungan masyarakat. Dua lembaga ini sudah dipisahkan, dan lantaran itu efektivitas, misalnya ada gelagat dwifungsi bakal berjalan, efektifitasnya juga tidak bakal seperti di masa lalu, lantaran tidak ada perangkat norma nan memungkinkan efektifitas dwifungsi," kata Khairul kepada detikai.com, Senin (17/3/2025).
Artinya, lanjut Khairul, dwifungsi itu efektif lantaran selain mereka masuk ke jabatan-jabatan sipil, terlibat dalam politik, kemudian suara-suara kritis terhadap pemerintah juga bisa ditekan melalui perangkat hukum. Sementara sekarang perangkat hukumnya sudah di luar, tidak bisa diajak melangkah bareng, kolaborasi, sehingga susah untuk efektif.
"Yang kedua, dulu ini juga bisa efektif lantaran tentara itu, TNI itu berkecimpung dalam urusan politik dan urusan bisnis. Nah, perubahan undang-undang TNI nan diusulkan sekarang ini kan tidak menyentuh sama sekali soal larangan berpolitik dan berbisnis seperti nan sempat diwacanakan beberapa waktu nan lalu."
Jadi, tambahnya, daftar inventarisasi masalah dari pemerintah tidak menyebut bahwa ada rencana untuk mencabut larangan berbisnis. Karena tidak ada pencabutan larangan berpolitik, larangan berbisnis.
"Ya saya kira ekses-ekses seperti nan terjadi di masa lalu, itu saya kira juga bakal susah untuk terjadi di saat sekarang."
Kemudian, lanjutnya, soal Operasi Militer Selain Perang (OMSP) jika di undang-undang nan sekarang, pelaksanaannya kudu berasas kebijakan dan keputusan politik negara.
"Nah, justru sekarang ini kan kebijakan dan keputusan politik negara ini tidak selalu berupa peraturan perundang-undangan gitu masalahnya ya. Nah, sekarang justru usulan revisi itu disebutkan bahwa Operasi Militer Selain Perang itu kudu didasarkan pada peraturan pemerintah. Harus didasarkan pada peraturan pemerintah dan dengan begitu, saya kira apa nan selama ini berjalan, misalnya dikatakan bahwa kerjasama TNI dan kementerian tertentu itu didasarkan pada MoU, alias nota kesepahaman gitu ya. Nah, itu bisa dikoreksi dengan klausul baru dalam revisi Undang-Undang TNI," ucapnya.
Pasal Prajurit TNI Bisa Ditempatkan di 16 Kementerian/Lembaga
Dalam RUU TNI terkini, tepatnya Pasal 47 disebutkan prajurit bisa menempati 16 kementerian/lembaga atas permintaan pimpinan. Ini berbeda dengan Undang-Undang TNI No 34 Tahun 2004 nan menyatakan ada 10 pos nan bisa diisi prajurit TNI. Artinya RUU TNI memuat penambahan 6 pos baru.
"Kemudian, Pasal 47, ialah prajurit dapat menduduki kedudukan pada kementerian alias lembaga, jadi prajurit aktif dapat menduduki kedudukan pada kementerian/lembaga, pada saat ini sebelum direvisi ada 10, kemudian ada penambahan lantaran di masing-masing institusi, di UU-nya dicantumkan, sehingga kita masukkan ke dalam revisi UU TNI," kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).
"Seperti Kejaksaan Agung, misalnya, lantaran di situ ada Jaksa Agung Muda Pidana Militer nan di UU Kejaksaan itu dijabat oleh TNI, di sini kita masukan. Kemudian untuk pengelola perbatasan lantaran itu beririsan dengan tugas pokok dan fungsi," lanjutnya.
Dasco juga menjelaskan bunyi Pasal 47 ayat 2 di RUU TNI. Di luar 16 kementerian/lembaga tersebut, prajurit kudu pensiun alias mengundurkan diri jika mau menduduki kedudukan sipil lainnya.
"Kemudian Pasal 47 ayat 2, selain menduduki kedudukan pada kementerian lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat 1 nan tadi saya sudah terangkan, prajurit TNI dapat menduduki kedudukan sipil lain setelah mengundurkan diri alias pensiun dari dinas aktif keprajuritan," ucapnya.
Isi Pasal
Isi Pasal 47 Ayat 1 dan Ayat 2 RUU TNI:
Pasal 47
(1) Prajurit dapat menduduki kedudukan pada kementerian/lembaga nan membidangi koordinator bagian politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk majelis pertahanan nasional, kesekretariatan negara nan menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, search and rescue (sar) nasional, narkotika nasional, pengelola perbatasan, kelautan dan perikanan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
(2) Selain menduduki kedudukan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prajurit dapat menduduki kedudukan sipil lain setelah mengundurkan diri alias pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Berdasarkan Pasal 47 tersebut, prajurit aktif TNI dapat menjabat di 16 kementerian/lembaga.
Isi Pasal 47 Ayat 1 dan 2 di UU 34/2004 alias Undang-Undang TNI nan lama
Pasal 47
(1) Prajurit hanya dapat menduduki kedudukan sipil setelah mengundurkan diri alias pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
(2) Prajurit aktif dapat menduduki kedudukan pada instansi nan membidangi koordinator bagian Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Pasal Usia Pensiun Pati Bintang 4 Jadi Maksimal 65 Tahun
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengungkapkan, dalam pembahasan revisi undang-undang TNI terdapat patokan untuk usai pensiun perwira tinggi bintang empat ialah maksimal 63 tahun.
"Yang pertama jika dia berkedudukan bintang 4 di umur 63 itu sudah kudu pensiun," kata TB Hasanuddin, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/3).
Namun, perpanjangan usia Pati bintang empat boleh diperpanjang 2 kali masing-masing satu tahun. Sehingga, pemisah usia pensiun pati bintang empat maksimal 65 tahun.
"Tapi jika negara membutuhkan, misalnya saja saya ambil contoh dia itu Panglima TNI, kemudian ini menjelang pemilu, sehingga dia dibutuhkan, tidak perlu mencari perwira tinggi alias panglima TNI nan baru, yasudah diperpanjang, jadi begitu. Dan hanya boleh di perpanjang 2 kali masing-masing 1 tahun. Jadi maksimum hanya 65 tahun selesai," ujar dia.
Lebih lanjut, TB Hasanuddin mengungkapkan, jika patokan tersebut sudah diputuskan dalam rapat panja nan digelar akhir pekan lampau oleh Komisi I DPR RI dan pemerintah.
"Iya (sudah diketok di rapat panja)" jawabnya singkat.
Saat ini, Pasal 53 UU TNI mengatur usia pensiun sebagai berikut:
Pasal 53 ayat (1): "Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi:a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira,b. 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama."
Dalam revisi nan diusulkan, pemerintah mengusulkan kenaikan usia pensiun sebagai berikut:
- Tamtama: 56 tahun
- Bintara: 57 tahun
- Letnan Kolonel: 58 tahun
- Kolonel: 59 tahun
- Perwira Tinggi Bintang Satu: 60 tahun
- Perwira Tinggi Bintang Dua: 61 tahun
- Perwira Tinggi Bintang Tiga: 62 tahun
- Perwira Bintang Empat: Masa dinas keprajuritannya ditentukan oleh kebijakan presiden.
Selain itu, terdapat usulan bahwa prajurit nan menduduki kedudukan fungsional tertentu dapat melanjutkan dinas hingga usia 65 tahun. Pemerintah juga mengusulkan agar perwira nan telah memasuki usia pensiun, tetapi tetap memenuhi persyaratan, dapat direkrut kembali sebagai perwira komponen persediaan (Komcad).
Dasco Bantah RUU TNI Bisa Munculkan Dwifungsi
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco membantah rumor nan menyebut revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) bakal membangkitkan kembali dwifungsi ABRI layaknya Orde Baru. Dasco menyatakan pihaknya menjunjung tinggi supremasi sipil.
"Tentang ada dwifungsi, TNI dan lain-lain, saya rasa jika sudah lihat pasal-pasal itu sudah jelas bahwa kami juga di DPR bakal menjaga supremasi sipil dan lain-lain, dan tentunya rekan-rekan dapat membaca nanti, dan dapat menilai tentang apa nan kemudian direvisi," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).
Senada dengan Dasco, Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menyatakan bahwa pihaknya menjunjung supremasi sipil.
"Soal dwifungsi kan sudah dari awal kita jelaskan, jika nan kejadian kemarin kita juga enggak tahu siapa orangnya, jelas kita semua mengundang, semua juga," ungkapnya.
Sebelumnya, Dasco membantah rumor bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) digelar secara kebut-kebutan.
"Tidak ada kebut mengebut dalam revisi UU TNI. Kita tahu bahwa revisi UU TNI ini susah berjalan dari berapa lama ya, berapa bulan lalu. Dan itu kemudian dibahas di komisi 1 termasuk kemudian mengundang partisipasi publik," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).
Dasco menegaskan, pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) nan digelar pada Jumat-Sabtu alias 14-15 Maret di Hotel Fairmont, Jakarta, digelar terbuka dan bukan diam-diam.
"Kedua bahwa tidak ada kemudian rapat terkesan diam-diam. Karena rapat nan dilakukan di hotel itu adalah rapat terbuka. Boleh dilihat diagenda rapatnya. Rapat diadakan terbuka," kata dia.
Menurut Dasco, rapat Panja Konsinyering digelar sesuai sistem dan tidak melanggar aturan. Bahkan juga sudah mengikuti efisiensi anggaran.
"Konsinyering dalam setiap pembahasan UU itu memang ada aturannya dalam patokan pembuatan UU dan tidak menyalahi sistem nan ada. Walaupun rencananya 4 hari disingkat jadi 2 hari dalam rangka efisiensi," pungkasnya.
TNI: Mekanisme Penempatan Prajurit di K/L dalam RUU TNI Diatur Ketat
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Hariyanto mengatakan bahwa sistem dan kriteria penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga (K/L) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) bakal diatur dengan ketat.
Dia mengatakan penempatan prajurit aktif di luar lembaga TNI kudu sesuai dengan kebutuhan nasional dan tidak mengganggu prinsip netralitas TNI.
"Penempatan prajurit aktif di luar lembaga TNI bakal diatur dengan ketat agar tetap sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan," kata Hariyanto seperti dilansir Antara.
Lebih lanjut, dia menyebut rumusan perubahan dalam RUU TNI menyangkut perpanjangan pemisah usia pensiun prajurit juga didasarkan atas meningkatnya usia angan hidup masyarakat Indonesia.
Dia mengatakan patokan mengenai pemisah usia pensiun dilihat dari angan hidup orang Indonesia nan semakin panjang dan produktif sehingga tetap dapat berkontribusi bagi negara, sekaligus menjaga keseimbangan regenerasi dalam tubuh TNI.
"Kami memandang bahwa penyesuaian pemisah usia pensiun dapat menjadi solusi agar prajurit nan tetap mempunyai keahlian optimal tetap bisa mengabdi, tanpa menghalang regenerasi kepemimpinan di TNI," ujarnya.
Dia menuturkan bahwa RUU TNI bermaksud menyempurnakan tugas pokok TNI agar lebih efektif tanpa tumpang tindih dengan lembaga lain maupun dalam menghadapi ancaman militer dan nonmiliter.
Untuk itu, dia menyebut RUU TNI menjadi langkah strategis untuk memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme prajurit.
"Revisi UU TNI adalah kebutuhan strategis agar tugas dan peran TNI lebih terstruktur serta adaptif terhadap tantangan zaman," ucapnya.
Dia pun menegaskan bahwa revisi UU TNI menjunjung tinggi supremasi sipil, sebagaimana pernyataan nan disampaikan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto saat rapat berbareng Komisi I DPR, Jakarta, Kamis (13/3).
Di mana, TNI berkomitmen menjaga keseimbangan peran militer dan otoritas sipil dengan tetap mempertahankan prinsip supremasi sipil, serta profesionalisme militer dalam menjalankan tugas pokoknya
Dia membujuk pula masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh buletin nan sarat kebencian dan tuduhan mengenai pembahasan RUU TNI.
"TNI membujuk seluruh komponen bangsa untuk menjaga persatuan dan tidak mudah diadu domba. Stabilitas nasional kudu tetap kita jaga bersama," kata dia.
Pesan SBY untuk TNI
Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyampaikan pandangannya mengenai reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Dalam wawancara unik berbareng Pemimpin Redaksi Liputan6 SCTV, Retno Pinasti, SBY menyatakan pernah menjadi ketua Tim Reformasi ABRI.
"Waktu pemilu tahun 1997, waktu itu pesertanya hanya tiga partai. Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). nan pertama kali melakukan reformasi, ABRI. Setelah itu bersama-sama reformasi nasional," ujar SBY dikutip dari kanal Youtube Liputan6 SCTV, Minggu (16/3/2025).
"Dan saya oleh Pak Wiranto, Panglima TNI, ditunjuk untuk menjadi ketua Tim Reformasi ABRI," kata SBY.
Selama dua tahun menjalankan tugas sebagai ketua Tim Reformasi ABRI, SBY mengunjungi kampus-kampus, berjumpa dengan para reformis, mendengarkan angan rakyat.
"Dan akhirnya TNI alias ABRI waktu itu, kudu melakukan perubahan, reformasi," ucap SBY.
Oleh lantaran itu, Mantan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI itu menginginkan agar TNI/Polri tidak kembali ke Dwifungsi ABRI seperti masa orde baru, di mana prajurit aktif dapat berpolitik praktis dan menduduki jabatan-jabatan sipil.
"Jangan sampai ABRI, sekarang TNI/Polri, mengulangi masa lampau nan sudah dikoreksi oleh sejarah. We have to respect democracy. Juctice, freedom. Ini pandangan saya," tegas SBY nan sekarang menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.